Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendukung Jokowi Menyesal?

12 Februari 2015   04:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 1685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_396289" align="aligncenter" width="450" caption="GBR: BatamBisnisCom"][/caption]

Terlalu banyak keriuhan terjadi, sejak sebelum Pilpres 2014, setelahnya, hingga setelah Joko Widodo dilantik sebagai RI-1 per 20 Oktober 2014. Disusul begitu banyaknya masalah mencuat, dari sengketa Polri-KPK, soal penetapan Kapolri, hingga persoalan mobil nasional. Belum lagi masalah banjir DKI Jakarta, yang juga dikaitkan dengan "dosa" Jokowi yang meninggalkan Jakarta di tengah jalan. Dari semua itu, pendukung Jokowi kerap dituding bungkam. Benarkah?

Sebenarnya, jika saja pemerhati politik, entah yang aktif atau hanya sekadar pemerhati latah, banyak berita yang memaparkan apa saja kiprah dari para pendukung Jokowi. Namun dari semua aktivitas itu, jika jujur melihatnya, akan terlihat bahwa mereka bukanlah pendukung yang hanya membeo atau sekadar sekelompok orang yang membebek.

Mereka, para pendukung Jokowi, mendefinisikan diri mereka sebagai kelompok yang mendukung dengan waras. Mereka mendukung, namun bukan dengan cara menanggalkan pikiran waras. Maka itu, mereka pun masih tetap kritis, menyampaikan kritik, dan menyuarakan apa saja yang mereka lihat harus disuarakan.

Mereka pun menegaskan lewat serangkaian aksi, bahwa mereka menyadari figur yang mereka dukung bukanlah "Super Hero" yang ada di komik anak-anak. Bukan pemimpin yang bisa menuntaskan segalanya dalam sekejap. Melainkan, dukungan itu diberikan pada figur yang bisa saja salah. Di tengah fakta itu, mereka memilih untuk tidak membenarkan yang salah, dan menyalahkan yang benar.

Ya, menjadi pendukung waras telah menjadi komitmen para pendukung Jokowi yang berasal dari berbagai kalangan; aktivis, politisi, seniman, hingga pedagang kakilima.

Meski, di pihak lain, masih terdapat banyak pihak yang mendefinisikan dukungan sebagai pembenaran atas segalanya. Ini terang saja layak dikatakan sebagai sebuah sikap tidak waras, atau juga--santunnya--terlalu polos, jika menanggalkan sikap kritis ketika berhadapan dengan hal yang memang belum terang antara baik tidaknya, hanya karena berkait dengan figur yang didukung sebelumnya.

Sementara di sisi lain, mereka yang mendukung Jokowi dengan segala sikap kritisnya menunjukkan, seperti inilah demokrasi. Mereka bebas berpendapat, menunjukkan perasaan tidak puas, atau bahkan sakit hati.

Bagi sebagian kalangan, ekspresi sementara pendukung terlihat seolah sebagai penyesalan. Tak jarang mereka menunjukkan sindiran yang tak kalah pedas dibanding masa-masa pra-Pilpres, tahun lalu. Misal saja, "Menyesal, nih yeee?", menjadi meme dan kata-kata yang begitu populer di berbagai jejaring sosial. Mengesankan bahwa pendukung Jokowi telah salah pilih.

Bagaimana melihat dua kutub pro dan kontra itu secara adil?

Yang sedang terlihat bukanlah sebuah ending, bukan akhir. Hemat pribadi saya, ini tak lebih dari sebuah proses, yang memang belum bisa disimpulkan. Mengumpamakan permainan catur, saat beberapa bidak harus tumbang, takkan begitu saja menjadi sinyal bahwa itu merupakan petunjuk kekalahan.

Akan ada ikan kecil yang memang diumpankan untuk bisa mendapatkan ikan besar--jika saja dikatakan ikan besar sebagai sebuah visi besar yang ingin dicapai. Sulit membayangkan sebuah permainan catur tanpa ada yang harus dikorbankan. Sulit juga mengkhayalkan mendapatkan sesuatu tanpa adanya kompensasi yang harus dibayarkan.

Itu, tentu saja, berdasarkan reaksi yang ditunjukkan pendukung Jokowi, terlihat oleh mereka sebagai hal yang lumrah. Namun mereka menunjukkan karakter sebagai pendukung yang masih mengedepankan sikap kritis. Bahwa, ada hal-hal yang harus dikritisi, dicermati, hingga mempertanyakan. Tapi, menyimpulkan semua suara para pendukung atas berbagai kebijakan yang tidak populer sebagai sebuah penyesalan, saya kira layak dipertanyakan kemampuan berpikir pemilik kesimpulan.

Jokowi sendiri, sebagai presiden, sekali waktu saat hadir di Queensland University of Technology, Brisbane, di Australia pada November lalu, menegaskan sikapnya di tengah berbagai kebijakannya. "Saya tidak peduli--apa saja hujatan yang datang. Sebagai pemimpin, (saya) harus berani mengambil risiko." Di sini, pendukungnya mendukung dengan segala sikap kritis, meski mereka harus berhadapan dengan banyak sikap sinis. (Follow: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun