Hari berikutnya, tanggal 19 Mei, Prabowo sepenuhnya terlibat dalam upaya mengamankan Monas dari demonstrasi yang telah direncanakan Amien Rais. Malam itu, Wiranto menemui perwira senior untuk mendiskusikan demonstrasi.
"Rapat yang diketuai Wiranto memutuskan bahwa perintahnya adalah untuk mencegah arak-arakan dengan segala cara," kata Prabowo mengingat kembali.
"Saya berkali-kali menanyakan apa maksudnya. Apakah kami menggunakan peluru tajam? Ia (Wiranto) tidak memberi jawaban jelas."
Sepanjang malam, Amien Rais menerima utusan-utusan yang dikirim untuk membujuknya membatalkan demonstrasi. Ia akhirnya mengalah dan arak-arakan yang ditakuti tidak pernah terjadi.
14 Menteri Mundur
Tetapi tanggal 20 Mei, Soeharto mendapat dua pukulan. Empat belas menterinya mengundurkan diri dari kabinet. Dan ia berulangkali mendapat penolakan dari orang-orang yang dimintanya untuk duduk dalam "Komite Reforrnasi".
Setelah matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie. "Saya berbicara dengannya: Pak, Pak Harto mungkin akan mundur. Bapak siap? Ia (Habibie), Anda tahu, ya ya ya. Saya katakan: Anda harus bersiap-siap."
Dari kediaman Habibie, Prabowo kembali ke Cendana. "Begitu jelas semuanya aman, saya masuk, masih mengenakan seragam militer," dia berkata. "Saya pikir saya akan dapat tepukan di pundak: berhasil mencegah aksi demonstrasi. Tidak ada lagi pembunuhan. Tidak ada lagi martir. Pasukan terkendali. Syafrie telah melakukan tugasnya dengan baik. Dan... kemudian, plak!!!"
Ditampar Soeharto
Prabowo menceritakan, "... Belakangan isteri saya mengatakan bahwa ada laporan saya bertemu Habibie tiap malam. Saya ketemu Gus Dur, Amien Rais dan Buyung Nasution. Tapi kami tidak berunding untuk menjatuhkan Soeharto."
Di ruang keluarga, kata Prabowo, duduklah keluarga Soeharto dengan Wiranto. Yang pertama berdiri adalah Siti Hutami Endang Adiningsih, putri bungsu Soeharto. Prabowo mencoba mengingat kembali.