Mohon tunggu...
anthares soediar
anthares soediar Mohon Tunggu... -

nothing special, pecinta kopi, mencoba menjadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Retak

20 Mei 2010   05:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“KB siji sam” (Kopi Biasa satu mas) ujarku saat masuk ke sebuah warung kopi langgananku. Hampir tiap hari aku ke warung itu. Sekedar untuk menghilangkan penat, mengisi waktu kosong atau boleh di bilang menghabiskan waktu yang tidak jelas. Minum kopi bersama teman-teman adalah moment yang menyenangkan tapi sendiri juga tidak menjadi masalah.

5 menit pesananku sudah siap di meja, tak perlu menunggu terlalu lama. Satu cangkir Kopi Biasa dan satu pak Rokok international gudang uyah sudah ada di meja. Nikotin dan kafein adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Saat ini aku masih sendiri, menunggu teman, tak berjanji untuk bertemu tapi keyakinanku mengatakan dia akan datang. Sebatang rokok mulai aku nyalakan dan seteguk kopi telah membasahi kerongkonganku.

Saat asyik sendiri, tiba-tiba aku dikejutan oleh pemilik warung.

“sam, iki ono wedang kopi coklat” (mas, ini ada minuman kopi coklat) ucapnya

“Wek-e sopo boz, aku ra pesen kok” (punya siapa bos, aku tadi tidak pesan lho) jawabku

“Iki gawe sampeyan, gratis gawe langganan. Aku nyobak ngawe menu anyar, kopi coklat. Sampeyan coba, rasane wis pas durung” (Kopi coklat buat anda, gratis buat langganan. Saya membuat menu baru. Tolong dicoba, rasanya sudah pas belum) jelasnya

“suwun-suwun” (terima kasih)

Kini ada dua cangkir di mejaku, kopi biasa dan kopi coklat. Batang rokok kedua telat aku sulut dan seteguk kopi juga menyertai, kopi biasa bukan kopi coklat. Kopi coklat masih diam ditempatnya, belum tersentuh. Cuma aku lihat, aku amati, sedikit menarik pikirku. Aku meraihnya, ku dekatkan tepat dihadapanku. Sangat menarik, pikirku kini. Tanpa pikir panjang, aku ambil cangkir kopi coklat itu, kudekatkan ke wajahku, aromanya manis, berbeda dengan lainnya. Benar-benar menarik, aku mulai tergoda,ingin aku meminumnya, imaji manis berselanjar di kerongkongan. Namun lidah yang tak bertulang ini menolaknya, sejenak aku berhenti, mencoba untuk tenang tidak bernafsu. Imaji itu pun lari menghilang dan kuletakan kembali cangkir kopi coklat itu, tak jadi aku mereguknya.

Saat batang rokok ketiga aku sulut, temanku datang “wis suwe ta?” (sudah lama) tanyanya.

“Kadit, iki jek rook sing ketelu” (tidak, baru habis 3 batang rokok) jawabku

“Sam, KP siji yo” (mas, Kopi Pahit satu ya) pesan temanku pada pemilik warung

“Wedang-e sopo iki kok enek rong gelas? Ambune seje sisan” (Minuman siapa ini, kok ada 2 gelas) Tanya temanku sambil menyulut sabatang rokok.

“Oo.. iku kopi coklat, mau dikek’I, gratis. Jarene se menu anyar, cobak-en lek gelem” (Oo.. itu kopi coklat, tadi dikasih gratis. Katanya sih menu baru, minum aja kalau mau) jelasku

“coklat, legi lha an, aku iki seneng sing pahit-pahit, ra cocok ambek sing legi-legi. Piye rasane, enak ra?” (coklat, manis dong. Aku ini suka sama yang pahit-pahit, tidak cocok ma yang manis-manis. Gimana rasanya , enak tidak?)

“Durung tak coba, KB ku ae during entek, kok kate ngombe liane”. (Belum saya coba, Kopi Biasaku aja belum habis, masak minum yang lain)

Percakapanpun terus mengalir, terus menerus tak berhenti. Beberapa batang rokok sudah hilang menjadi asap. Semakin lama, meja sudah mulai penuh dengan sederetan cangkir-cangkir baru, cangkir teman-temanku yang lain.

Kopi coklat tidak tersentuh.

Untuk ukuran normal, satu cangkir kita habiskan dalam waktu kira-kira 3 jam. Malam sudah semakin larut, saatnya untuk pulang. Saat salah satu dari kita mengajak untuk pulang “Ayok, ngalup”, (Ayo, Pulang) ini adalah salah satu indicator bahwa malam sudah terlalu larut dan confirm dari indicator tersebut semuanya pasti menjawab “sak batang engkas” (satu batang lagi).

Saat semua sudah beranjak pulang, kopi coklat masih utuh.

Saat kutinggalkan, aku mendengar suara retak. Retak dari sebuah cangkir. Dari cangkir kopi coklat.

Cangkir kopi coklat retak.

# Di sebuah tempat, pada suatu waktu.

Ditemani secangkir kopi dan rokok gudang uyah.

terinspirasi dari pengamatan pada seorang teman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun