Mohon tunggu...
anthares soediar
anthares soediar Mohon Tunggu... -

nothing special, pecinta kopi, mencoba menjadi orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mulai dari Satu Langkah

18 Mei 2010   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:08 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nang endi puncak-e” (puncaknya dimana) tanya temanku saat kaki turun dari sebuah bis antar kota.

“Puncak-e ra ketok tekan kene, ketutupan bukit iku” (puncaknya tidak keliahatan dari sini, tertutup sama bukit itu) sambil menunjuk sebuah bukit di depan kami.

“Pirang jam mlakune bos, jalur enak ra?” (Berapa jam perjalanan bos, jalur enak tidak?) lanjutnya

“kiro2 yo 4 jam lek ngetrak, lek nyantai yo paling 6 jam. Dalane enak, ra terjal, tanjakan sing nemen mek ono loro tok, iku ae sak durunge tekan puncak” (Kira-kira 4 jam kalau jalan cepat, kalau mau santai ya kemungkinan 6 jam. Jalannya enak, tidak terjal, tanjakan yang sulit Cuma ada dua, itu aja sebelum tiba di puncak) jelasku

“uadem ra?” (dingin tidak) tanyanya lagi

“lumayan lek musim-musim ngeneki, engkok ngawe api unggun ae, ra usah gede-gede, api unggun cilik, pokok-e iso gawe ngangetno awak” (lumayan kalau musim seperti ini, ntar kita buat api unggun, tidak usah buat yang besar-besar, kecil-kecil aja yang penting bisa menghangatkan badan) jelasku lagi.

“Ayo, mlaku nang pos penjagaan, ijin nang kono ambek ngecek barang-barang sing kurang” (Ayo, jalan ke pos penjagaan, ijin disana sekalian sama cek barang-barang yang kurang) ajakku

“oyi”

10 menit kita berjalan kita sudah sampai di pos penjagaan. Kita duduk di sebuah warung di sebelah pos.

Setelah ijin ke penjaga, kita ngecek barang-barang yang belum lengkap. Selesai ngecek, inginku langsung brangkat, agar sampai di puncak tidak kehabisan tempat dan masih sempat mencari kayu untuk api unggun.

“barang-e wis lengkap bos, ayo ladub” (barang semuanya udah lengkap, bos, ayo berangkat) ajak ku

“jek, mengko sek ta. Ra usah kesusu, ngopi ambek rokokan sik ta” (tunggu, nanti saja. Tidak usah terburu-buru, minum kopi sambil ngrokok dulu saja) bujuk temanku.

“yo wis, lunguh-lunguh sik wae lah” (Ya sudah, duduk-duduk saja dulu)

“Bu, kopi kaleh, sing setunggal pahit, setunggal maleh biasa” (Bu, pesan kopi dua, satu pahit, yang satu yang biasa saja) pesanku pada ibu pemilik warung.

Sambil ngopi plus merokok, lumayan banyak pendaki yang sudah mulai berangkat.

“mas, budhal sik yo” (mas, berangkat dulu ya) sapa mereka,

ada pula yang iseng “mari mas”,“jas jus mas”

“nutri sari mas” jawabku

Kita tidak saling mengenal, tapi itulah pendaki. Setiap kita bertemu, berpas-pasan kita selalu bertegur sapa, layaknya segerombolan semut saat bertemu.

“opo aku kuat yo sampek puncak? Gawananku abot, awakku yo ra patek kuat, hawane soyo suwe tambah uadem. Arep budal kok males” (Apa aku kuat ya sampai puncak? Bawaanku berat, badan juga tidak terlalu kuat, hawanya semakin lama semakin dingin. Mau berangkat kok malas) celetuk temenku.

“Boz, naik gunung bisa kita ibaratkan dengan perjalanan hidup. Puncak gunung adalah impian yang ingin kau capai, tentu banyak rintangan yang menghadang, beban yang berat serta cobaan. Untuk menaiki gunung kita butuh persiapan, bekal, alat pendakian dll. Sama halnya dengan meraih impian, kita harus mempersiapkan sebagai bekal kita.”

“Kita dari tadi duduk disini, melihat orang-orang sudah mulai mendaki. Kita kalah cepat dengan mereka. Mereka mempunyai peluang besar untuk sampai di puncak lebih dulu. Sementara kita duduk disini, membuang waktu yang tidak jelas.”

“Jalan yang akan kita tempuh memang panjang dan berat. Tapi untuk mencapai semuanya, kita membutuhkan satu langkah untuk memulai, ya cukup satu langkah.”

“Bener gak?” ujarku, sambil menoleh kepadanya

“eh…boz, nang endi awakmu” (eh….bos, dimana kamu) sambil tengok kanan, tengok kiri mencari temanku itu

“Oii… ayo ladub, kesuwen awakmu” (Oiii, ayo berangkat, terlalu lama kamu) jawab temanku, yang ternyata sudah berangkat duluan.

Hmmm…… Akhirnya kita berdua berangkat menuju impian, Meskipun berat tapi kita awali dengan satu langkah.

Semangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun