Mohon tunggu...
George Soedarsono Esthu
George Soedarsono Esthu Mohon Tunggu... profesional -

Menembus Batas Keunggulan Pioneer, Problem Solver, Inspirator To Live, To Love, To Serve Mengolah Kata-Mengasah Nurani-Mencerdaskan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dinamika dari Timur

12 Agustus 2016   21:12 Diperbarui: 13 Agustus 2016   11:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama manusia, baik disadari maupun tidak. Maka manusia senantiasa bebas menemukan makna hidupnya baik dalam segala sesuatu yang kita kerjakan, dari apa yang kita alami, maupun lewat sikap yang kita ambil terhadap situasi dan kondisi kehidupan yang tragis yang seakan tidak mungkin diubah.

Proses mengenali diri sendiri, membantu siapapun untuk menyadari adanya sumberdaya rohani di dalam diri setiap orang guna mencapai kebahagiaan hidup yang optimal. Dengan demikian, manusia bisa mengusahakan agar daya-daya tersebut menjadi terungkap nyata; bukan ditekan, terhambat, maupun diingkari. Intinya, memanfaatkan “daya bangkit” dari rohani manusia untuk tetap teguh-kokoh menghadapi bentuk kemalangan dan penderitaan. Inilah sebuah tahap wrangka manjing curiga — wadah yang masuk menyatu di dalam isi. Dengan kata lain, manusia yang sudah mengenal dirinya akan dipenuhi kekuasaan Sang Pencipta yang sudah menyertainya sejak seseorang berada di dalam kandungan, sehingga seluruh daya-daya luhur yang ada dalam diri manusia akan terungkap, memanifest, mewujud, sebagai bentuk karya cipta yang memesona.

Dalam perspektif Manunggaling Kawula lan Gusti — Gusti lan Kawula,  tahap ini ditandai oleh terbebasnya seseorang yang sudah tidak lagi menggunakan akal dan pikiran seturut kemauan diri sendiri, melainkan, akal pikiran dan nafsunya telah dibimbing oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tahap pasrah dan sumarah sepenuhnya pada hakikat kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, ia tidak lagi mengalami kemandegan secara psikologis karena telah mengerti dan memahami kehendak Sang Pencipta. Maka segala yang dilakukan dan dikerjakan semata-mata sebagai proses memuliakan diri di hadapan Sang Pencipta. Dengan begitu, hidup manusia tidak lagi dalam kondisi berdoa yang selalu dipenuhi oleh permintaan-permintaan kepada Tuhan, melainkan sepenuhnya berada pada laku meditasi yang sejatinya adalah sebuah sikap dan perilaku mendengarkan kehendak Tuhan.

Proses kreatif mencipta Parang Curiga Kaca Wirangi

Motif Parang Curiga Kaca Wirangi diproyeksikan sebagai cermin atau kaca benggala (cermin besar) yang apabila kita berkaca, akan tampak persis seperti aslinya. Kaca Wirangi adalah sebuah ajaran memahami ke-egoan diri untuk menemukan jati diri yang sudah terlepas dari ikatan-ikatan duniawi. Ada 7 ikatan yang mesti disingkirkan atau ditinggalkan agar manusia bisa menyatu dengan yang Adi Luhur. Tujuh keterikatan duniawi itu seperti digambarkan oleh perjalanan Sang Werkhodara dalam menemukan Banyu Suci Perwitasari atau Toya Mahapawitra.

Banyu Suci Perwitasari adalah Air yang Maha Suci. Sebuah lambang tentang kebahagiaan dan kemuliaan sejati yang tanpa cacat. Kebahagiaan dan kemuliaan sejati ini tidak bisa diusahakan, tidak bisa diburu, sebab ia akan datang dengan sendirinya manakala seseorang sudah bisa membangkitkan jiwanya yang masih tidur.

Air Suci Perwitasari disebut Sang Amertajiwa. A = tidak, mertajiwa = jiwa yang mati. Sang Amertajiwa adalah jiwa yang hidup, yang sudah terbangun dari tidur panjangnya karena manusia diperintah oleh akal pikiran dan nafsunya sendiri. Karena manusia tunduk oleh akal pikiran dan nafsunya sendiri, maka Sang Jiwa oncat atau keluar dari jasad, badan kasar manusia, dan mengembara di dalam ilusi duniawi. Jiwa yang mengembara di dalam Ilusi Duniawi adalah keadaan matinya kesejatian. Jika Sang Jiwa sudah terlepas dari ilusi duniawi yang artinya hidup kembali, bangun dari tidurnya yang panjang, maka, kesejatian atau kebahagiaan sejati akan lahir. Tetapi, kesejatian atau kebahagian sejati bukanlah tujuan akhir dari perjalanan spiritual manusia, karena diatas semua itu masih ada kesempurnaan yang sejati yang tidak bisa diuraikan dengan kata-kata.

Itulah manunggaling Kawula lan Gusti—Gusti lan Kawula, yang dalam kisah pewayangan Sang Bimoseno masuk ke dalam tubuhnya Sang Dewaruci atau Sang Marbudyèngrat yaitu Dzat yang menciptakan dan menggerakkan alam semesta beserta isinya.

Sang Bimoseno adalah lambang akal pikiran dan nafsu. Ia bertubuh besar juga kekuatannya. Orang yang memiliki tubuh dan kekuatan besar biasanya memiliki sifat-sifat hadigang, hadigung, hadiguna. Menganggap dirinya paling kuat, paling pandai, paling kaya, paling benar, dan paling suci. Pengakuan akan sifat-sifat seperti itu adalah bekerjanya akal pikiran dan nafsu. Akal pikiran dan nafsu itulah yang membuat manusia resah, gelisah, tidak bisa diam dan tenang, melainkan terus bergerak seperti angin, karena Sang Bimoseno adalah putra Bathara Bayu, Dewa Angin dengan Kunthi Talibrata.

Masuknya jasad Sang Bimoseno ke dalam tubuh Sang Dewaruci ya Sang Marbudyèngrat adalah sebuah proses menyerahnya akal pikiran dan nafsu manusia kepada Sang Pencipta. Artinya, akal dan pikiran manusia kembali kepada Sang Pencipta untuk mendapatkan perintah sesuai kekuasaan-Nya. Jika akal pikiran dan nafsu manusia sudah bekerja sesuai dengan bimbingan kekuasaan Sang Pencipta itulah manusia akan mendapatkan kesejatian yaitu kebahagiaan dan kemuliaan sejati .

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun