“Ah… siapa sebetulnya gerangan yang selalu mengirimiku surat. Apa dia termasuk salah satu orang yang pernah menerima suratku?” Sembari aku melangkah kembali ke dalam rumah.
“Kring… kring… kring...!” Bel itu berbunyi lagi.
“Pasti dia lagi…?” gumamku sembari aku lari dengan cepat.mendekati daun pintu.
“Ah, goblok. Gagal lagi, gagal lagi” Yang bisa kulihat hanya sebuah kertas yang perlahan jatuh bak layang-layang. Aku buka segera dengan perlahan-lahan.
“Sayang… Aku akan selalu menunggumu. Aku akan selalu setia setiap saat hanya padamu semata.” celoteh kertas itu tanpa henti.
“Brengsek… brengsek…!” Aku marah-marah sendiri. Namun aneh, hatiku sangat bahagia. Entah kenapa hatiku ini. Aku tak bisa memahami apa yang tengah aku rasakan.
Keesokan harinya, aku tak sabar menyelidiki siapa orang yang mengirim surat ini. Ku telusuri desa demi desa. Atau aku tanya pada setiap orang yang aku temui. Bertanya tentang alamat itu. Namun hasilnya nihil. Mereka semua hanya bisa menjawab “tidak tahu”. Hanya lelah, letih, dan payah yang kudapati.
“Oh… Ya.Hanya ada satu, yang harus kutanyai sekarang. Mungkin hanya dia yang tahu alamt ini!” Desas hatiku sembari bergegas ke tempatnya.
“Pak pos, apa kamu tahu alamat ini?”
“Tunggu sebentar!” pinta bapak pos itu. “Maaf, dalam database ini tak ada alamat yang Anda maksud.” jawabnya singkat.
Sampai jam 12 malam, seperti biasa, aku tetap menyelesaikan pekerjaanku. Dengan menggebu-gebu, hatiku mengajakku membalas surat itu lewat tinta darahku. Kuukir perlahan kata demi kata “Kasih, tunggu aku di kediamanmu sana. Akan kuhampiri engkau ke sana hanya sendiri”[]