Tapi siapa jua yang bisa sangkal?, setelah badai berlalu. Ada orang yang buntung pada jemari tangannya, ada yang kehilangan jempol kakinya. Tidak menutup kemungkinan orang itu kehilangan: satu tangan, sepotong kaki, atau dua-duanya sekaligus. Bola-bola mata meloncat dan ikut menggelinding seperti kerikil atawa pasir yang bergelinding. Daun-daun telinga lepas, gugur tertiup angin tak ubahnya dedaunan yang bergugurab dari tangkainya. Batang hidung pun tidak lagi tegak kebawah melainkan sudah mancung kesamping: Kiri, kanan, atau barangkali mancung keatas sebagai petunjuk bahwa yang diatas sana jauh lebih berkuasa atas tubuh dan takdir ketimbang manusia manapun.
Apalah hendak dikata? gigi-gigi tak lagi kokoh sebab akarnya telah hancur berkeping-keping. Sementara, bahu-bahu melepuh persis seperti hancurnya harga diri. Lalu lunturlah segala keberanianmu, kesombonganmu, wibawahmu, pesonamu, kecantikanmu, ke-lelakianmu, ke-perempuananmu.
Kemanah lagi hendak bersandar, bila hati telah hancur sehancur-hancurnya...?
Bukankah, Dia-lah yang pandai menyatuhan repihan hati yang tak lagi dapat direngkuh oleh jejemari siapapun. Kepada-Nyalah segala hati disandarkan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H