Kita hidup sebagai manusia yang tidak lepas dari identitas atau ciri khas dari suatu bangsa heterogen, seperti yang kita ketahui meski tidak dengan pemahaman detail bahwa istilah heterogen pada dasarnya dari disiplin ilmu kimia yang menjelaskan bahwa perpaduan unsur-unsur partikel yang berbeda. Komposisi yang tidak sama ini kita fahami sebagai masing-masing manusia yang hidup bersama dalam naungan suatu negara berpadu dengan irama yang khas dari negara tersebut menjadi identitas baru, peleburan identitas pribadi menjadi identitas bersama merupakan hal penting dalam tujuan masyarakat sebagai warga negara. Dari sini kita bisa memahami dan mengerti arti sebuah masyarakat, dengan sikap menyelaraskan kepentingan pribadi dengan orang lain sehingga menjadi kepentingan bersama, kepentingan dalam hal ini kita batasi sebagaimana mestinya. Kadang sebagian orang berasumsi bahwa kepentingan merupakan unsur politik semata, itu sah saja ketika politik yang difahami bukan politik bermuatan negatif. Jika kita termasuk orang dengan pemahaman eksistensialisme maka pasti sikap atau interaksi dalam masyarakat itu adanya pembatasan diri atas kebebasan individu terhadap kebebasan masyarakat secara umum, artinya tidak akan memaksakan kebebasannya jika kebebasan itu mengganggu kebebasan orang lain. Sebenarnya dalam suatu perkara, pemikiran seperti ini bisa menjadi pondasi yang baik dalam bermasyarakat karena sikapnya dalam bermasyarakat tidak sembrono karena ada makna tanggung jawab dalam benaknya.
Ini (eksistensialisme) memberikan suatu pelajaran kepada kita ketika serangan teknologi berdasarkan teori media sosial atau new media yang mengatakan bahwa manusia memiliki peran aktif dalam partisipasi dan kolaborasi terhadap persoalan yang disuguhkan oleh manusia lain melalui hasil teknologi yaitu media sosial ini tidak akan menimbulkan ambiguitas atau kericuhan, terkhusus ummat beragama. Dewasa ini kita sudah bisa lebih bijak dalam menggunakan teknologi yang satu ini, namun beberapa persoalan yang mengarah pada ambiguitas dan kericuhan itu bermunculan dengan cepat di media sosial sehingga mendorong kita untuk cerdas pula dalam menanggapi persoalan tersebut. Pada tulisan-tulisan saya sebelumnya merupakan beberapa hal persoalan yang sedang terjadi, ramai dan memiliki dampak beragam dan tulisan ini pula merupakan tanggapan saya mengenai persoalan yang sedang ramai di media sosial. Perdebatan yang awal nya berkenaan dengan kebenaran wahyu agama, kemudian ada beberapa hal keliru saat saya perhatikan dan ini menjadi suatu pelajaran bagi kita saat memberikan suatu argumentasi, termasuk saya pribadi dalam tulisan ini dan tulisan lain berupa tanggapan terhadap suatu persoalan.
Telaah terhadap makna solawat
Pada awalnya saya melihat suatu konten video di salah satu platform media sosial yang membahas klarifikasi dugaan tuduhan atau serangan terhadap salah satu agama, kemudian penganut agama tersebut memberikan klarifikasi atau pelurusan pemahaman atas dugaan tuduhan tersebut, barangkali para pembaca yang baik hati sudah mengetahui hal ini. Singkatnya dalam argumentasi tersebut terdapat kekeliruan makna atas kata solawat, dikatakan bahwa menurutnya bersolawatnya Allah dan para Malaikat-Nya itu merupakan doa kepada Nabi sehingga dapat menimbulkan kesalah-fahaman, bahkan hal ini dapat memberikan dampak yang lebih. Makna solawat pada surat Al-Ahzab ayat 56 itu memiliki perbedaan dengan dasar Hakikatnya, Allah bersolawat kepada Nabi itu sebagai Rahmat dan ke-Ridho-an, sedangkan solawat Malaikat kepada Nabi adalah doa dan istighfar, solawat kita sebagai ummat Nabi adalah sebagai doa dan penghormatan atau pengagungan kita terhadap Nabi.Â
Interpretasi doa yang dinisbatkan dari Malaikat kepada Nabi merupakan permintaan atau permohonan para Malaikat kepada Allah untuk kita sebagai ummat Nabi ketika kita menegakan dan mengamalkan ajaran Nabi, artinya para malaikat senantiasa berdoa ketika melihat manusia yang sebagai ummat Nabi itu menegakan dan mengamalkan ajaran Nabi. Maka akan menjadi suatu kesalah-fahaman jika kita berargumentasi tanpa memahami perluasan makna terhadap suatu kata atau kalimat dalam Al-qur'an, begitupun dengan kitab lainya (Zabur,Taurat dan Injil).
Sikap kita harus seperti apa ?
Merupakan suatu persoalan yang bisa saja menjadi ke-blunder-an bagi kedua belah pihak, karena jika berlanjut salah satu melakukan mempertanyakan bahkan serangan dan yang satu melakukan defend atau malah keduanya saling mempertanyakan bahkan menyerang, dalam hal ini masing-masing pihak pasti tidak akan tinggal diam ketika ada pihak yang mempertanyakan kebenaran   suatu ajaran. Kita lihat dari beberapa sudut pandang untuk menemukan titik temu persoalan ini sehingga sikap kita tidak malah memperkeruh persoalan.
1. Hakikat Agama, harus kita fahami bahwa hakikat agama itu secara konteks umum agar terarahnya kehidupan manusia dalam lingkup masyarakat. Kandungan ajaran kebaikan, ini yang harus kita pegang teguh bahwa setiap agama yang benar secara umum itu yang mengajarkan kebaikan, melarang perbuatan jahat, mengjarakan kasih-sayang dan ajaran baik lainya sehingga ada nilai utama diatas kebenaran dalam hal ini adalah kebaikan, kebaikan dengan konteks yang sangat luas melingkupi kemanusiaan. Ad-Din dalam islam memiliki makna lain yaitu 'balasan', maka dari makna ini kita fahami bahwa setiap perbuatan kita memiliki balasan, artinya jika kita meresapi makna ini maka perbuatan apapun akan selalu dibarengi dengan pertimbangan yang penuh kesadaran. Agama merupakan kebutuhan asasi manusia dalam menentukan arah-tujuan kehidupannya dan secara sosiologis itu berbeicara bagaimana interaksi manusia dengan manusia lain dalam konteks yang sangat luas, jika suatu persoalan menimbulkan kericuhan maka akan rusak tatanan sosiologis manusia dan dampak nya adalah kehancuran.
2. Prinsip Ajaran Agama, landasan pengajaran kebaikan dalam agama tentu adalah kitab suci yang merupakan firman Tuhan. Kita fahami bahwa prinsip merupakan hal yang fundamental bagi seseroang atau kelompok dan itu bersifat mengikat serta bisa dikatakan mutlak, artinya nilai kebaikan yang diajarkan menurut kitab suci adalah prinsip ajaran dan dari hal itu tidak mungkin terdapat pengajaran yang jahat. Sepakatkah kita bahwa bukan agama jika ada didalamnya ajaran untuk berbuat jahat atau zolim ? yang saya fahami bahwa mempertanyakan firman Tuhan dari kitab A dengan firman Tuhan dari kitab B adalah suatu hal yang sulit menemukan titik temu, karena setiap agama memiliki dalil yang kuat, maka sikap terbaik adalah menjalankan dalil-dalil dari setiap agama dengan baik dan benar karena sejatinya keyakinan hadir dengan akal-sehat, akal-budi serta hati nurani bukan dengan paksaan berdasarkan nafsu belaka. Menurut Abdul Wahid Yahya bahwa tradisi primordial (ilmu spiritual) adalah suatu yang universal pada semua agama dan perbedaan terletak pada cara dalam merealisasikan kebenaran tersebut, artinya bisa kita fahami bahwa setiap agama memiliki kebenaran yang sama yaitu adanya keyakinan terhadap Tuhan dan berbeda dalam cara beribadahnya. Prithjof Schoun alias Isa Nuruddin Ahmad asy-Syazili ad-Darqawi al-'Alawi al-Maryami mengatakan manusia yang menganggap sesuatu sebagai Realitas Akhir, yang tidak Terbatas, dan Maha Sempurna adalah Tuhan sebagai Dzat tertinggi yang wajib diyakini.
3. Menelaah persoalan, jika persoalan yang kita temui memiliki kesalah-fahaman dan memiliki dampak yang berbahaya terhadap suatu ajaran atau kerukunan masyarakat maka kesimpulan sementara yang bisa kita ambil adalah bahwa seseorang yang membawa persoalan tanpa serangan lebih dulu maka itu merupakan upaya merusak tatanan sosiologis, bahkan seseorang yang memberikan tanggapan atas serangan tersebut dengan hal yang sama (adanya kesalah-fahaman dalam pendapatnya) maka kita fahami bahwa keduanya adalah kesalahan, artinya perosalan ini merupakan sesuatu yang keliru dibalas dengan keliru sehingga kita dihadapi oleh dua pilihan pertama melerai dan meluruskan (jika memiliki ilmunya) atau kedua abaikan dan hindari.
4. Klarifikasi dan Memaafkan  jika tidak memiliki ilmunya, suatu pelajaran sebagai sikap yang bijak ketika kita mendapati persoalan semacam ini jika kita mengetahui kesalah-fahaman makna dan jika kita memiliki ilmunya maka berikan penjelasan makna yang sesungguhnya, cukup itu saja tanpa hal lain. Jika kita tidak memilki ilmunya maka maafkan serta doakan, karena jika kita memaksakan untuk berargumentasi justru akan memperkeruh persoalan tersebut. Mungkin persoalan ini merupakan hal yang sangat sulit, tapi kita harus ingat bahwa dalam kitab Risalah Ma'awanah dikatakan ketika kita tidak memiliki kemampuan dalam mencegah Nahi Munkar maka sikap terbaik adalah marah tanpa melampiaskan kemudian menghindarlah dari kemunkaran tersebut agar tidak timbul kemunkaran yang lain atas sikap kita karena ketidak-mampuan. Artinya bagi kita sebagai ummat islam, marah boleh tapi jika kita tidak memiliki ilmu serta kemampuan untuk membela lebih jauh dan dalam maka sikap terbaik adalah diam, daokan dan hindari persoalan agar tidak menimbulkan kemunkaran yang lain. Dalam Tafsir Al-Misbah pada surat Al-Kafirun ayat 1 dikatakan bahwa keyakinan kita terhadap ajaran yang jika dalam suatu kondisi kita tidak harus mengungkapakan secara lantang kama ungkapkanlah dalam hati saja, kecuali kita memiliki ilmunya dan melihat persoalan yang dapat mengaburkan ajaran maka barulah kita berbicara untuk meulurskannya.