Mohon tunggu...
Cecep Sodikin
Cecep Sodikin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Menanti Perdamaian di Poso

15 April 2016   15:48 Diperbarui: 19 Juli 2016   08:52 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara  letusan senapan laras panjang masih selalu terdengar di telingaku dari kejauhan. Inilah peristiwa yang kerap kali aku alami di sini, desa tempatku lahir Poso Sulawesi Tengah. Tentara dan polisi pun selalu mondar-mandir dengan kendaraan besarnya, dan sudah hampir empat bulan ini pasukan yang dikerahkan ke Poso semakin banyak jumlahnya. Pasukan inilah yang katanya ditugaskan untuk memburu kelompok teroris yang sudah empat tahun ini menganggu keamanan di kota tempat tinggalku.

Poso adalah  kabupaten dari Provinsi Sulawesi Tengah, yang 17 tahun silam ditimpa konflik SARA antara kelompok muslim dan nasrani. Konflik ini pun memakan banyak korban di kedua belah pihak. Tapi akhirnya masyarakat menyadari bahwa konflik ini harus diakhiri dan perdamaian di Poso harus tercipta kembali. Akhirnya ditekennya deklarasi damai di Malino Sulawesi Selatan.

Nikmatnya perdamaian di Poso saat itu aku alami dengan masyarakat sekitar, baik dengan pemeluk agama Islam maupun Nasrani. Perbedaan agama tidak lagi menjadi jurang pemisah di antara kami. Kami dapat saling membantu, berdagang, beribadah, dan silaturahmi. Tapi sayang, masa itu tidak berlangsung lama. Munculnya kelompok separatis bersenjata telah mengusik kedamaian di Poso. Bahkan, ketua kelompok ini telah dianggap sebagai teroris global oleh Amerika Serikat. Dialah Santoso alias Abu Wardah yang merupakan pentolan dari kelompok ini. Aksi-aksi terornya pun telah memakan banyak korban, baik dari warga sipil maupun aparat keamanan. 

Pemerintah tidak ambil diam terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok Santoso Cs. Upaya penumpasan kelompok ini dimulai dari Camar Maleo I sampai dengan Camar Maleo IV. Empat tahun sudah operasi penumpasan teroris Santoso Cs berlangsung, dan hasilnya pun belum kami rasakan. Poso masih tidak aman. Baku tembak antarkelompok Santoso dan aparat kepolisian masih saja berlangsung sampai saat ini. Bahkan, dengan bergantinya nama operasi menjadi Tinombala di awal tahun 2016 lalu, pemerintah bermaksud mengakhiri sepak terjang  kelompok Santoso Cs secepatnya. 

Pengerahan pasukan pun tidak tanggung-tanggung sampai dengan 3.000 personil pasukan gabungan TNI/Polri hanya untuk menangkap hidup atau mati kelompok Santoso yang berjumlah 30-40 orang. Kalau kita ibaratkan perang antara kelompok Santoso Cs dengan pasukan gabungan TNI/Polri seperti film “Spartan”, yaitu film masa Yunani, di mana pasukan Yunani yang  jumlahnya sangat kecil, sanggup membuat sulit pasukan lawan yang jumlahnya jauh lebih besar walaupun pada akhirnya kalah juga, dan inilah yang terjadi di Poso saat ini. Bayangkan saja, dari jumlah itu berarti 1 orang anggota kelompok Santoso melawan kurang lebih 100 personil keamanan.

Lontaran statement-statement dari Polri banyak kita dengar, seperti kelompok Santoso telah terdesak, kelompok Santoso telah kehabisan logistik, kelompok Santoso pecah menjadi beberapa kelompok, menumpas kelompok Santoso tinggal menunggu waktu saja, dan bla, bla, bla. Tapi kenyataannya foto-foto selfie Santoso masih banyak beredar di socmed, dengan senyum yang lebar seakan-akan meledek aparat pemburu Santoso. Bahkan, beredar foto selfie Santoso bersama seorang bayi yang digendong. Apakah itu yang disebut terdesak wahai bapak-bapak pemburu? Bahkan pernah juga aku berpikirapakah sosok Santoso ini ada atau tidak di Poso, atau jangan-jangan Santoso telah meninggalkan Poso. Kalau itu terjadi betapa tumpulnya intelijen kita saat ini.

Sampai bulan keempat Operasi Tinombala ini berlangsung hasilnya tetap nihil. Santoso belum bisa tertangkap. Jangankan tertangkap, melihat sosok Santoso saja mungkin belum pernah yang katanya masih berada di di Gunung Biru. Pernah juga aku dengar pernyataan dari Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo, yang akan menurunkan pasukan Satpol Pamong Praja untuk ikut menumpas kelompok Santoso CS. Pernyataan itu menurutku adalah sindiran keras dari pemerintah terhadap kinerja para pemburu Santoso agar secepatnya bisa menangkap pentolan teroris Poso tersebut. Itu harusnya menjadi pemicu bagi aparat-aparat kita di Poso untuk segera menyelesaikan kasus ini. Tapi itupun kalau mereka “merasa”.

Baru-baru ini, aku  juga  mendengar kabar bahwa 10 WNI kita disandera oleh kelompok Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok teroris dari Filipina. Dari berita itu pemerintah telah menurunkan pasukan khusus yang dimiliki, yaitu dari bapak-bapak TNI. Aku dengar ada yang dari Kopassus, pasukan khusus Angkatan Laut, dan pasukan khusus Angkatan Udara untuk membebaskan para sandera tersebut. Tapi karena terbentur masalah koordinasi antarnegara, pasukan kita masih menunggu hasil koordinasi para pejabat negara kita. 

Dari berita itu yang menjadi pertanyaanku adalah kenapa pasukan itu tidak diterjunkan di Poso untuk memburu Santoso, karena  aku pernah baca di internet pasukan khusus TNI yang dimiliki Indonesia telah diakui oleh dunia. Mereka sangat terlatih di medan-medan tempur, baik di darat, laut dan udara. Sepertinya tidak ada salahnya jika mereka ini diturunkan kalau pemerintah memang ingin mempercepat perdamaian di Poso. Atau kalau boleh aku usul jika cara-cara kekerasan dianggap gagal untuk mengatasi masalah di Poso, sepertinya cara negosiasi seperti yang  dilakukan oleh bang Yos  ( kepala BIN ) kepada kelompok Din Minimi di Aceh dapat juga dipikirkan. 

Dari kejadian yang tidak kunjung selesai, kira-kira sudah berapa banyak ya... korban yang meninggal ataupun luka-luka di pihak Santoso ataupun aparat, dan berapa juga uang negara telah habis dikeluarkan untuk memburu kelompok Santoso Cs yang terkenal licin ini? Mungkin hanya pemerintah dan DPR yang tahu. Bahkan, sindiran dari gedung DPR pun terlontar, “Menangkap Santoso saja nggak bisa, apalagi lawan Abu Sayyaf, bisa mati konyol.”

Sepertinya aku dan masyarakat Poso masih harus menunggu  keajaiban dan anugerah bahwa suatu saat Poso kembali menjadi wilayah yang aman dan damai. Teringat bagiku saat peristiwa Gerhana Matahari Total yang berlangsung 9 Maret lalu di Poso. Saat itu suasana damai walaupun sesaat sangat aku rasakan. Turis-turis lokal dan asing berdatangan ke Poso untuk menyaksikan fenomena alam yang jarang terjadi dengan suasana yang aman dan damai. Suasana pemandangan laut yang indah yang menjadi aset Poso sebagai tempat pariwisatanya. Ada lagi wisata kulinernya yang nikmat. Ini wajib dicicipi jika ada wisatawan datang ke Poso. Inilah sebenarnya yang harus kita ciptakan untuk Poso, yaitu menanti kedamaian di Kota Poso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun