[caption caption="bemkm.ugm.ac.id/2015/10/07/portofolio-gerakan-kawal-nawacita/"][/caption]Membaca berita di katadata.co.id ini kita menjadi teringat dengan pernyataan dan sikap tegas dari Jokowi setelah terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (15/9/2014). Pada saat itu, Presiden terpilih Joko Widodo menegaskan, menteri yang akan mengisi kabinetnya tak boleh merangkap jabatan di partai politik. Setelah terpilih menjadi menteri, yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya di partai.
Publik yang menghantarkan sosok Jokowi yang memiliki karakter demokratis karena mampu memperpendek jarak antara rakyat dengan pemimpin di negeri ini, tentu ingat bahwa maksud dari Presiden Jokowi agar kabinetnya lepas jabatan dari Partai Politik adalah agar menteri tersebut dapat fokus bekerja. Fokus bekerja disini tentunya adalah mewujudkan kehadiran negara di tengah-tengah kehidupan rakyat.
Muncul pertanyaan. Kalau Wapres Jusuf Kalla kembali mencoba-coba menarik Ketua Umum Hanura masuk dalam Kabinet Pemerintahan Jokowi, bukankah menjadi benar pertanyaan publik bahwa konflik atau perpecahan yang terjadi di Golkar, PPP adalah karena cawe-cawe-nya Jusuf Kalla?
Pertanyaan selanjutnya, siapa orang yang diinginkan oleh Jusuf Kalla untuk menggantikan posisi Wiranto di Ketua Umum Hanura jika analisa diatas benar akan terjadinya?
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang juga muncul ketika wacana yang berkembang dari analisa atau berita yang ada di katadata.co.id adalah kemunculan sosok Jusman Syafii Djamal, mantan Menteri Perhubungan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Publik tentu perlu mengingat kembali pemberitaan yang mengatakan bahwa Jusuf Kalla ketika menjabat Wapres di era Susilo Bambang Yudhoyono disebut-sebut sebagai Matahari Kedua. Dari sini kita menjadi mafhum dengan istilah Matahari Kembar di Republik ini.
Jauh beda dengan sikap kenegarawanan Bung Hatta ketika memiliki perbedaan pandangan dan sikap politiknya dengan Soekarno. Sikap negarawan Bung Hatta ini, menurut seorang wartawan senior Arief Gunawan adalah sebaik-baiknya tingkah laku wakil presiden di Republik Indonesia ini.
“Hatta bertentangan secara politik dengan Sukarno. Hatta reformis, Sukarno revolusioner. Sukarno gandrung persatuan, Hatta memandang persatuan hanya alat. Sukarno menghendaki negara kesatuan, Hatta ingin negara serikat. Sukarno anti demokrasi parlementer, Hatta pendukung demokrasi parlementer. Bung Karno menganggap pemungutan suara (voting) merupakan tirani mayoritas, Bung Hatta menganggap voting sebagai jalan mencapai mufakat. Tapi Hatta mundur dari jabatannya secara baik-baik satu tahun setelah Pemilu '55, yaitu Desember '56, sewaktu perbedaan pandangan dan sikap politik keduanya memuncak menyusul Demokrasi Terpimpin diberlakukan Sukarno”, Arief Gunawan
“Dibawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi”
[caption caption="www.slideshare.net/arbib/nawa-cita"]
Namun demikian, dalam perjalanan pemerintahannya, Presiden Jokowi menghadapi persoalan ketika telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Percepatan.
Percepatan untuk apa? Percepatan untuk membuka jalan guna mewujudkan visi & program aksi "Trisakti & Nawacita" sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.