[caption caption="Sumber Foto : Antara Foto"][Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Antara Foto]
“...saya selalu percaya penuh pada suatu sistem politik yang demokratis.
Karena suatu sistem yang demokratis memungkinkan
adanya masukan dan kontrol di hadapan wajah penguasa
dan memungkinkan terjadinya check and balances antar lembaga pemerintah”
-Rizal Ramli, Industri Pers dan Demokratisasi-
Pada tulisan seri pertama ini, saya mengatakan bahwa para jurnalis/ pejuang pers ataupun Rizal Ramli memiliki cita-cita yag sama. Bahwa pers Indonesia harus diposisikan pers perjuangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan dan keberpihakannya kepada rakyat kebanyakan.
Oleh karena itu, dalam suatu kesempatan di Konvensi Nasional Media Massa di Lombok (8 Februari 2016), Rizal Ramli mengungkapkan bahwa di negara-negara yang kehidupan demokrasinya lemah, pers dianggap hanya menimbulkan kebisingan dan kebablasan. Akibatnya, insan pers sering menjadi target tindak kekerasan, baik oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat atau dari rezim penguasa.
Saat kembali membaca paragraf-paragraf berikutnya dalam tulisan berjudul “Industri Pers dan Demokratisasi” yang ditulis Dr. Rizal Ramlidi BREDEL 1994, saya melihatnya ada pengakuan dan kesadaran bahwa ia mengalami kesulitan dalam menuliskan pandangannya tentang pers dan demokrasi. Menurutnya, hal ini dipengaruhi oleh disiplin ilmu yang ia miliki memang bukan ilmu politik dan ilmu hukum.
Namun, sosok yang dikenal sebagai teknokrat ini percaya bahwa sistem politik yang demokratis akan menyediakan ruang bagi segala hal untuk dapat diartukulasikan dan diperdebatkan tanpa khawatir disensor atau mengalami kekerasan. Apalagi yang menyangkut kepentingan mayoritas rakyat.
Baginya, salah satu bentuk dari wajah sistem yang demokratis itu adalah pers yang bebas dan independen. Tanpa pers yang bebas dan independen, menjadi sulit bagi negara manapun untuk menjamin demokrasi.
Berikut ini adalah salah satu cuplikan pandangan Dr. Rizal Ramli tentang pers dan demokratisasi yang ia dedikasikan dalam perjuangan melawan pembredelan TEMPO, DETIK dan EDITOR yang dilakukan Rezim Otoriter Orde Baru. Dalam kutipan ini, terdapat beberapa penyesuaian dalam penggalan-penggalan paragrafnya agar memudahkan proses membacanya.
“...
Pers sering dirujuk sebagai “pilar keempat” dalam sistem yang demokratis. Tanpa pers yang bebas dan independen, menjadi sulit bagi negara manapun untuk menjamin demokrasi.
Pemerintahan yang otoriter takut terhadap pers yang bebas dan independen karena pemerintahan yang otoriter hanya memiliki “otoritas” dan “terlihat kuat” dengan mengontrol informasi dan interpretasinya. Informasi hanya “baik dan benar” apabila sesuai dengan keinginan dan interpretasi penguasa.
Dengan alasan ini, pemerintahan otoriter selalu mencoba mengontrol ideologi, politik, kepemilikan, hukum, dan administrasi dari pers. Pers yang bebas dan independen sering disalahkan karena menganggu stabilitas nasional, kemananan negara dan lain-lain. Seringkali argumen stabilitas nasional menjadi alasan utama. Faktanya -yang sesungguhnya menjadi kekhawatiran- adalah stabilitas dari orang-orang yang berkuasa. Suatu negara, lebih jauh lagi, akan berkembang dan menjadi lebih dinamis karena pers yang bebas dan independenakan akan mendorong terjadinya analisa kompetitif dan meningkatkan kualitas dari informasi.
Struktur dari industri pers mempengaruhi kualitas dari informasi yang diperoleh dari dunia pers. Struktur dari suatu pers yang terkonsentrasi –di mana suatu bagian kecil dari sektor pemberitaan mengontrol segmen terbesar dari pasar pers - akan berbeda dari sistem yang kompetitif. Dengan industri yang terkonsentrasi, satu atau dua media akan mendominasi pasar. Posisi mereka dapat dianggap sebagai kuasi-oligopolistik, dengan kondisi mayoritas media sisanya menguasai pasar yang kecil dan marjinal.
Media-meida yang memiliki posisi kuasi-oligopolistik akan mempertahankan monopoli atas informasi. Media itu akan menjadi trendsetter dari opini publik dan mengatur isu-isu yang sedang berkembang. Beberapa isu akan diangkat dan diperdebatkan secara artifisial, sehingga melahirkan sejumlah opini yang diinginkan pihak tertentu. Namun, sesegera suatu masyarakat menjadi tertarik pada isu-isu, dan meminta informasi dan analisis yang lebih dalam, media yang bersifat kuasi-oligopolistik akan menghentikan isu yang menjadi pertanyaan masyarakat itu. Kemudian, mereka akan mencoba mencari isu baru. Dengan pendekatan daur ulang.
Struktur kuasi-oligopolistik industri pers bermakna tidak adanya dorongan kompetitif untuk meningkatkan kualitas pers maupun tidak adanya keperluan bagi pers untuk melayani para pembacanya secara objektif. Media-media yang dominan akan terus mengabdi kepada status quo, karena status quo yang sama juga lah yang menjamin keberlanjutan dominasi dan memastikan terjadinya akumulasi modal bagi industri pers.
Pemerintah paling dipuaskan dengan struktur industri pers semacam ini karena proses pengendalian terhadap pers menjadi sangat sederhana. Pengendalian ini cukup dengan kritik kecil yang sopan, lalu pemberitaan-pemberitaan dominan segera “tiarap” and segera “menyesuaikan” beritanya dengan selera penguasa.
Dengan kata lain, lamanya dominasi akhirnya akan ditentukan oleh sikap mereka di hadapan penguasa. Di sisi lain, ketika industri pers bersifat kompetitif,akan menjadi sangat sulit bagi media manapun untuk memonopoli berita. Ini adalah tipe dari atmosfer kompetitif yang telah muncul setelah dua tahun terakhir setelah kasus pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Dalam dua tahun dari keterbukaan, tidak ada satu pemberitaan yang mendominasi diskusi publik. Isu-isu tidak hanya diangkat oleh Kompas, tetapi juga oleh pemberitaan lain seperti Tempo, Republika, Media Indonesia, dan Forum Keadilan, dan sebagainya.
Suatu industri pers yang kompetitif membawa pemberitaan dekat kepada pembacanya dan sangat meningkatkan kemampuan dari pers Indonesia untuk mempublikasikan informasi yang analitis dan berkualitas tinggi. Posisi dari pers tidak lagi ditentukan oleh “kedekatan” mereka terhadap pemerintah, tapi lebih kepada kemampuan mereka untuk memenuhi selera dan permintaan pembaca.
...”
Menutup bagian tulisan seri ketiga ini, bolehkah kita mempertanyakan kembali makna INDEPENDENSI PERS : independen menjalankan fungsinya sebagai watchdog bersama kekuatan rakyat dalam trias politika atau membela kepentingan modal swasta?
Jawaban saya : MEDIA SOSIAL bisa menjadi salah satu alternatif kita bersama.
BERSAMBUNG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H