[caption caption="BREDEL 1994"][BREDEL 1994, diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen]
“Sejak dasawarsa 1980-an, pers Indonesia tampak mulai bergeser
dari pers perjuangan menjadi pers industri”
- Ahmad Taufik dan Eko Maryadi-
Dari beberapa catatan kecil yang saya buat saat melakukan penelusuran ke beberapa catatan yang ada di internet dan buku-buku yang berhubungan dengan perlawanan insan pers terhadap Orde Baru, saya terbentur oleh suatu pertanyaan.
Sepertinya masih sedikit yang menyajikan sejarah dari sosok yang pernah merasakan penjara Orde Baru di Sukamiskin, Bandung, dalam melawan kontrol ketat terhadap pers Indonesia di penghujung abad 20.
Setelah saya menemukan dokumen pembelaan 2 jurnalis Independen, Ahmad Taufik dan Eko Maryadi, yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (29 Agustus 1995), saya mulai memperoleh informasi pendukung tentang artikel “Industri Pers dan Demokratisasi” yang ditulis oleh ahli ekonomi Rizal Ramli.
Dalam buku “Semangat Sirnagalih: 20 Tahun Aliansi Jurnalis Independen”, hal.84, disebutkan bahwa Independen merupakan terbitan Aliansi Jurnalis Independen yang menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang menjadi alat dari kekuasaan Orde Baru dalam mengontrol ketat pers Indonesia.
Terang saja, ketika jurnalis-jurnalis muda ini bersuara lugas melalui Independen edisi 10 Januari 1995 yang dalam sampulnya diberi judul “Harmoko dan Saham di 32 Media”, mereka langsung diburu oleh penguasa Orde Baru. Independen edisi nomor 10 yang memuat topik utama “Jadi Menpan Tiga Periode Ambil Saham Tigapuluh Media”ini menjadi penanda dinyatakannya sebagai terbitan TERLARANG oleh Kejaksaan Agung.
Selanjutnya, sekretariat AJI digrebek. Tiga orang aktivis AJI ditangkap. Mereka adalah Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo.
Didalam pembelaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ahmad Taufik dan Eko Maryadi, mengulas sejarah penindasan terhadap pers sejak era kolonial hingga Orde Baru. Keduanya juga mengemukakan data para wartawan yang sudah menjadi korban pasal-pasal Haatzai Artikelen yang diwariskan oleh penjajah untuk mengekang kaum pergerakan nasional.
Kedua anggota AJI itu juga mengemukakan terjadinya perubahan karakter dari pers Indonesia yang dalam sejarahnya merupakan pers perjuangan.
“Halaman terkemuka media massa kita tidak bisa secara blak-blakan menunjuk hidung pihak-pihak yang nyata-nyata merugikan kepentingan masyarakat”, demikian kata mereka berdua.
Dua jurnalis dengan jiwa merdeka ini juga menyatakan bahwa:
“Sejak dasawarsa 1980-an, pers Indonesia tampak mulai bergeser dari pers perjuangan menjadi pers industri. Kini, kita sulit mengenali sosok seorang "wartawan pejuang" dalam jajaran pucuk pimpinan pengelola perusahaan industri pers. Yang sering kita temui dalam boks redaksi, justru nama-nama para pengusaha besar atau konglomerat, yang sering tercatat sebagai penyumbang pajak pribadi terbesar”.
“Dengan cara seperti itu, pers Indonesia --meminjam istilah ahli ekonomi Rizal Ramli-- "dibudidayakan" sebagai pers pendukung politis dan ekonomis penguasa. Pers hasil "budidaya" itu selalu sibuk menyesuaikan diri dengan selera penguasa, sehingga lupa dengan aspirasi rakyatnya”, lanjut Pembelaan Ahmad Taufik dan Eko Maryadi
Dr. Rizal Ramli yang saat itu dikenal sebagai kritikus ekonomi politik dan merupakan managing director dari lembaga riset ECONIT Advisory Group, memang pernah berkontribusi dalam sebuah buku yang berisi ontologi artikel-artikel seputar pemberedelan TEMPO, DETIK dan EDITOR pada 21 Juni 1994.
“BREDEL 1994” judul buku itu. Penulis buku itu memiliki latar belakangnya yang berbeda-beda. Menurut sebuah resensi di www.kabar.tobucil.net (http://www.kabar.tobucil.net/2012/09/bredel-1994-bersatu-mengingat-represi.html) disebutkan ada jurnalis, sejarawan, akademisi, pengamat ekonomi, mantan aktivis, hingga alumni pesantren.
Dalam tulisannya yang diberi judul “Industri Pers dan Demokratisasi”, Dr. Rizal Ramli menyatakan bahwa:
“Struktur kuasi-oligopolistik dari industri pers bermakna tidak adanya dorongan kompetitif untuk meningkatkan kualitas pers dan tidak adanya keperluan pers untuk melayani para pembacanya secara objektif. Pemberitaan-pemberitaan utama akan terus mengabdi kepada status quo, karena status quo yang sama juga lah yang menjamin keberlanjutan dominasi dan memastikan terjadinya akumulasi modal bagi industri pers. Otoritas politik sangat gembira karena proses pengendalian pers telah menjadi sangat sederhana.”
...
BERSAMBUNG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H