Mohon tunggu...
Agus Priyanto
Agus Priyanto Mohon Tunggu... Freelancer - sodarasetara

----

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serial Melawan LUPA #2: Pers, Demokrasi, dan Daulat Rakyat

27 Maret 2016   14:59 Diperbarui: 27 Maret 2016   15:13 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua anggota AJI itu juga mengemukakan terjadinya perubahan karakter dari pers Indonesia yang dalam sejarahnya merupakan pers perjuangan.

“Halaman terkemuka media massa kita tidak bisa secara blak-blakan menunjuk hidung pihak-pihak yang nyata-nyata merugikan kepentingan masyarakat”, demikian kata mereka berdua.

Dua jurnalis dengan jiwa merdeka ini juga menyatakan bahwa:

“Sejak dasawarsa 1980-an, pers Indonesia tampak mulai bergeser dari pers perjuangan menjadi pers industri. Kini, kita sulit mengenali sosok seorang "wartawan pejuang" dalam jajaran pucuk pimpinan pengelola perusahaan industri pers. Yang sering kita temui dalam boks redaksi, justru nama-nama para pengusaha besar atau konglomerat, yang sering tercatat sebagai penyumbang pajak pribadi terbesar”.

“Dengan cara seperti itu, pers Indonesia --meminjam istilah ahli ekonomi Rizal Ramli-- "dibudidayakan" sebagai pers pendukung politis dan ekonomis penguasa. Pers hasil "budidaya" itu selalu sibuk menyesuaikan diri dengan selera penguasa, sehingga lupa dengan aspirasi rakyatnya”, lanjut Pembelaan Ahmad Taufik dan Eko Maryadi

Dr. Rizal Ramli yang saat itu dikenal sebagai kritikus ekonomi politik dan merupakan managing director dari lembaga riset ECONIT Advisory Group, memang pernah berkontribusi dalam sebuah buku yang berisi ontologi artikel-artikel seputar pemberedelan TEMPO, DETIK dan EDITOR pada 21 Juni 1994.

“BREDEL 1994” judul buku itu. Penulis buku itu memiliki latar belakangnya yang berbeda-beda. Menurut sebuah resensi di www.kabar.tobucil.net (http://www.kabar.tobucil.net/2012/09/bredel-1994-bersatu-mengingat-represi.html) disebutkan ada jurnalis, sejarawan, akademisi, pengamat ekonomi, mantan aktivis, hingga alumni pesantren.

Dalam tulisannya yang diberi judul “Industri Pers dan Demokratisasi”, Dr. Rizal Ramli menyatakan bahwa:

“Struktur kuasi-oligopolistik dari industri pers bermakna tidak adanya dorongan kompetitif untuk meningkatkan kualitas pers dan tidak adanya keperluan pers untuk melayani para pembacanya secara objektif. Pemberitaan-pemberitaan utama akan terus mengabdi kepada status quo, karena status quo yang sama juga lah yang menjamin keberlanjutan dominasi dan memastikan terjadinya akumulasi modal bagi industri pers. Otoritas politik sangat gembira karena proses pengendalian pers telah menjadi sangat sederhana.”

...

BERSAMBUNG...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun