"Itu malah menjadi sebuah pembelajaran publik mana yang benar, siapa yang betul dan tidak. Tapi apapun harus satu visi dengan Presiden"
--- Presiden Joko Widodo ---
Mengapa persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru dihambat untuk diketahui oleh publik?
Inilah beberapa pertanyaan yang muncul dalam beberapa waktu belakangan ini. Pertanyaan-pertanyaan publik yang mengemuka ke permukaan melalui berbagai saluran media sosial tersebut memang telah menjadi sebuah kewajaran ditengah perkembangan baru “Daulat Rakyat pada Era Digital”.
Menurut Amir Sodikin dalam Harian Kompas pada 15 Desember 2014 “Joko Widodo adalah presiden yang lahir dari fenomena gerakan digital. Oleh karena itu, tidak aneh jika salah satu gagasannya adalah memanfaatkan TI untuk mengganti blusukan, kegiatan turun ke masyarakat yang selama ini sering dilakukannya”.
Ya, rakyat memang telah menemukan saluran politiknya untuk mewujudkan kedaulatannya. Inilah era baru, era demokrasi digital. Ruang demokrasi yang memberikan kesempatan yang luas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menyatakan hak demokrasinya yang dilindungi oleh UUD.
Namun demikian, Presiden Joko Widodo dengan tegas mengingatkan bahwa "Itu (demokrasi digital-penulis) menjadi sebuah pembelajaran publik, mana yang benar dan mana yang tidak benar" dan “apa pun harus tetap satu visi dengan Presiden. Itu saja. Prinsip itu. Prinsip satu itu”.
Perkembangan demokrasi digital sejak Pemilu 2014 telah membuka kesempatan baru bagi mayoritas publik untuk melakukan konfirmasi terhadap berbagai informasi dan sumber data yang berseliweran di hadapannya.
Ketika Presiden Jokowi mengingatkan kepada publik bahwa Visi Trisakti dan Nawacita itu adalah hal yang prinsip, maka publik diajak untuk kembali membuka Visi Misi dan Program Aksi Presiden @Jokowi yang diserahkan kepada KPU dalam Pemilu 2014 yang lalu “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”. Didalam Visi Misi dan Program Aksi tersebut, pemerintahan yang dinahkodai oleh Presiden Jokowi akan dijalankan diatas rel konstitusi melalui Jalan Perubahan yang adalah jalan ideologis yang secara historis bersumber pada Pancasila, UUD 1945, dan Proklamasi.
Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamatkan bahwa arah tujuan nasional dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Gaduh Kabinet
["Jokowi bersama Netizen"][/caption]
“Itu dinamika biasa. Kan perbedaan itu biasa,” kata presiden Joko Widodo di sela-sela meninjau jalan tol Medan-Binjai, di Sumatera Utara, Rabu (2/3/2016).
Memang, di beberapa media massa atau lini masa sosial media, beberapa hari ini lagi terjadi perbincangan hangat terkait persoalan yang menyangkut sebagian besar publik di negeri yang kaya akan sumber daya ini.
Menurut catatan harian Warta Kota (3 Maret 2016), dari 5 Jejak Kegaduhan Antarmenteri didalam #Kabinet_Jokowi yang menurut saya cukup strategis adalah:
1. Proyek pembangkit listrik 35.000 MW,
2. Perpanjangan Kontrak Freeport,
3 (tiga) Persoalan diatas memang cukup menarik perhatian sebagian besar “rakyat pinggiran” selama 18 tahun paska perjuangan Reformasi 1998 karena energi dan sumber daya mineral harus “Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu mengandung arti bahwa apa yang dihasilkan dalam pemanfaatan sumber daya alam itu, harus benar-benar untuk rakyat, untuk semua masyarakat Indonesia, untuk semua orang, dan bukan untuk segelintir atau sekelompok orang”.
“Saya ingin agar proyek besar ini memberikan manfaat kepada ekonomi langsung, dan juga menciptakan sebuah nilai tambah yang memberikan efek berantai (multiplier effect) pada perekonomian nasional kita,” kata Presiden Jokowi dalam pengantar rapat terbatas yang membahas Blok Masela, di kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/12/2015).
Inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh Visi Trisakti Presiden Jokowi tentang Kadaulatan Politik dan Kemandirian Ekonomi nasional kita. “Kedaulatan politik akan kehilangan makna jika tidak diiringi oleh kemandirian ekonomi yang menjadi prasyarat dasar bagi teriaganya otonomi dalam pembuatan kebijakan nasional. Semakin tinggi kemandirian ekonomi, semakin tinggi pula otonomi dalam pembuatan kebijakan nasional”.
Kabar dari Indonesia Timur
Sementara itu, suara publik dari Maluku yang merupakan provinsi termiskin ke empat di Indonesia telah manyatakan sikapnya dalam Musyawarah Besar Masyarakat Maluku yang juga dibuka oleh wapres Jusup Kalla pada 25 November 2015. Hasil musyawarah tersebut menyatakan bahwa "kami bertekad berjuang dengan serius dan terus mendesak pemerintah RI agar memberikan perlakuan yang adil kepada daerah dan anak Negeri Maluku melalui kebijakan pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi objektif provinsi Maluku yakni sebagai wilayah berakarkter kepulauan dan kelautan”.
[caption caption="Tokoh dan Civitas Akademika Perguruan Tinggi Maluku bersama Wantimpres"]
Tokoh dan civitas akademika Perguruan Tinggi di Maluku pun juga telah menyampaikan masukan pemikiran dan harapannya kepada Wantimpres , Pak Sidarto Danusubroto dan Suharso Manoarfa, agar kilang minyak dan gas di daerah itu dibangun di darat, bukan di laut.
Kini, mayoritas publik yang telah melakukan Revolusi Mental sejak kebangkitan partisipasi massa kritis dalam pemilu 2014 sudah memiliki kesimpulan masing-masing. Siapa sesungguhnya ‘biang’ penghambat Revolusi Mental di tubuh #Kabinet_Jokowi. Publik telah memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini melalui proses aktif dan kritis dalam alam demokrasi digital ini. Tentu publik juga telah mengetahui dengan jelas siapa sesungguhnya yang melakukan pencatutan nama Presiden ketika mereka menggunakan istilah ‘gaduh’ untuk hambat Visi Misi Trisakti – Nawacita.
[caption caption="Harian Warta Kota (3 Maret 2016) & Perpres 10 2015 Pasal 1-4"]
Nah, sekarang kita semua menjadi paham siapa sesungguhnya menginginkan ‘udang dibalik lemparan batunya’. Kita jadi paham pula siapa yang sepertinya tidak membaca Peraturan Presiden tentang salah Kementerian Koordinator yang baru Pemerintahan Jokowi. Lha ini juga ada-ada aja dari mereka masih menyatakan bahwa Presiden Geram, Presiden Unhappy, Presiden Prihatin dan bla bla bla…
Manutup tulisan ini, kiranya layak untuk kita pekikkan “Ini Revolusi Mental di Tahun Percepatan Bung!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H