Mohon tunggu...
Agus Priyanto
Agus Priyanto Mohon Tunggu... Freelancer - sodarasetara

----

Selanjutnya

Tutup

Politik

Faisal Basri, Tim Counterpart Blok Masela yang Tak Independen

23 Januari 2016   16:10 Diperbarui: 23 Januari 2016   16:58 3289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perbandingan LNG Darat vs LNG Terapung di Blok Masela"][/caption]

"Bumi dan air, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mengandung arti bahwa apa yg dihasilkan dlm pemanfaatan SDA itu, harus benar2 untuk rakyat. 

Presiden ingin proyek ini berikan manfaat ekonomi langsung & ciptakan sbuah nilai tambah yg berikan efek berantai pd perekonomian nasional"

Pidato Pengantar Presiden Jokowi dalam Rapat Kabinet Bahas Blok Masela, 29 Desembe 2015

 

Jika Presiden Jokowi telah menegaskan sikap dan posisi pemerintah dalam pengembangan Blok Masela adalah harus sesuai pasal 33 UUD 1945, memberikan manfaat langsung dan ciptakan nilai tambah yang berikan efek berantai dalam perekonomian nasional, tapi mengapa tiba-tiba wakil Ketua Tim Counterpart (Pengawas) Blok Masela, Faisal Basri, bersikap seolah ikut mendukung sikap dari Konsultan Blok Masela, Poten and Partens Australia?

Begini ceritanya. Bermula dari 2 berita yang beredar di media massa pada 22 Januari 2016. 

  1. Faisal Basri: Hanya Ada Kepentingan di Masela
  2. Soal Blok Masela, Faisal Basri Minta Rizal Ramli Ditertibkan

2 berita diatas jelas mengungkap sikap asli Faisal Basri dalam penentuan pengembangan Blok Masela. Sebagai wakil ketua Tim Counterpart yang bertugas mengawasi kerja Konsultan Independen, Faisal Basri telah berpihak kepada Poten an Partners yang sejak awal diketahui memang cenderung setuju FLNG.

Faisal Basri yang sebelumnya juga jabat Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, juga telah menunjukkan sikap yang pilih-pilih dalam mengungkap keberadaan mafia migas. Banyak pihak bertanya-tanya, kenapa hanya audit Petral era 2012-2014 saja yang dibuka (tanpa lakukan audit Petral era 2001-2012 yang disana pernah ada Ari Soemarno dan Sudirman Said)?

Sekarang Faisal Basri kembali mengeluarkan sikap tak independen dan ikut terlibat memberikan tekanan kepada pemerintah dalam pengembangan Blok Masela. Pernyataan Faisal Basri yang menyatakan bahwa keuntungan investor akan tergerus jika pemerintah memilih skema kilang darat (onshore), jelas bertentangan dengan sikap pemerintah untuk pengembangan Blok Masela yang sesuai dgn amanat Pasal 33 UUD 1945. Presiden Jokowi jelas dalam pengantar Pidatonya di rapat kebinet yang membahas Blok Masela (29 Des 2015) menyatakan bahwa makna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tersebut agar pengelolaan Blok Masela harus berikan manfaat ekonomu langsung dan ciptakan nilai tambah yang memberikan efek berantai kepada perekonomian nasional dan tentu pemerataan ekonomi di Indonesia Timur. Multiplier effect dan penciptaan nilai tambah serta lapangan kerja baru dalam pengelolaan Blok Masela akan terjadi ketika kilang dibangun di darat. Ini juga yang disimpulkan oleh Poten and Partners.

Tapi justru aneh ketika Faisal Basri yang menjadi Tim Counterpart (Tim Pengawas) Blok Masela justru tidak mengungkapkan bahwa Konsultan Independen yang menyatakan industri hilir (industri petrokimia salah satunya) tidak mungkin dibangun jika gunakan skema FLNG (LNG Terapung di laut).

Kita kembali bertanya-tanya, seperti yang terjadi ketika Faisal Basri menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang tak independen, kenapa kini ketika menjadi wakil ketua Tim Counterpart Blok Masela kembali menunjukkan pembelaannya secara tak objektif. Tak objektif tersebut adalah cara Faisal Basri yang melemparkan isu adanya kepentingan pembangunan pipa dari perusahaan tertentu tanpa sebut nama perusahaannya.

Kejanggalan dari pernyataan Faisal Basri berikutnya adalah permintaannya untuk menertibkan Menko Rizal Ramli. Dalam konteks ini, Faisal Basri jelas telah berposisi sebagai pihak yang tidak independen dengan pembelaannya terhadap Inpex Jepang, Shell Belanda, Poten and Partner Australia

Mengakkhiri tulisan ini, saya ingin mengajak beberapa kalangan yang selama ini menuduh pihak yang ingin mempertimbangkan pengelolaan Blok Masela secara onshore (darat) tidak mendukung gagasan pengembangan industri maritim. Jika selama ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa Blok Masela harus mendorong penguatan industri maritim, maka yang harus diperhatikan dari industri maritim itu bukanlah banyaknya kapal yang lalu lalang di laut, tapi industri maritim tersebut harus menciptakan konektivitas perekonomian antar kepulauan di Indonesia dengan adanya pertukaran komoditas antara kepulauan. Pengembangan industri maritim yang ingin kita kembangkan haruslah industri yang ketika mulai banyak kapal beroperasi di lautan indonesia adalah kapal-kapal yang juga membawa komoditas jadi (bukan bahan mentah dan bahan setengah jadi saja) dari Indonesia Timur dan kemudian Indonesia Timur hanya jadi pasar barang-barang. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun