Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap empat tahun sekali sekolah-sekolah akan sibuk mempersiapkan diri untuk akreditasi. Akreditasi empat tahunan itu sendiri sudah menjadi rutinitas yang hadir dalam arena pendidikan. Secara yuridis akreditasi sendiri diatur dalam UU No.20 Tahun 2003 Pasal 60, PP No.19 Tahun 2005 Pasal 86-87, dan Surat Keputusan Mendiknas No.87/U/2002. Akreditasi mempunyai fungsi setidaknya sebagai instrumen untuk mengetahui kelayakan dan kinerja suatu sekolah, sebagai pertanggungjawaban sekolah atas layanan yang diberikannya terkait dengan kebutuhan masyarakat, serta sebagai sarana bagi sekolah untuk senantiasa berbenah mengacu pada hasil akreditasi. Hasil akreditasi sendiri mempunyai makna yang penting bagi sekolah karena menentukan status sekolah yang bersangkutan.
Setiap sekolah pasti akan berusaha untuk tampil semaksimal mungkin di hari akreditasi untuk menghindari hasil buruk yang bisa didapatkan karena kurangnya pencapaian yang diraih terkait tuntutan minimal. Usaha maksimal ini tentu saja disebabkan karena hasil akreditasi mempunyai signifikansi yang besar terhadap keberadaan sekolah tersebut. Tak heran jikalau berbagai upaya dikerahkan jauh-jauh hari khusus untuk memenuhi kriteria penilaian yang tertera dalam instrumen akreditasi. Upaya-upaya yang dilakukan bisa bersifat positif maupun negatif. Upaya-upaya negatif, misalnya merekayasa dokumen atau data supaya sesuai dengan yang diminta. Dalam hal ini penulis akan membahas secara khusus mengenai kekuatan makro yang mendorong sekolah-sekolah swasta untuk mengupayakan berbagai trik kotor demi meraih hasil terbaik.
Nilai Akreditasi Sebagai Salah Satu Alat Promosi
Jikalau pembaca memerhatikan brosur-brosur sekolahan, maka pembaca bisa mendapati nilai akreditasi sekolah yang dipajang pada halaman brosur dan tentunya dengan desain seelok mungkin untuk menarik perhatian. Penulis tidak pernah mengkaji berapa sekolah yang tidak mencatumkan nilai akreditasinya, namun dari perhatian penulis selama ini nilai akreditasi cenderung dipamerkan di brosur sekolah dan terletak di halaman paling depan. Peletakan status akreditasi pun didesain sedemikian rupa agar mencuri perhatian pembaca brosur. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana kekuatan artistic pun dikerahkan untuk menunjukan pencapaian sebuah sekolah.
Sudah jelas bahwa ditampilkannya nilai akreditasi pada brosur beserta dengan tampilan desain yang memukau adalah bagian dari strategi promosi sekolah. Strategi yang dimaksud tentu saja mengundang perhatian melalui nilai akreditasi. Pihak yang membaca brosur tentu saja akan lebih tertarik pada sekolah yang bersangkutan apabila sekolah itu mempunyai nilai akreditasi yang baik, sebab sebagian besar tentu saja ingin mengenyam pendidikan di tempat berkualitas agar dapat bersaing di tengah-tengah masyarakat kapitalis. Dengan demikian ada timbal balik antara sekolah dan calon peserta didik di mana sekolah membutuhkan banyak peserta didik, sedangkan peserta didik juga memerlukan sekolah berkualitas yang salah satu indikatornya adalah terakreditasi A. Apalagi nilai akreditasi bertahan selama empat tahun sehingga sekolah yang bersangkutan setidaknya bisa menggunakan modal baik selama empat tahun sebelum akhirnya akan mengalami proses akreditasi ulang. Mengingat begitu valuable-nya nilai akreditasi, maka cara curang pun dapat dilakukan saat persiapan akreditasi dan dalam hal ini sekolah swasta berada di bawah kontrol suatu kekuatan makro yang membuatnya harus mengambil sejumlah pilihan tertentu sebagai accelerator demi mewujudkan cita-cita yang sangat kapitalistik.
Kekuatan Kapitalisme Dan Insitusi Pendidikan Swasta
Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya di mana nilai apik dalam akreditasi merupakan salah satu dasar terpenting dalam promosi sekolah. Meski demikian, kita harus melihat sebuah kekuatan besar yang hadir dalam struktur masyarakat kita. Kekuatan kapitalisme tidak menyembunyikan dirinya, melainkan bermanifestasi melalui perilaku institusi-institusi dan dalam hal ini adalah sekolah swasta sebagai institusi pendidikan yang berkompetisi satu sama lain untuk mengejar profit melalui peserta didik yang menuntut ilmu. Memang tidak bisa digeneralisasi bahwa semua sekolah swasta mengandalkan nilai A akreditasi untuk menjaring sebanyak mungkin peserta didik yang kepincut dengan status sekolah swasta tersebut demi mendapatkan profit, sebab penulis tahu bahwa ada sekolah swasta yang memang tidak mengejar profit.
Sekolah swasta yang kapitalis berusaha mengejar profit melalui banyaknya peserta didik yang mendaftarkan diri dan diterima di sekolah tersebut. Semakin banyak peserta didiknya tentu saja semakin tinggi pendapatan terlebih jikalau sebagian besar peserta didiknya berasal dari keluarga kelas menengah ke atas dalam stratifikasi di masyarakat tempat sekolah swasta itu bercokol. Tidak heran jika semua hal ini berusaha untuk diwujudkan melalui persiapan akreditasi yang matang agar nilai tinggi bisa diperoleh dan kelak menjadi alat promosi yang dapat menarik perhatian banyak peserta didik. Tidak boleh dilupakan bahwa suatu sekolah swasta juga menggunakan status akreditasinya untuk berkompetisi dengan sekolah swasta lainnya dalam menarik perhatian para calon murid.
Walau demikian perlu diperhatikan bahwa di dalam alam kapitalisme yang penuh persaingan dan mengejar profit segala hal seringkali dikerahkan dan dihalalkan untuk mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Mengingat instrumen akreditasi terus berkembang tentu saja sekolah-sekolah swasta akan mengalami kerepotan untuk memenuhi dinamisnya tuntutan instrumen akreditasi agar mendapatkan nilai yang baik. Kerepotan akan meninggi jikalau dikombinasikan dengan target keuntungan minimal yang harus diraih melalui pendapatan lewat uang sekolah dan uang pembangunan di mana kedua sumber pendapatan ini banyak ditentukan oleh jumlah peserta didik terdaftar. Oleh karena itulah, beberapa kecurangan bisa dilakukan agar instrumen akreditasi bisa dipenuhi dan hal ini berimplikasi pada nilai A yang digunakan untuk menarik perhatian para calon pendaftar.
Di sini pembaca bisa melihat bagaimana kekuatan kapitalisme mendorong sekolah swasta untuk melakukan, misalnya rekayasa dokumen supaya memenuhi indikator tertentu dalam penilaian akreditasi. Berlebihannya semangat mencari keuntungan dan bersaing dengan sekolah lain melalui status akreditasi bisa mengurung sekolah swasta di dalam pilihan-pilihan tertentu yang dapat menjadi jalan mulus bagi tercapainya target. Jikalau tindakan jujur tidak lagi mampu menghadirkan keuntungan atau dengan kata lain malah menjadi jalan terjal, maka manipulasi dan bentuk kecurangan lain pun bisa diterapkan selama keuntungan tidak lari dari genggaman.
Upaya kecurangan yang dikerahkan dimaksudkan agar sekolah tetap bisa mendapatkan status akreditasi terbaik (A) dan tidak terkubur melalui keberadaan sekolah lain yang sama-sama berkompetisi untuk menjaring banyak peserta didik melalui status akreditasinya. Ketatnya persaingan membuat siapa yang lebih siap (kecurangan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk menjadi siap) dan lebih tangguh (kecurangan merupakan bahan bakar untuk meningkatkan ketangguhan) akan muncul sebagai pemenangnya (the winner could pursue its goals). Meski demikian berbagai tindakan curang tentu sangat riskan mengingat ada sejumlah tim penilai yang sangat teliti dalam melakukan pemeriksaan terhadap objek-objek yang dinilai sehingga bukan tidak mungkin kecurangan yang dilakukan dapat terbongkar dan justru mendatangkan kerugian.
Ketelitian, Kepekaan, dan Komitmen
Mengungkap misteri usaha sekolah-sekolah swasta dalam persiapan akreditasi memang tidak mudah. Terlebih tim akreditasi yang datang tidak banyak dan waktu penilaian sangat terbatas di hari penilaian. Pihak sekolah pun dapat melakukan pengaturan kesan sehingga apa yang mereka kerjakan dapat terlihat bersih dan murni. Seluruh awak sekolah berusaha untuk menutupi kelemahan satu sama lain (dramaturgical loyality) atau menyembunyikan proses persiapan yang jauh dari kemurnian saat mementaskan drama di hadapan para juri penilai. Meski demikian, tetap ada sejumlah penilai yang datang dengan idealisme tinggi dan tidak kompromi dengan segala kenyataan empiris yang ada di mana tipikal penilai semacam ini merupakan momok bagi banyak sekolah swasta kapitalis. Memang dikabarkan ada sejumlah penilai yang mudah sekali berkompromi dan sekolah swasta yang bersangkutan terbantu dengan tipikal penilai semacam itu sehingga sekolah-sekolah swasta yang ketumpahan tim penilai yang mudah berkompromi seperti sedang berada dalam sebuah keberuntungan.
Terkait semua hal tersebut memang tidak ada jalan lain selain menambah jumlah pengawas atau memperpanjang waktu penilaian, sebab sulit membongkar semua rahasia di balik penampilan sebuah sekolah swasta kapitalis yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan dengan sekolah lain dan mengejar keuntungan tinggi. Kemampuan tim penilai dalam meninjau semua aspek yang dinilai juga sangat menentukan dan diharapkan seluruh personel memiliki kepekaan dan ketelitian tinggi untuk membongkar apa yang ada di balik layar. Kemudian tim penilai sendiri juga haruslah orang-orang yang enggan kompromi dan tetap berpegang pada kenyataan empiris yang ada. Menjaring personel yang menjunjung tinggi komitmen terhadap pendidikan yang jujur memang tidak mudah, namun misi ini tetap bukanlah suatu kemustahilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H