Rasulullah Saw bersabda: ” Sesungguhnya jabatan itu adalah amanat, dan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali mereka yang mendapatkan jabatan itu dengan cara yang haq (atau ia orang yang paling berhak) dan ia menunaikan tugas dan kewajiban yang ada pada jabatan itu (termasuk memenuhi janji-janjinya)”. (H.r. Muslim)
Dalam hadits lain Beliau bersabda : ” Seorang hamba yang oleh Allah dipercaya untuk memimpin sebuah bangsa, lantas ia mati, dan ketika memimpin ia menipu (zalim) terhadap rakyatnya, pasti Allah mengharamkan baginya masuk surga . “ (H.r. Bukhari dan Muslim)
Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat (Jabar), 24 februari 2013 mendatang[i], tatar pasundan kian menghangat, Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) kian merapat kepada elemen masyarakat sunda, bahkan petahana yang dulu sulit untuk “ditembus” oleh masyarakat yang membutuhkan, kini mereka mengundang, bahkan mendatangi para elit organisasi massa (ormas) dan para alit (kaum pinggiran). Sejumlah janji pun diumbar baik melalui media massa (baliho, iklan dimedia cetak dan elektronik), maupun dalam bentuk kampanye, guna menarik simpati masyarakat Jabar.
Mengenai pilgub Jabar tersebut, maka pengalaman pilgub 2008 yang lalu hendaklah dijadikan pelajaran (ibrah), bahwa dalam pilgub tersebut angka golput tidak sedikit. Menurut data yang diolah Samsul Muarif dan Ian Suherlan (2009:158), dalam pilkada Jawa Barat tahun 2008, angka Golput mencapai 33 persen (9.130.604 suara). Sementara Ahmad Heryawan-Dede Yusuf yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dua pasangan lainnya, Agum Gumelar-H. Nu’man Abdul Hakim (Aman) meraih 6.217.557 suara (34,55 persen) dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da’i) memperoleh 4.490.901 suara (24,95 persen)
Mengenai pemilih yang tidak memilih (golput) bukanlah hal yang baru, pada masa Orde Baru (Orba) pun sudah ada gerakan memilih untuk memilih. Perbedaannya dengan era reformasi saat ini, kalau masa orba adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap penguasa yang absolut, dan kalau masa sekarang adalah tidak ada pilihan untuk memilih pemimpin yang amanah. Sebagian masyarakat sudah apatisme politik, dimana mereka melihat pemberitaan dimedia massa, bahwa para pejabat yang mereka pilih, ternyata sudah tidak mewakili aspirasi masyarakat, banyaknya praktik penyimpangan yang dilakukan pengemban amanah ini, seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan gratifikasi, bahkan kasus dekadensi moral pun dipertontonkan, seperti skandal sek dan lain-lain, dengan demikian masyarakat terlihat skeptis dan kurang antusias menanggapi manuver para politisi untuk meraih simpati masyarakat tersebut.
Maka sebagai upaya menekan angka golput diPileg mendatang, seorang calon pemimpin harus memerankan watak ki sunda. Dalam tataran politik ki sunda, masyarakat sunda menginginkan para pemimpin yang adiluhung, hal tersebut setidaknya harus mempunyai 5 karakter: pertama, Cageur (sehat), pemimpin selain sehat jasmani, juga harus sehat rohani; sehat moral, tidak korup dan tidak kena suap (riswah). Kedua, Bageur (Baik), yaitu baik hati dan berpihak kepada rakyat. Maka bagi para pemimpin seharusnya mengejawantahkannya dalam mengurus rakyatnya, bukannya ‘mengeksploitasinya’, dimana para kandidat pemimpin begitu baik kepada rakyatnya saat menjelang Pilgub, tapi ketika pesta demokrasi tersebut usai, rakyatpun mulai dilupakannya, jadi rakyat hanya sebatas pendorong mobil mogok, dan setelah mobil maju merekapun ditinggalkannya.
Ketiga, Bener (Benar/shiddiq), benar dalam memimpin, adil dan amanah, dalam rangka mengelola kekayaan alam tidak hanya di nikmati oleh segelintir orang saja, tapi kemaslahatan untuk semua rakyat Jabar. Keempat, Pinter (pintar/ fathonah.) Seorang pemimpin mesti cerdas, bukan hanya cerdas otaknya namun ia juga mesti cerdas spiritual atau shaleh, karena pintar otaknya tanpa dibarengi dengan keshalehan akan menjadi pinter kabalinger (kepintaran hanya digunakan untuk menipu rakyatnya). Dan kelima, singeur (Cekatan), dalam era globalisasi yang kian deras, maka seorang pemimpin harus singeur guna memenangkan kompetisi yang hasilnya untuk kepentingan rakyat Jabar, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroninya.
Dalam kehidupan sosial-budaya dimasyarakat sunda-pun, ada dua kalimat yang selalu digunakan, yaitu Mangga ti payun (silahkan didepan), artinya kalimat tersebut mengandung sifat rendah hati (Tawadu). Mangga ti payun bukan berarti tidak mumpuni dalam memimpin, namun ia cukup berilmu luhung, cakap dalam memimpin, dan tidak menyombongkan diri. Namun ada kelemahan dalam kalimat tersebut kalau diterapkan dalam kepemimpinan nasional, sehingga dari awal kemerdekaan sampai saat ini, belum ada orang sunda yang menduduki singgasana RI 1, karena dengan filosofi tersebut, orang sunda lebih memberikan kepada orang diluar sunda untuk memimpin negeri ini.
Adapun kalimat yang kedua, Punten ka payunan, mempunyai konotasi yang positif dan negatif, yang positifnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) dan yang kedua berkonotasi negatif, yakniambisius. Seiring arus zaman yang makin cepat, maka seyogyanya ki sunda menerapkan kalimat Punten ka payunan dalam konotasi positif, dalam rangka memimpin didalam kandang (Jabar) atau Gubernur, maupun diluar kandang (Nasional) atau Presiden. Tapi seringkali yang nampak adalah Punten ka payunan dalam konotasi negatif (ambisius), sehingga syahwat kekuasaan yang dikedepankan.
Lantas sejauhmana Cagub dan Cawagub Jabar yang akan berlaga di Pilgub Jabar 2013, dalam menerapkan kedua filosofi tersebut? Sejatinya sulit untuk membudayakan filosofi sunda tersebut, dalam tataran kepemimpinan di wewengkon (daerah) parahiyangan saat ini. Kemungkinan besar, para cagub dan cawagub ‘terkontaminasi’ dengan politik nasional, yang acap kali jauh dari sikap “santun”.
[i] Tulisan ini, ditulis sebulan yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H