Dalam sejarahnya, baik Bung Karno maupun Pak Harto ada sisi positif dan negatifnya. Keduanya adalah dua anak bangsa yang telah berkontribusi dalam pembangunan di Indonesia. Satu sisi Bung Karno telah berjasa dalam mengawal kemerdekaan, namun disisi lain ada yang kontra dengan Umat Islam dan demokrasi, misalnya tidak mau negara Indonesia dengan landasan Islam, sehingga Piagam Jakarta menjadi korbannya, begitupula dengan ideologi NASAKOM-nya, bahkan ia menjadikan Pancasila dengan Demokrasi Terpimpinnya.
Begitu pula Pak Harto pada awal-awal kekuasaannya ia begitu dekat dengan jendral-jendral anti Islam, seperti Ali Murtopo, LB Murdani yang menghabisi dari pihak Islam, banyak sekali kasus pelanggaran HAM bergelimang ditangannya, seperti kasus Tanjung priok, talang sari dan lain-lain. Namun diakhir-akhir kekuasaannnya, pak Harto mulai dekat dengan pihak Islam, dari mulai orang terdekatnya dari pihak Islam, BJ. Habibi jadi Wapresnya sampai pendirian beberapa masjid dan merestui pembentukan ICMI, sehingga media sekuler menyebutnya masa ijo royo-royo.
Media massa masa kini dalam menggiring opini
Dalam perang opini di media massa terbaca, seolah-olah Capres Prabowo terinspirasi dan terwarisi semangat Bung Karno, diantaranya Prabowo begitu semangat dan menggelora dalam berbagai pidato bak Bung Karno dalam berbagai orasinya. Begitupula semangat anti ‘imprealisme’ Prabowo terinspirasi Bung Karno yang anti IMF dan Imprealis, kalimatnya yang terkenal: Go to hell with your aid!, Persetan dengan PBB!, Amerika kita setrika Inggris kita linggis!.
Namun pendukung Jokowi tak mau kalah, ia menggambarkan Prabowo akan membawa Indonesia ke masa Orba sebagai rezim represif, dengan melihat sosok Prabowo yang menantu Soeharto, dan mengungkit-ngungkit masalah penculikan pada masa transisi. Hal tersebut ternyata menjadi bumerang bagi Jokowi, terbukti Tim Jokowi mewarisi represifnya Orba dengan mengadukan media Obor Rakyat ke Bawaslu, mirip zaman Soeharto yang membredel media massa yang mengkritisi pemerintah.
Selain itu ada gagasan memata-matai khotib jum’at oleh parpol pengusung Jokowi, PDIP, seperti zaman Soeharto dimana para khotib harus melaporkan redaksi bahan ceramahnya, sehingga sang ulama boleh tablig bila sudah dapat SIM (Surat Izin Mubaligh). Bahkan Ketua tim hukum pemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Trimedya Panjaitan tidak akan mendukung Perda Syari’ah, mirip pada Orba dimana semua parpol ormas harus berasaskan tunggal, Pancasila, tidak boleh ada parpol maupun ormas yang berasaskan Islam.
Jadi siapa sebenarnya pewaris semangat Bung karno dan siapa pewaris pak Harto?!
(Tulisaan ini jangan dianggap serius, ini hanya analisis Politik sederhana yang minim data, jangan menganggap black campaign, anggap saja ini blek kurupuk :D) sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H