" Kita akan mencipta sebuah lagu, dalam taman seanggun syahdu. Meski di ruang-ruang nada sunyi, terkadang kita gagal, menemui sebuah judul yang tak layak, tuk mewakili rasa yang sedang terkoyak".
Jika sudah seperti itu, aku kembali teringat; tentang ke-bambu-anku yang kau bentuk serupa seruling, merdu sekali; katamu. Kau membuatku lupa tentang awal di mana sebelum tunas bermunculan, aku hanya tertidur bersama tanah basah, akibat hujan yang terlalu berkepanjangan.
Pagi ini adalah hari ikrar keterpisahan kita sayang. Kubaca kembali pesan-pesan itu, aku tahu, tentang getar-getar yang hadir saat kau menuliskannya, terbawa huruf-huruf ketidak-relaanmu, ke-duka-anmu. Dan maaf, aku sempat memaknainya dengan lantang, mungkin, hingga ke ruang-ruang bebintang.
Lalu, setelah perbincangan di malam terakhir itu, kita mau apa?
Membandingi basah hujan-hujan dengan tetangisan?
Memaknai awal Januari dengan duri-duri?
Atau;
Kau justru mengajakku kembali menikmati secangkir kopi?, yang bersamamu, dia hadir, pada sore-sore sebelumnya, sebelum Maghrib membubarkan kita.
Ah. Lagi-lagi hanya sebuah harap, mengendap-endap, menyelinap, di balik rerasa nestapa, setelah tanggal-tanggal melipat kita, untuk berpura-pura rapih, nyatanya; perih.
Mari sayang, kita renungi kembali awal keterjumpaan kita. Waktu itu, kau datang dengan separas baju pengantin sederhana, namun begitu anggun penuh pesona. Kau ingat saat kutunjukkan puisi-puisi menggelikan seperti ini? kukira kau akan tertawa sepuasnya, nyatanya, aaah...lengkung bibirmu yang sedikit saja, kembali memabukkanku, saat kau berucap; “Mas, yang ini, aku suka”.
Sudahlah, huruf-huruf yang kuketik saat ini, masing-masing menjerit-melengking sayang, aku tahu, sebenarnya mereka tak berkenan untuk hadir sebagai saksi keterpisahan kita. Mereka terlalu polos jika dipaksa seperti ini, mengantarkan penjelasan yang sangat mencekam, beberapa jam, sebelum matahari tiba.