[caption id="attachment_327324" align="alignnone" width="663" caption="Budiman Sudjatmiko dalam Acara Rembug 1000 Desa di Bogor"][/caption]"Piye kabare? Enak zamanku to..."
"Kabarku apik mbah, saiki kulawarga teng ndesa sami sengkud makaryo awit sampun gadhah UU Desa."
Dua bahasa pamflet di atas sekilas layaknya guyonan biasa. Warga Yogyakarta menyebutnya sebagai gojeg kere. Kini, guyon pamflet itu tengah menjadi tren perbincangan publik. Baris pertama justru menjadi slogan resmi Partai Golkar, partai politik yang mendominasi perolehan suara pada era Orde Baru. Baris kedua muncul dari masyarakat akar rumput yang aktif mendorong tata kelola baru di kawasan perdesaan.
Pada Rembug 1000 Desa di Desa Mekarwangi, Cariu, Bogor pada 11-12 Maret 2014, para kepala desa dan pemerhati desa membahas topik tersebut secara khusus. Rembug Desa merupakan musyawarah warga desa yang dipelopori oleh Gerakan Desa Membangun (GDM), Forum Pembaharuan Desa (FPD), Rumah Aspirasi Budiman (RAB), Gedhe Foundation, Bandung Fe Institute, Jingga Media, dan Relawan TIK Jawa Barat. Pada forum itu, Budiman Sudjatmiko, Wakil Pansus UU Desa, didaulat untuk menyampaikan refleksi perjuangan masyarakat desa.
Budiman Sudjatmiko mengaku tergelitik dengan kemunculan slogan "piye kabare, enak zamanku to?" dengan latar Soeharto. Baginya, era kepemimpinan Soeharto tak terlalu istimewa, bahkan pada praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) meraja lela. Atas nama stabilitas ekonomi dan pembangunan, Soeharto acapkali menyingkirkan kalangan dan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan yang berbeda dengannya.
Jurang ketimpangan ekonomi tergambar jelas dalam data penguasaan aset produktif nasional. Dua persen penduduk Indonesia, menguasai 56 persen aset produktif nasional. Menurut Badan Pertanahan Nasional dari 56 persen aset produktif nasional tersebut, 87 persen di antaranya berupa tanah.
Budiman Sudjatmiko mengakui era reformasi tak mampu mengangkat kesejahteraan rakyat. Hal itu terjadi karena tidak ada perubahan yang signifikan, baik secara aktor maupun sistem. Para aktivis cenderung memandang buruk dunia politik praktis. Akhirnya, ruang demokrasi konstitusional justru dimasuki oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk merancang perubahan.
Untuk menciptkan perubahan besar, Indonesia harus mampu mengatasi tiga persoalan mendasar, pertama, kebijakan ekonomi yang sejak masa kolonial hingga sekarang lebih cenderung berpihak pada pemodal besar. Kedua, tumpang tindihnya peraturan perundangan yang berlanjut dengan penyimpangan UUD 1945 dan UU Pokok Agraria tahun 1960. Ketiga, tingginya ego sektoral terutama pada kementerian-kementerian dan lembaga terkait agraria dan sumber daya alam.
Budiman Sudjatmiko dan para aktivis masyarakat perdesaan mengambil inisiatif pemerataan pembangunan melalui Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa. Keberadaan Undang-Undang (UU) tentang Desa memberi harapan baru bagi warga yang tinggal di wilayah perdesaan. Ini UU yang menegaskan pengakuan dan pengormatan negara atas keberadaan desa atau masyarakat hukum adat. Untuk itu, UU ini memberikan hak perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan.
Pemerintah juga diwajibkan memberikan dana pembangunan yang cukup besar untuk desa. Bila dirata-rata, ada kucuran 1,4 Milyar untuk desa dari Pemerintah Daerah (APBD) dan Pemerintah Pusat (APBN). Warga desa bisa merencanakan pembangunan di wilayahnya tanpa harus risau alokasi pembiayaannya.
Adanya aliran dana ke desa akan menumbuhkan usaha-usaha produktif di wilayah desa. Di desa akan muncul sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang kuat. Angka urbanisasi akan menurun sehingga persoalan di kota juga berkurang. Lahirlah desa hebat yang mewujudkan Indonesia Hebat dalam arti yang sebenarnya.
Tak berlebihan bila tujuan UU Desa tak sekadar untuk pengentasan warga dari kemiskinan, juga memberikan harapan akan munculnya kelas menengah baru di kawasan perdesaan. Tak berlebihan bila kita patut bangga untuk menjawab sapaan kelompok status quo dengan nada yang optimis.
"Piye kabare? Enak zamanku to..."
"Kabarku apik mbah, saiki kulawarga teng ndesa sami sengkud makaryo awit sampun gadhah UU Desa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H