Mohon tunggu...
Siwi Nugraheni
Siwi Nugraheni Mohon Tunggu... Penulis - Dosen salah satu PTS di Bandung

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perjokian Karya Ilmiah di Perguruan Tinggi

17 Februari 2023   08:33 Diperbarui: 17 Februari 2023   15:49 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi banyaknya joki di balik kalangan akademisi. Sumber: Kompas.id/Didie SW

Kompas edisi 10 Februari 2023 menurunkan laporan investigasi tentang perjokian karya ilmiah di perguruan tinggi. Ada calon Guru Besar (GB) yang diduga mendaku karya tulis anak didiknya dalam mendapatkan cum-point yang dapat digunakan untuk meraih gelar profesor.

Sebagai salah satu warga akademisi, saya tidak terlalu kaget dengan berita tersebut. Belasan tahun yang lalu kami menjuluki profesor yang mendapatkan gelar dengan memanfaatkan karya mahasiswanya dengan istilah "profesor hasil menyobek dan mengganti cover skripsi", haha. 

Kalau kini Kompas menurunkannya menjadi berita utama, saya berterima kasih, karena kami sebetulnya juga risih dengan praktek kecurangan yang dilakukan sejawat.

Sebetulnya perjokian pembuatan karya ilmiah juga bukan hal baru bagi Kompas. Saya ingat Kompas pernah menulis laporan serupa beberapa tahun lalu. 

Saya menelusuri dan akhirnya menemukan laporannya, 7 Oktober 2017. Bedanya laporan tahun 2017 itu menyangkut para mahasiswa yang menggunakan jasa pembuatan kaya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), dan pihak universitas (termasuk dosen) ada di pihak yang memerangi kecurangan-kecurangan; sedangkan laporan tahun 2023, pihak yang (masih) diharapkan memerangi kecurangan (baca: dosen, universitas) justru luntur integritasnya, dan menjadi pemain utama yang berbuat curang.

Tridharma dan Akreditasi PT

Dosen di Indonesia memiliki tiga tugas yang dijabarkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi (Tridharma PT), yaitu: pendidikan (mengajar), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Kenaikan pangkat akademis atau jabatan fungsional dosen (asisten ahli, lektor, lektor kepala dan profesor) didasarkan pada capaian (cum-point) dari tiga ranah tersebut, meskipun dengan bobot yang berbeda-beda.

Di sisi lain, kelihatannya tak semua warga akademisi memiliki kemampuan mumpuni dalam ketiga ranah Tridharma PT. Dalam konteks perjokian karya ilmiah, tidak semua dosen memiliki kemampuan, tenaga, dan waktu yang memadai untuk meneliti, dan menulis hasil penelitian mereka. Belum lagi bidang ilmu berbeda juga memberi nuansa kesulitan penelitian yang juga berbeda.

Akademisi yang berada di bidang Sains, yang terbiasa bekerja di laboratorium, sering dianggap lebih mudah memunculkan ide penelitian dibanding akademisi bidang Sosial (catatan: saya mengerti ini tidak selalu benar). 

Sumber: freepik
Sumber: freepik

Apalagi kawan-kawan akademisi di ranah Seni (misalnya: seni rupa, seni pertunjukan) lebih bingung lagi jika kinerjanya dinilai dari publikasi hasil penelitian.

Lebih lanjut, kenaikan jabatan fungsional dosen tidak hanya berdampak positif pada sisi finansial si dosen (gaji, termasuk tunjangan sertifikat dosen), tetapi juga bagi akreditasi perguruan tinggi tempatnya bekerja. Kebutuhan dosen bertemu dengan kebutuhan lembaga. Tak heran jika Kompas juga menemukan kasus perjokian yang (seolah) direstui dan didukung perguruan tinggi.

Desakan untuk naik pangkat akademis, baik demi dirinya sendiri, maupun demi lembaga tempatnya bekerja, menggiring orang-orang yang "merasa tertinggal" melakukan kecurangan.

Integritas, bukan Cara Instan

Perjokian karya ilmiah dipicu oleh kebutuhan individu dan lembaga tempat bekerja yang ingin dipenuhi dengan segera. Situasi terdesak atau memang ngebet, bertemu dengan tawaran yang dapat memenuhi kebutuhan dalam tempo cepat, berujung pada kecurangan.

Kebiasaan mendapatkan hal-hal dengan cara instan bukan hal baru bagi kita yang hidup di Indonesia. Mari kita bercermin sejenak. Apakah Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang ada di dompet didapat dari proses yang 'lurus'? 

Apakah ketika kita menginginkan bisnis kita maju, kita tidak menggunakan cara-cara yang abu-abu dari sisi etika bisnis? Apakah ketika meresepkan obat untuk pasien, kita menempatkan kesehatan dan kondisi pasien (termasuk kondisi keuangan mereka) sebagai tujuan utama, alih-alih bonus dari pabrik obat?

Ya, saya tahu, kita sering memberi permakluman ketika kecurangan dilakukan oleh 'orang-orang biasa', tetapi guru/dosen? No!

Guru (termasuk dosen) adalah salah satu profesi yang dianggap mulia. Dalam Bahasa Jawa, kata 'guru' diotak-atik sebagai singkatan dari digugu (ditaati) dan ditiru (diteladani). 

Dua hal yang memerlukan integritas. Kalau mereka tak lagi bisa dipercaya, maka tak layak ditaati kata-katanya dan diteladani perilakunya.

Sebetulnya tak hanya dalam penelitian dan publikasi yang memendam potensi kecurangan. Perlu pula dicermati beberapa pihak yang mendapatkan gelar Guru Besar (bukan yang versi GB kehormatan) yang tidak pernah kita dengar rekam jejak kiprahnya dalam pengajaran. Apakah juga ada perjokian dalam hal pengajaran?

Begitu sulitnyakah menemukan orang jujur saat ini, sehingga di institusi tempat bekerjanya salah satu profesi mulia, kejujuran juga memudar? Itukah sebabnya ketika ada seorang terdakwa pembunuhan yang divonis ringan karena dinilai jujur, maka banyak pihak mengapresiasi luar biasa? Bukankah jujur adalah sebuah kewajiban?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun