Apalagi kawan-kawan akademisi di ranah Seni (misalnya: seni rupa, seni pertunjukan) lebih bingung lagi jika kinerjanya dinilai dari publikasi hasil penelitian.
Lebih lanjut, kenaikan jabatan fungsional dosen tidak hanya berdampak positif pada sisi finansial si dosen (gaji, termasuk tunjangan sertifikat dosen), tetapi juga bagi akreditasi perguruan tinggi tempatnya bekerja. Kebutuhan dosen bertemu dengan kebutuhan lembaga. Tak heran jika Kompas juga menemukan kasus perjokian yang (seolah) direstui dan didukung perguruan tinggi.
Desakan untuk naik pangkat akademis, baik demi dirinya sendiri, maupun demi lembaga tempatnya bekerja, menggiring orang-orang yang "merasa tertinggal" melakukan kecurangan.
Integritas, bukan Cara Instan
Perjokian karya ilmiah dipicu oleh kebutuhan individu dan lembaga tempat bekerja yang ingin dipenuhi dengan segera. Situasi terdesak atau memang ngebet, bertemu dengan tawaran yang dapat memenuhi kebutuhan dalam tempo cepat, berujung pada kecurangan.
Kebiasaan mendapatkan hal-hal dengan cara instan bukan hal baru bagi kita yang hidup di Indonesia. Mari kita bercermin sejenak. Apakah Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang ada di dompet didapat dari proses yang 'lurus'?Â
Apakah ketika kita menginginkan bisnis kita maju, kita tidak menggunakan cara-cara yang abu-abu dari sisi etika bisnis? Apakah ketika meresepkan obat untuk pasien, kita menempatkan kesehatan dan kondisi pasien (termasuk kondisi keuangan mereka) sebagai tujuan utama, alih-alih bonus dari pabrik obat?
Ya, saya tahu, kita sering memberi permakluman ketika kecurangan dilakukan oleh 'orang-orang biasa', tetapi guru/dosen? No!
Guru (termasuk dosen) adalah salah satu profesi yang dianggap mulia. Dalam Bahasa Jawa, kata 'guru' diotak-atik sebagai singkatan dari digugu (ditaati) dan ditiru (diteladani).Â
Dua hal yang memerlukan integritas. Kalau mereka tak lagi bisa dipercaya, maka tak layak ditaati kata-katanya dan diteladani perilakunya.
Sebetulnya tak hanya dalam penelitian dan publikasi yang memendam potensi kecurangan. Perlu pula dicermati beberapa pihak yang mendapatkan gelar Guru Besar (bukan yang versi GB kehormatan) yang tidak pernah kita dengar rekam jejak kiprahnya dalam pengajaran. Apakah juga ada perjokian dalam hal pengajaran?