Mohon tunggu...
Siwi Nugraheni
Siwi Nugraheni Mohon Tunggu... Penulis - Dosen salah satu PTS di Bandung

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Thaler, Mubyarto, dan Smith

31 Desember 2022   16:15 Diperbarui: 18 Januari 2023   09:48 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca rekam jejak Thaler, peraih Nobel bidang Ekonomi 2017, saya jadi ingat almarhum Mubyarto, ekonom Universitas Gadjah Mada, yang gigih memperjuangkan konsep Ekonomi Pancasila (meskipun istilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim, tetapi Mubyarto yang akhirnya lekat dengan konsep tersebut). 

Bukan hanya isi pemikiran mereka berdua yang, menurut saya, searah, tetapi juga jalan hidup sunyi yang dilaluinya. Kolom Sosok (Kompas, 12 Oktober 2017) memberi judul "berjuang sendirian di tengah cibiran" untuk Richard H. Thaler. Jalan hidup akademis Pak Muby tak jauh beda. Pemikiran Ekonomi Pancasila tidak populer, bahkan di kampusnya sendiri, dan juga mendapat kritikan tajam di kalangan ekonom tanah air.

Dari sisi pemikiran, baik Thaler maupun Mubyarto mencoba mendudukkan kembali Ekonomi dalam kelompok Ilmu Sosial, ilmu yang menganalisis perilaku manusia, yang tidak selalu mencerminkan homo economicus rasional, sehingga tidak begitu saja dapat di-matematika-kan. Kritik terhadap Ilmu Ekonomi modern adalah pendekatan dalam analisis yang dianggap 'terlalu matematis', untuk menjelaskan perilaku manusia.

Mekanisme Pasar dan Efisiensi

Sejak semester satu, kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi diajarkan bahwa dalam pengambilan keputusan, manusia adalah makhluk rasional, yang selalu ingin memaksimumkan utilitasnya, dengan berpikir berlandaskan pada besar kecilnya manfaat dibandingkan ongkos dari setiap tindakannya. Singkat kata, jika sebuah tindakan akan menghasilkan manfaat yang lebih besar dari ongkosnya, maka keputusan homo economicus yang rasional adalah melakukan tindakan tersebut. Sebaliknya, jika tindakan yang direncanakan dilakukan akan menghasilkan manfaat yang lebih kecil dari biayanya, maka keputusan yang rasional adalah tidak mengambil tindakan tersebut. 

Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berupaya memaksimumkan utilitasnya (baca: keuntungan, kepuasan), maka setiap orang akan berusaha mencapai efisiensi, yang pada akhirnya akan menghasilkan alokasi sumber daya (yang terbatas jumlahnya itu) juga menjadi efisien. Apabila efisiensi tercapai, maka kemakmuran bangsa-bangsa di dunia akan tercapai. Inilah esensi An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations karya Adam Smith (1776), cikal bakal mekanisme pasar, yang dianggap sebagai awal mula liberalisme ekonomi.

Dalam perekonomian yang dilandaskan pada mekanisme pasar bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah. Menyadari bahwa pasar tidak sempurna, banyak terjadi kegagalan (market failures), maka pemerintah perlu melakukan intervensi. Peran pemerintah dalam perekonomian adalah menyediakan insentif dan disinsentif yang diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat, sebab sebagai makhluk rasional, tindakan manusia akan dipengaruhi oleh insentif dan disinsentif. Namun peran pemerintah tersebut tetap akan bekerja lewat mekanisme pasar, melalui interaksi antara permintaan dan penawaran.

Dalam perkembangannya, Ilmu Ekonomi banyak menggunakan persamaan-persamaan matematika untuk menjelaskan perilaku (manusia) pelaku ekonom; dan pendekatan matematis hanya dapat dibangun berlandaskan asumsi bahwa pelaku ekonomi adalah makhluk yang rasional.

Thaler dan Mubyarto VS Adam Smith?

Thaler menyatakan bahwa manusia cenderung tidak rasional, ikut-ikutan, sampai melakukan moral hazard. Itulah yang menyebabkan krisis ekonomi di sejumlah negara dan wilayah, seperti: Asia, Yunani, dan Amerika Serikat. Dalam kasus lain, 'ketidakrasionalan' manusia justru dibutuhkan untuk mencapai kesinambungan bisnis dalam jangka panjang. 

Tengoklah cerita ketika Thaler memberi saran kepada Uber, penyedia layanan transportasi online, agar tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan menaikkan tarif pada jam-jam sibuk (Kompas, 12 Oktober 2017). Ini tidak sejalan dengan hukum pasar, harga dibentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran; maka ketika permintaan naik (dan penawaran tetap), harga akan (dimaklumi jika) naik. Ada hal lain yang perlu diperhitungkan: kepentingan dan kesejahteraan konsumen. Lihatlah bagaimana Mubyarto memiliki cerita yang mirip ketika menggambarkan Ekonomi Pancasila.

Dalam sebuah tulisannya, Mubyarto memaparkan contoh praksis Ekonomi Pancasila lewat cerita pengemudi speed-boat (Mubyarto, 2003, Ekonomi Pancasila: renungan satu tahun Pustep UGM). Dalam perjalanan penelitiannya di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Pak Muby dan timnya menumpang speed-boat Zamrani yang melayani trayek Melak - Kota Bangun (180 km).

Meskipun Zamrani punya peluang melayani trayek yang lebih jauh, yaitu Melak - Samarinda (300 km; dengan Kota Bangun berada di tengah-tengahnya). Ketika ditanya mengapa tidak mengambil kesempatan untuk melayani sampai Samarinda, Zamrani menjawab, "harus terjadi bagi-bagi rejeki" antara pemilik speed-boat dan taksi. Bagi Mubyarto, tindakan Zamrani menggambarkan ekonomi yang berkemanusiaan adil dan beradab; dan ini seiring dengan saran Thaler kepada Uber.

Baik Thaler maupun Mubyarto memperhitungkan aspek selain rasionalitas homo economicus dalam merumuskan jalan menuju kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Thaler menamakannya tindakan yang (justru) tidak rasional; Mubyarto menyebut tindakan ekonomi yang berlandaskan moral. Thaler menawarkan intervensi langsung pemerintah untuk mewujudkannya; Mubyarto meyakini bahwa kisah Zamrani mudah ditemukan dalam kehidupan ekonomi rakyat Indonesia sehari-hari, terutama di kalangan rakyat kecil, dan di desa-desa; sehingga campur tangan pemerintah hanya diperlukan dalam bentuk memberi ruang dan kesempatan agar hal-hal tersebut semakin berkembang.

Memperhatikan pemikiran Thaler dan Mubyarto seolah bertentangan dengan pemikiran Adam Smith, bapak Ilmu Ekonomi modern. Benarkah demikian? Belasan tahun sebelum merilis The Wealth of Nations (1776), Adam Smith menulis The Theory of Moral Sentiments (1759). 

Secara singkat buku yang terakhir ini menyatakan bahwa selain tujuan mencapai kemakmuran diri sendiri, tindakan manusia dilandasi oleh moral baik (perasaan simpati kepada sesamanya). Ketika orang lain senang, kita merasa senang; ketika orang lain sedih, kita ikut merasa sedih, tentu dengan kadar yang lebih rendah. Itulah rasa simpati manusia sebagai makhluk sosial, yang ikut menentukan tindakannya. Sayangnya, pemikiran Smith yang tertuang di dalam The Theory of Moral Sentiments tidak menggema seperti pemikiran tentang invisible hand dalam mekanisme pasar (atau paling tidak, konsep mekanisme pasar seperti dimaknai dalam Ilmu Ekonomi modern arus utama), di The Wealth of Nations.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa jika kita mengambil pemikiran Adam Smith secara menyeluruh (komprehensif), maka seharusnya tidak ada pertentangan antara pemikirannya dengan pendapat Thaler dan Mubyarto. Keberhasilan Thaler meraih Nobel barangkali menjadi penanda perlunya memulai (kembali) diskursus tentang aspek-aspek di luar rasionalitas homo economicus sebagai landasan tindakan ekonomi manusia; bahkan bagi pembelajar di tingkat paling awal.

Cimahi, 14 Oktober 2017 (catatan dari penulis: tulisan yang sudah lama tersimpan di laptop).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun