Kau malam tak bertepi.
Tapi sunyi seperti batu bata yang menyisakan ruang,
dari jendelanya kusisir perlahan bulu matamu;
ngarai yang juga menjatuhkan dan menjauhkanku
lewat nestapa.
Lalu kupahat tinggi raut wajahmu yang senyum semanggi
dari atap handarbeni.
Daun pintu talingan srikandi,
buah dari cendana kuning langsat,
apa yang kupetik kemarin dari warna kulitmu
usai keringat menjadikannya ambarsari.
Di sudut ruangan masih ku lukis mayari,
saripati tiap helai rambutmu.
Sedang cahaya mulai redup menjelang kemarau
kau tetap hilir sungai air ariti,
apa yang pernah menenggelamkanku sedalam ruas jari kaki
lewat sudut matamu yang indurasmi.
Yogyakarta, 27 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H