Mohon tunggu...
Herry Setyawan
Herry Setyawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

..life is live your dream and wear your passion..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadi Apa Kita?

16 Januari 2014   21:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Khayrun nas Anfauhum Lin-nas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Tulisan ini terinspirasi dari pak tua yang tadi pagi saya lihat tengah mendorong gerobak sampah. Ia tampak tergesa karena tak ingin menghalangi barisan kendaraan yang mulai padat dibelakangnya. Namun kondisi gerobak yang sarat beban seperti tak membuat ketergesaannya itu menjadi berarti. Tetaplah ia berjalan terseok lambat.
Sementara dibelakangnya, barisan kendaraan yang melambat karena jalannya sedikit terhambat mulai tak sabar. Satu persatu mulai menekan klakson. Pastilah riuh klakson cukup mengacaukan hati pak tua yang tergesa itu. Beruntung ia diselamatkan oleh persimpangan yang seperti memberikannya kesempatan untuk membelokkan gerobak menghindari arus yang tak sabar dibelakangnya.

Pemandangan itu menyisakan perasaan miris bagi saya. Mereka yang tampak muda dengan kendaraannya, menyentak-nyentak klakson memekakkan telinga, seakan menghardik Pak Tua itu untuk segera enyah dari jalannya. Keberuntungan dan materi sudah melupakan rasa hormat kita pada orang yang lebih tua.

Dalam dunia kerja, sering juga kita mendapati seorang atasan yang jauh lebih muda memaki-maki bawahannya yang berumur jauh lebih tua. Seorang majikan muda memaki pembantunya yang seumur orangtuanya. Seorang anak merendahkan orangtuanya karena merasa sudah mampu menghidupi keduanya. Seakan tak berlaku lagi tuntunan bijak ‘yang muda menghormati yang tua’.

Hormat menghormat sekarang ini lebih bayak didasari atas derajat materi dan jabatan.

****

Kembali pada Pak Tua dan tuntunan yang saya tulis di atas, Khayrun nas Anfauhum Lin-nas.

Entah kenapa benak saya usil bertanya dalam hati, “apa kira-kira cita-cita Pak Tua itu selagi kecil dulu, ya?” Mungkinkah ia bercita-cita menjadi dokter, dosen, polisi, dsb,dsb, seperti idealnya cita-cita seorang anak kecil. Karena tak mungkin orang tua itu dulunya bercita-cita menjadi Tukang Sampah, meski kenyataannya saat ini ia menjadi tukang sampah.

Kalau saya tengok sekeliling, ternyata memang sebagian besar dari teman-teman saya telah berevolusi menjadi seseorang yang tidak seperti mereka bayangkan atau cita-citakan. Termasuk saya. Begitu juga dalam pandangan kita terhadap orang lain, banyak sekali orang-2 yang dalam pandangan kita pantas untuk menjadi ‘sesuatu’ namun pada kenyataanya tidak.

Banyak hal yang bisa menjadi jawaban, mulai dari ‘usaha’, ‘lingkungan’, dsb,  sampai ‘takdir’ Tuhan. Saya tak ingin membahas itu semua. Saya hanya ingin  melihat realita yang ada. Realita tentang Pak tua yang menjadi tukang sampah itu. Atau tentang saya, anda, kita semua dalam realitanya sekarang yang entah sedang menjalani profesi sebagai apa.

Teringat kelakar Emha Ainun Nadjib tentang klasifikasi manusia berdasarkan kualitas perannya terhadap kehidupan sekitar. Ia membagi jenis manusia kedalam lima jenis; Manusia Wajib, Manusia Sunah, Manusia Mubah, Manusia Makruh dan terakhir Manusia Haram.

Manusia Wajib adalah seseorang yang keberadaannya dirasakan WAJIB bagi lingkungannya. Jika tidak ada, semua orang merasa kehilangan. Orang ini memiliki peran yang tak tergantikan di lingkungannya.

Manusia Sunnah adalah manusia yang kehadirannya bermanfaat, tetapi jika ia tidak ada, lingkungannya tidak merasakan kehilangan. Orang ini adalah orang baik yang perannya mudah digantikan oleh orang lain.

Manusia Mubah adalah jenis orang yang keberadaannya tidak menimbulkan minat orang lain dan ketiadaanyapun tidak menimbulkan rasa kehilangan.

Dan terakhir adalah Manusia Haram, dan inilah yang terjelek, karena kehadirannya dianggap sebagai musibah dan ketiadaannya dianggap sebagai anugerah oleh lingkungannya.

Nah, coba sekarang kita lihat sekeliling kita, pastilah dengan mudah dapat kita temukan jenis-jenis manusia yg disebut Emha tersebut. Lalu bagaimana jika itu juga kita jadikan cermin bagi diri kita, seperti apa lingkungan memandang kita?

Kembali ke Pak Tua Tukang Sampah tadi, dibalik profesinya yang terkesan ‘rendah’, siapakah yang bisa menampik arti penting dirinya? Setahun sekali saya merasakan betapa pentingnya kehadiran peran orang seperti Pak Tua itu.  Tepatnya saat lebaran, sungguh betapa merepotkannya ketika sampah hari raya menumpuk sementara mereka cuti. Begitu juga dengan para pembantu yang kerap dibawelin oleh para Ibu Rumah Tangga, namun disaat mereka pulang kampung di hari raya mereka menjadi manusia yang paling dirindukan kehadirannya. Bayangkan kalau orang-orang seperti mereka menghilang dari muka bumi?

Ya, kadang dunia memandang begitu rendah pada sebagian profesi, namun dunia juga tak bisa menampik arti penting peran mereka dalam kehidupan. Memang dunia membayar begitu murah pada orang-2 seperti mereka, tetapi saya yakin mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan yang dikirim untuk menjaga keseimbangan di muka bumi, dan pastinya Tuhan punya imbalan yang akan membuat mereka sejahtera di masa depan.

Sebaliknya, sudah jadi fenomena saat ini, orang-orang yang kita anggap pintar dan menduduki jabatan-jabatan penting di negeri ini, bahkan orang-orang yang kita anggap layak menjadi pemimpin kita, saat ini justru berbaris antri di depan pintu pengadilan korupsi. Orang-orang yang dengan ‘kepintarannya’ semestinya bisa memberikan peran besar bagi kesejahteraan rakyat negeri ini, ternyata justru berperan dalam membangun ‘kesengsaraan’. Naudzubillah.

Khayrun nas Anfauhum Lin-nas. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat banyak terhadap manusia lainnya. Terkadang kita minder pada profesi kita, pada pendidikan kita, pada keadaan yang tak mampu mengangkat kita menempati status sosial yang tinggi. Terkadang kita merasa diri kita remeh, bekerja bermalasan, menyesali pendidikan, meyesali kepintaran, dsb. Itu semuanya karena kita memandang kesuksesan dari materi yang kita raih, bukan memandangnya dari sisi kemanfaatan diri kita terhadap orang-orang disekeliling kita.

Teringat sebuah cerita inspirasi dari seorang motivator yng pernah berbagi di kantor saya. Cerita tentang bagian/organ tubuh yang minder karena merasa perannya paling hina dan tak penting dalam metabolisme tubuh manusia, sehingga ia memutuskan untuk ‘ngambek’ tak mau menjalankan tugasnya. Beberapa menit berlalu, sejam berlalu, sehari berlalu, hingga akhirnya kekacauan-pun terjadi, seluruh organ tubuh-pun seperti tak mampu lagi bergerak maksimal, karena apa? Karena, maaf, si Pantat ‘ngambek’ tak mau menjalankan perannya.

Syukuri apapun pekerjaan kita saat ini, serendah apapun patut kita syukuri jika itu memberikan arti yang penting bagi orang2 disekeliling kita. Karena jangan2  kita memang diutus Tuhan untuk menjalankan peran itu. Berkaca pada sejarah hidup para nabi, Profesi-2 Mulia di mata Allah bukanlah semata pemimpin yang kaya raya layaknya Nabi Sulaeman atau Sang menteri yang rupawan seperti Nabi Yusuf, tetapi juga si penjahit Nabi Idris, si Tukang besi Nabi Daud, si Tukang Kayu nabi Zakaria, si Pengembala Nabi Musa. Bahkan Rasulullah-pun memberikan keteladanan yang lengkap bagi kita; pernah menjadi penggembala, pedagang, pengembara, tentara, pemimpin, pernah miskin, pernah kaya. Apapun profesi dan keadaannya, mereka adalah orang-orang mulia di mata Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun