Dalam sastra kaum dari pihak Timur atau yang terjajah mencurahkan perhatian pada isu-isu nasionalisme, mengekspos perlakuan terhadap penindasan yang dilakukan kaum Superior terhadap inferior misalnya saja perlakuan kepada Afro-amerika sebagai yang tertindas, tertekan, terjajah, oleh kaum kulit putih. Bisanya curahan tersebut tertuang kedalam fiksi, puisi, esai ataupun autobiografi seolah-olah penulis Afro-amerika tengah melakukan pencarian jati diri, berjuang rasa pahit yang diderita Afro-Amerika di Amerika guna menggapai keberhasilan pada bidang politik, ekonomi, serta sosial. Cara yang dilakukan beragam mulai dari protes ras, dan kebencian demi memperjuangkan identitas, individu dan kultural kebangsaaan. Contoh ide-ide poskolonialisme dalam puisi ialah Negro karya Langston Hughes dimana ia memberikan penggambaran kontras mengenai citra kulit antara putih dan hitam dimana Amerika yang di dominasi kaum kulit putih kerap kali melakukan rasis terhadap orang-orang negro dan melalui puisi ini bentuk protes dan penyadaran, selain Negro karya lain dari Langston Hughes ialah Harlem, puisi itu menyatakan impian mereka yang ingin memiliki hak politik dan sosial yang sama namun sayangnya tidak terpenuhi karena perbedaan kulit dan anggapan bahwa kulit hitam lebih rendah dari pada kulit putih sehingga perlu diberikan pembatasan dan puisi itu menggertak melalui ancaman yang dikemas sebuah pertanyaan agar posisi setara antara dua bangsa tak lagi ditunda-tunda, Â pertanyaan itu "or does it explode?" yang merujuk pada untaian-untaian sebelumnya, penyelesaian yang kering, manis atau busuk.
Selain itu dari dalam negri ada Jalan Raya Pos, Jalan Deanels yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai gambaran pilu mengenai praktik kerja rodi guna membangun jalan sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer Jabar hingga Panarukan Jawa Timur, Parmoedya menggambarkan bagaimana pribumi mati karena kelaparan, kelelahan, atau terserang penyakit, adapula yang membangkai sebab digantung di pepohonan sepanjang ruas jalan.
Hadirnya poskolonialisme memberikan sebuah sudut pandang baru dalam melihat sebuah karya sastra dan baiknya dapat dijadikan sebuah wadah penggerak kepada mereka yang merasa sebagai kaum inferior dan tertindas, eksistensi dari poskolonialitas juga diharapkan dapat memunculkan kesadaran masyarakat secara kritis agar tidak terjebak pada sikap yang berlebihan terhadap memberikan penghargaan kepada budaya barat atau eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H