Mohon tunggu...
Desi lestari
Desi lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik/Universitas Siliwangi

Jadilah orang yang benar sebab orang hebat belum tentu benar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Childfree Sebagai "Pelindung" HAM

24 Maret 2023   00:35 Diperbarui: 24 Maret 2023   03:58 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Childfree...

Sebuah topik hangat yang tengah diperbincangkan oleh netizen Indonesia dan sebagian dari mereka memandang bahwa Childfree merupakan suatu hak masing-masing ada pula yang menganggap bahwa childfree merupakan suatu hal yang tabu dan negatif. 

Mereka yang setuju ataupun menjadi tim netral terhadap konsep childfree berpandangan bahwa konsep tersebut merupakan suatu pilihan dan seseorang bebas untuk memilih untuk memegang konsep childfree ataupun tidak.

Bagi penulis yang menarik disini ialah mereka yang beranggapan bahwa pengusung konsep childfree dianggap menyimpang, melanggar norma, pendukung pemusnahan manusia, atau phobia terhadap anak dan lain sebagiannya. 

Interpretasi buruk tersebut lahir bukan karena tanpa sebab namun dilandasi setelah mendengar pernyataan maupun pandangan orang yang setuju terkait childfree dengan memasukan unsur-unsur yang membuat seseorang tergiring untuk berpikir buruk. 

Misalnya saja beberapa waktu lalu seorang publik figur sosial media yaitu Gita Savitri bersama suaminya mengemukakan keputusannya untuk tidak memiliki anak dan alasan mereka jika ditarik kesimpulan ialah ketika kita memiliki anak maka tanggung jawab serta beban akan bertambah, beban tersebut mulai dari mental, tanggungan ekonomi, hingga sebuah resep awet muda. Tentu tidak heran mengapa keputusan ini menjadi suatu pro kontra dikalangan masyarakat dan banyak yang tidak menerima baik konsep childfree. 

Secara umum konsep tidak memiliki anak ini masih dianggap tabu bagi kalangan konservatif ataupun masyarakat yang memegang teguh agama sebab secara mayoritas di Indonesia, anak merupakan suatu anugrah tuhan dan dilindungi hak-hak hidupnya oleh negara.

Childfree sebetulnya sebuah konsep yang baik jika dilihat dengan kacamata yang tepat. Liberalisme menjadi pondasi untuk melihat konsep tidak memiliki anak dengan positf sebab esensi dari liberalisme itu ialah manusia memiliki kemampuan serta logika guna menentukan hal-hal yang mana yang benar dan terbaik bagi dirinya sendiri dan manusia bisa menentukan pilihannya sendiri tanpa ada pembatasan serta campur tangan dari pihak luar termasuk pemerintah maupun kelompok penguasa. 

Sebagaimana tradisi dari liberal maka manusia seharusnya tidak dipaksa menerima sesuatu kebenaran moral yang digeneralisir di tengah-tengah manusia sebab tiap manusia memiliki keinginan serta tujuan hidup berbeda-beda dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain (incommensurable). 

Liberalisme ini cocok untuk memandang childfree terutama di Indonesia sebab pada dasarnya Indonesia mengusung sistem demokratisasi dan menjunjung kebebasan berpendapat serta memilih untuk menentukan hidupnya.

Konsep tidak memiliki anak sebetulnya bila dilihat secara positif merupakan anti tesis dari over populasi yang terus meningkat di dunia ini, dalam data publikasian Worldometer 2021 terdapat 7,8 miliar manusia yang telah menjadi penduduk dunia sedangkan dalam buku How many People Can The Eart Support karya Joel Cohen menyatakan bahwa luas dataran bumi dalam catatan Leeuwenhoek hanya 13.385 kali luas negara Belanda dan hanya bisa menampung kurang dari 13.385 miliar manusia. Jika kita mau lebih melihat pada kesetaraan dari sisi gender dan politik, childfree bisa membebaskan satu keterkekangan perempuan dari negara.

Seperti yang kita ketahui perempuan merupakan entitas yang paling banyak diatur dan tidak memiliki kebebasan selayaknya laki-laki bahkan tubuh perempuan sendiri terikat dan diatur oleh negara yakni dengan alat-alat kontrasepsi ataupun program Keluarga Berencana (KB) ataupun penundaan pernikahan dan lainnya. Pemikiran childfree bisa membebaskan perempuan dari kekangan tersebut.

Motif seseorang memilih untuk Childfree memang beragam contohnya menempatkan childfree sebagai solusi bagi 'mereka' yang memiliki trauma atau tidak tumbuh menjadi anak yang baik (dalam arti mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup) dan tumbuh di lingkungan dimana suatu pernikahan tidak berjalan dengan baik sehingga terakumulasi menjadi suatu doktrin dan standar bila pernikahan tidak semenyenangkan itu. 

Dan di dalam pernikahan memiliki banyak pertimbangan-pertimbangan besar yang membuat berpikir, oh.. pernikahan itu kurang  "worth it" dan mereka juga tidak mau apabila memiliki anak kemudian anak itu merasakan apa yang mereka rasakan sebelum dewasa, lagi pula memang betul tidak ada yang benar-benar bisa bisa menjanjikan kalimat "Ya... Kamu jangan seperti orang tuamu dulu ke anakmu, jadilah orang tua yang baik" akan tetapi menjadi orang tua yang baik itu sangat sulit bahkan kita bisa saja melakukan klaim telah menjadi orang tua yang baik namun dari perspektif anak belum tentu.

Melihat hal tersebut maka childfree bisa dikatakan secara tidak langsung melindungi hak-hak anak yang berpotensi dirampas oleh orang tua serta mengurangi angka depresi dunia. 

Childfree dapat melindungi hak asasi manusia secara tidak langsung dan substansi dari HAM itu sendiri bukan sekedar perlindungan untuk mendapatkan hak hidup melainkan kelayakan untuk hidup, kesetaraan, hak untuk menentukan hidup, dan lainnya. 

Namun, penulis juga setuju bahwa konsep childfree bisa berpotensi meruncingkan SDM dunia oleh karena itu bukan childfree yang harus di tentang namun bagaimana pemerintah dapat melakukan kontrol dari dampak childfree itu sendiri melalui 'efesiensi manusia'. 

Misalnya childfree bisa diganti dengan melakukan adopsi anak untuk mengurangi angka anak-anak yang tidak memiliki privilege memiliki kedua orang tua dan kehidupan yang layak, menjaga gerakan childfree pada batasan sehingga tidak menjadi suatu gerakan radikal bahkan hingga memiliki komunitas besar untuk mendoktrin perempuan dengan pondasi ideologi yang salah, dan pemerinta melakukan normalisasi childfree sehingga konsep ini memiliki posisi optional bagi pasangan, "kalau mampu untuk memiliki anak maka silahkan jika tidak jangan dipaksakan dan diperbolehkan untuk childfree" menguatkan konsep dari menempatkan childfree sebagai optional yaitu melalui negara harus memulai menerapkan sertifikasi kelayakan dan training parenting bagi pasangan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun