Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengenal Tantrum: Luapan Emosi Seorang Anak

5 Desember 2022   20:04 Diperbarui: 5 Desember 2022   20:07 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan sendirinya. Tentunya kita akan selalu berkomunikasi dimanapun kita berada. Ketika sedang berkomunikasi, kita juga akan merasakan berbagai emosi, baik dari perkataan orang lain maupun perasaan dari dalam diri kita sendiri. Tetapi perlu diketahui, emosi tidak hanya muncul dari komunikasi, ia juga dapat dirasakan dari berbagai hal, seperti saat mendengarkan lagu, membaca, dan lain-lain.

Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat atau psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, dan kecintaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2003:298). Menurut Paul Ekman, seorang psikologis asal Amerika, terdapat 6 emosi dasar yang dialami manusia, yaitu bahagia, sedih, jijik, takut, terkejut, dan marah. Emosi dasar atau primer muncul pada masa bayi, tepatnya 6 bulan pertama. Emosi tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia ketika masa  tumbuh kembang [1].

Kondisi fisik dan psikologis anak akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Misalnya, pada usia 6 bulan, emosi primer mulai muncul. Lalu ketika usia 12-18 bulan, seorang anak mulai mengenali emosi dirinya dan sadar terhadap tingkah laku yang ia lakukan, akan tetapi perkembangan tersebut masih belum terlalu stabil. Kemudian, di usia ini juga seorang anak kenal dengan kondisi tantrum [2].

Selanjutnya, pada usia 2-3 tahun, emosi seorang anak mulai berkembang secara stabil. Seorang anak menjadi lebih independen dan cenderung teguh terhadap pendirian mereka. Di usia ini, anak menyadari bahwa eksistensi mereka nyata dan mulai belajar mengontrol emosi dari diri mereka sendiri melalui bermain. Lebih lanjut, anak usia 3 tahun juga sudah dapat mengenali kesalahan yang sebelumnya mereka lakukan dan belajar dari kesalahan tersebut [2].

Salah satu emosi yang normalnya dirasakan oleh seorang anak adalah marah. Marah merupakan jenis dari emosi primer yang sering dikaitkan dengan pengertian emosi. Menurut Maxwell Maltz, marah memiliki pengertian sebagai suatu jenis frustasi yang meledak dimana seseorang mengubah suatu perasaan terluka yang pasif menjadi suatu tindakan penghancuran disengaja yang aktif (Mulyono, 2005:36). Marah cenderung menyebarkan energi yang negatif yang dapat merubah suasana menjadi lebih tegang. Meskipun begitu, amarah tentunya masih dapat dikontrol oleh seseorang, dirinya sendiri. Istilah tersebut dikenal sebagai anger management.

Meski seorang anak akan lebih mengenali emosinya seiring bertambah usia, tetapi mereka tetaplah anak kecil yang belum mengerti banyak hal sehingga mengontrol emosinya pun bukanlah hal yang mudah. Emosi seorang anak dapat berubah-ubah seiring dengan mood mereka. Walaupun anak sudah mengerti dengan afeksi dan juga memberikan respon yang baik terhadapnya, bukan berarti respon mereka selalu linear dengan hal positif. Beberapa anak juga memberikan respon tantrum terhadap hal yang memancing amarahnya.

Temper tantrum merupakan emosi yang meledak-ledak yang ditujukan oleh anak ketika anak merasa lelah, lapar, ataupun sakit bahkan anak yang senantiasa di manjakan oleh orang tuanya sehingga kerap tantrum ketika keinginannya tak terpenuhi serta orang tua yang selalu mendominasi anaknya, sekali waktu anak akan bereaksi untuk menentang orang tuanya dengan perilaku tantrum [3].

Tantrum Merupakan Hal yang Normal, Tetapi Bahaya Jika Terus Dibiarkan

Kendati mengarah ke hal negatif, kondisi temper tantrum ternyata dikategorikan sebagai hal yang normal untuk anak seorang batita. Akan tetapi, jika dibiarkan secara terus menerus, kondisi tantrum dapat menjadi masalah bagi seorang anak. Hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak  tidak bisa berurusan dengan lingkungan mereka, beradaptasi dengan lingkungan baru dan kesulitan dalam memecahkan suatu masalah [4].

Kesulitan memecahkan suatu masalah merupakan hal yang serius dalam tumbuh kembang seorang anak. Jika anak dengan kondisi tantrum dibiarkan secara terus menerus, ia akan terbiasa dengan sifat yang ia miliki. Bayangkan, jika seorang anak dari balita sudah menjadi tantrum dan orang dewasa tidak memberikan peran yang efektif dalam mengedukasinya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa seiring ia dewasa, ia akan tetap memiliki sifat tersebut dan juga anger issue.

Anger issue adalah sebuah masalah yang dapat membuat seseorang menjadi lebih mudah marah, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri. Jika gangguan tersebut dibiarkan begitu saja, maka akan berpotensi menyebabkan penderitanya melakukan berbagai tindakan kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun  verbal. Tak hanya itu saja, anger issue juga dapat meretakkan hubungan sosial [5].

Tanpa kita sadari, orang dewasa dapat menjadi faktor penyebab seorang anak memiliki sifat tantrum. Ketika orang dewasa marah di hadapan anak kecil, maka motorik anak tersebut akan menangkap dan merekam kejadian tersebut, dan ia juga akan menirukannya sehingga membawa sifat mudah marah. Oleh sebab itu, seorang anak tentunya membutuhkan edukasi terkait pengontrolan emosi yang mereka miliki. Disinilah, orang tua memiliki peran yang amat penting dalam hal tersebut. Lantas, bagaimana peran orang tua dalam menghadapi tantrum pada anak? 

Cara Menghadapi Tantrum

Setiap anak tentunya memiliki sifat yang berbeda, maka dari itu cara menghadapi masalahnya pun akan berbeda. Namun, hal paling utama yang harus dilakukan orang dewasa adalah kenali akar masalah tersebut, seperti apa yang menjadi penyebab seorang anak menjadi tantrum, lalu pahami apa yang sebenarnya anak tersebut inginkan. Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), orang tua yang bereaksi dengan tenang dan konsisten terhadap anak tantrum, dapat membantu anak memahami di mana batasannya, sehingga ia juga merasa lebih terlindungi dan terkendali [6].

Dilansir dari parents.com, terdapat beberapa trik yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam menghadapi anak tantrum, di antaranya [7] :

-Ambil tindakan dan hentikan.

Jika seorang anak tantrum dengan melempar barang, memukul, atau hal yang dapat merugikan lainnya, orang tua sebaiknya langsung ambil tindakan dan hentikan mereka dengan cara memberi tahu bahwa melukai orang lain adalah hal yang dilarang secara baik-baik.

-Berikan distraksi.

Seorang anak terkadang memiliki emosi yang cepat berubah sehingga mereka dapat dengan mudah terdistraksi dengan hal baru. Maka dari itu, jika seorang anak sedang emosi, cobalah untuk mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Hal ini membuat seorang anak akan lupa terhadap keinginan sebelumnya dalam sekejap.

-Berikan pelukan.

Terkadang, sentuhan dan afeksi dari orang dewasa dapat membantu anak merasa tenang dan aman. Pelukan juga memberi tahu seorang anak bahwa orang tua peduli terhadapnya, meski tidak setuju dengan emosi tantrum yang ia lakukan. (Dr. Levy)

-Biarkan anak tersebut marah.

Terkadang, seorang anak juga butuh meluapkan emosi yang mereka miliki. Selama batita tidak merugikan atau melukai siapapun, maka biarkanlah mereka. Hal ini bukan berarti orang tua hanya diam saja, tetapi orang tua harus tetap support dan menenangkan ketika anak tersebut sudah meluapkan emosinya. 

Kesimpulan

Nah, itu tadi beberapa tulisan tentang seorang anak tantrum dan bagaimana hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua ketika anaknya menghadapi kondisi tantrum. Ingat, kondisi tantrum merupakan kondisi yang normal bagi anak batita, namun jika dibiarkan seiring berjalannya waktu, tantrum dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang seorang anak. Kebiasaan tantrum pada masa tumbuh kembang anak akan menjadi sifat negatif pada anak . Lebih parah, seorang anak bisa melukai seseorang jika terlalu dimanjakan ketika sedang tantrum.

Maka dari itu, orang tua harus memberikan perhatian yang cukup kepada anak mereka. Sifat tantrum bukan hal yang buruk dan itu adalah salah satu fase dalam tumbuh kembang seorang anak. Terkadang, sebuah pelukan dapat membuat anak merasa tenang dan nyaman, juga dapat meredakan emosi mereka. Beri tahu mereka secara perlahan bahwa hal tersebut tidak baik, lalu berikan apresiasi jika seorang anak sudah bisa mengontrol emosi mereka dengan baik. Meskipun pemberian apresiasi merupakan hal yang simple, hal tersebut ternyata berarti bagi memori sang anak, lho. Selain apresiasi, komunikasi dan afeksi juga hal yang amat dibutuhkan dalam kondisi ini. Melalui hal tersebut, seorang anak akan merasa diperhatikan dan dicintai sehingga hal tersebut akan membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan tenang.

REFERENSI

[1] Wicaksono, Punto. 12 April. Jenis Emosi Dasar Manusia. https://www.qubisa.com/article/jenis-emosi-dasar-manusia. [Diakses 24 November 2022].

[2] Northamptonshire. 2012. Emotional Milestones in the Early Years from birth - 5 years. https://www.northamptonshire.gov.uk/councilservices/children-families-education/early-years/Documents/Emotional%20Milestone%20in%20the%20early%20years.pdf. [Diakses 25 November 2022].

[3] Fachruddin, Maghfirah. 2017. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEMPER TANTRUM PADA ANAK PRASEKOLAH DI TK ISLAM AL AZHAR 34 MAKASSAR.  http://repositori.uin-alauddin.ac.id/20579/1/Maghfirah%20Fachruddin_70300112089.pdf. [Diakses 25 November 2022].

[4] Efendi, Fery. 2019. Efikasi Diri Orangtua Tentukan Frekuensi Temper Tantrum pada Anak. https://news.unair.ac.id/2019/11/07/efikasi-diri-orangtua-tentukan-frekuensi-temper-tantrum-pada-anak/?lang=id#:~:text=Temper%20tantrum%20yang%20tidak%20normal,dan%20agresivitas%20yang%20tidak%20terkendali. [Diakses 25 November 2022].

[5] Azizah, Lely. 2022. Apa Itu Anger Issue: Pengertian, Gejala, dan Cara Mengendalikannya. https://www.gramedia.com/best-seller/anger-issue/. [Diakses 26 November 2022].

[6] Swenson, Wendy Sue. 2021. Top Tips for Surviving Tantrums. https://www.healthychildren.org/English/family-life/family-dynamics/communication-discipline/Pages/Temper-Tantrums.aspx. [Diakses 26 November 2022].

[7]  Dreisbach, S., Dunn J., and O'Connor, G. 2022. How to Deal With Toddler Temper Tantrums. https://www.parents.com/toddlers-preschoolers/discipline/tantrum/a-parents-guide-to-temper-tantrums/. [Diakses 26 November 2022].

[8] Ayuni, Asmi. 2021. 6 Emosi Dasar Manusia. https://www.dfunstation.com/blog/read/psikologi/185/6-emosi-dasar manusia#:~:text=Emosi%20dasar%20ini%20disebut%20juga,khususnya%20usia%206%20bulan%20pertama. [Diakses 24 November 2022].

Oleh Addina Nadia Azzahra (EAK'22)

Staf Biro Jurnalistik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun