Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi COVID-19: Batu Loncatan Kekerasan Seksual pada Anak

27 Desember 2021   12:59 Diperbarui: 27 Desember 2021   20:23 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari 2019-2021

Dua tahun terakhir telah menjadi sebuah masa yang kelam bagi kebanyakan orang. Satu per satu kabar duka menghasilkan tangis, satu per satu malapetaka tiba dan mengakibatkan berbagai sektor meringis. Mulai dari resesi yang menggoyang ekonomi sampai dengan pembatasan mobilitas yang menghambat segala aktivitas, semua hal yang terjadi karena pandemi ini saling berkaitan dan tidak sedikit menimbulkan korban. Salah satu korban dari kondisi tersebut adalah anak-anak, pandemi COVID-19 disinyalir membawa risiko konsekuensi jangka panjang terhadap anak-anak di Indonesia. Berdasarkan laporan berjudul Menuju Respons dan Pemulihan COVID-19 yang Berfokus pada Anak: Seruan Aksi oleh Unicef [1], setidaknya terdapat 80 juta anak dan remaja di Indonesia yang mengalami dampak dari pandemi dalam hal pendidikan, kesehatan, gizi, dan ketahanan ekonomi [2].

Satu dampak yang paling mencolok bagi anak terjadi pada sektor pendidikan. Sejak pandemi, sekolah di Indonesia memiliki rata-rata jam pembelajaran jarak jauh hanya selama 2,2 sampai dengan 3,5 jam per hari. Hal itu diikuti dengan penutupan sekolah yang berpotensi meningkatkan risiko anak putus sekolah. Sebagai dampak dari penutupan dan pengurangan jam belajar tersebut, terjadi peningkatan kerentanan anak-anak terhadap berbagai hal negatif, seperti pernikahan dini sampai dengan eksploitasi anak [2].

COVID-19 dan “Ramah” Anak di Indonesia

Selain sektor pendidikan, dampak yang signifikan juga terlihat dari kondisi finansial banyak keluarga di Indonesia. Hal tersebut membuat orang tua mengalami tekanan yang lebih besar dan berpotensi melakukan kekerasan kepada anak, baik secara sadar maupun tidak sadar [3]. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa telah terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak sebesar 15% selama pandemi [4].

Makna kekerasan pada anak sendiri telah tercantum dalam hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (UU Perlindungan Anak), pada Pasal 15a, kekerasan kepada anak didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum [13]. Lebih jauh lagi, mengacu kepada Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kekerasan anak dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kekerasan fisik (pukulan, tamparan, dsb), kekerasan emosional (mengancam, menghina, dsb), kekerasan seksual (pornografi, pelecehan organ seksual anak, dsb), pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (mempekerjakan anak di bawah umur dengan motif ekonomi) [5].

Realita Kasus yang Melonjak di Masa Pandemi

Pembatasan-pembatasan akibat virus COVID-19 tidak hanya merugikan kondisi perekonomian, tetapi juga permasalahan sosial hingga menimbulkan kekerasan, tidak terkecuali kekerasan pada anak. Salah satu bentuknya adalah kekerasan seksual yang lantaran menjadi rentan terjadi pada anak akibat pandemi yang berdampak signifikan dalam kehidupan keluarga. Meskipun demikian, istilah kekerasan seksual masih sering dikacaukan pengertiannya [6]. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengategorikan tindak kekerasan seksual terhadap anak sebagai kekerasan atau tidak. 

Kekerasan seksual terhadap anak juga masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menyangkal bentuk pelecehan non kontak seksual, seperti pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak karena adanya perbedaan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Terlepas dari pengertian yang ada, praktik kekerasan seksual tetap berdampak negatif bagi anak. Bukan hanya merusak masa depan secara fisik saja, melainkan juga akan merusak mental dan kejiwaan anak, seperti gangguan depresi berat yang dapat terbawa kelak hingga dewasa. Bahkan, kekerasan ini meningkat drastis pada masa pandemi. Mirisnya, kekerasan seksual ini juga terjadi pada lingkungan keluarga. 

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menerima banyak laporan terkait permasalahan ini. Tercatat bahwa terdapat 340 kasus dengan jumlah korban sebanyak 378 orang yang terdiri dari 104 anak laki-laki dan 274 anak perempuan yang memperlihatkan bahwa anak perempuan lebih rentan  mengalami permasalahan tersebut dibandingkan dengan anak laki-laki [7].

Gambar [1]. Grafik laporan berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima Komnas Perempuan
Gambar [1]. Grafik laporan berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima Komnas Perempuan

Selain itu, mengutip dari laman Tempo dan CNN Indonesia, kasus kekerasan seksual pada anak menjadi kasus tertinggi, bahkan melampaui jenis kekerasan pada anak lainnya [8]. Berikut merupakan tabel peningkatan kasus dari tahun ke tahun :

Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari 2019-2021
Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari 2019-2021
Deputi Bidang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menyebut, selama pandemi, sistem informasi online (Simfoni) perlindungan perempuan dan anak mencatat ada lebih dari enam ribu laporan bentuk kekerasan terhadap anak. Angka kekerasan tersebut hanya merupakan kasus yang terlapor di laman pengaduan Simfoni milik KemenPPPA dan/atau yang tercacat oleh berita. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa angka kekerasan seksual pada anak bisa jauh lebih tinggi daripada yang telah dilaporkan. Dari kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan seksual bukan hal yang kecil untuk ditangani. 

Menurut temuan KemenPPPA di lapangan, beberapa kasus kekerasan seksual pada anak terjadi karena faktor kesulitan ekonomi, kurangnya pengawasan orang tua, dan juga adanya kebutuhan lain dari anak misalnya untuk kehidupannya di sekolah. Kasus kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi pada lingkungan keluarga, tetapi juga pada institusi pendidikan. Mirisnya lagi, salah satu institusi tersebut adalah institusi berbasis agama yang, pada faktanya, mendalilkan pelanggaran norma keasusilaan adalah sebuah perbuatan dosa. Korban kekerasan seksual rata-rata adalah anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan di bawah 18 tahun. Bahkan, ada yang masih berumur 7 tahun dan kasus tersebut ditemukan pada Pondok Pesantren Jembrana, Provinsi Bali. Di Trenggalek, ditemukan kasus pencabulan terhadap santriwati sebanyak 34 orang. 

Kasus pedofilia terhadap anak laki-laki banyak ditemukan di Bantul, Sidoarjo, Jembrana, dan Solok. Pedofilia sendiri adalah seorang yang melakukan kekerasan seksual, biasanya laki-laki yang sudah dewasa berumur antara 30-45 tahun, yang mempunyai kelainan mental, bersifat psikopat, alkoholik, dan bertingkah asusila terhadap anak-anak [6]. Berdasarkan informasi yang diketahui, korban pedofilia terbesar berada di pesantren Ogan Komering Ilir, yaitu sebanyak 30 santri dan biasanya dilakukan berkali-berkali dalam  lebih dari setahun. Kasus tersebut tentunya sangat merugikan anak, baik secara psikis maupun fisik [9].

Tembok Hukum yang Masih Diragukan

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 419 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) karena menjadi korban kekerasan seksual pada 2020.

Gambar [2]. Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai Korban Menurut Kasus (2020)
Gambar [2]. Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai Korban Menurut Kasus (2020)
Lantas, pada tahun 2021, kasus kekerasan seksual yang menjerat seorang artis bernama Saiful Jamil kembali menjadi sorotan karena sang pelaku akhirnya resmi dibebaskan dari hukumannya. Artis tersebut dijerat dengan Pasal 292 KUHPidana tentang perbuatan cabul dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara [6]. Penjatuhan pidana tersebut belum tentu seimbang dengan dampak yang ditimbulkannya, yakni korban yang masih anak-anak bisa mengalami trauma berkepanjangan hingga dewasa bahkan seumur hidupnya. Tidak jarang, korban setelah dewasa bisa menjadi pelaku tindak pidana kekerasan seksual juga akibat rasa dendam yang timbul di masa kecilnya.

Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “terhadap pelaku sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Hukum kebiri ini menjadi upaya hukum baru terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak agar dapat memberikan efek jera. Namun, pada kenyataannya, hukuman ini masih mengundang pro dan kontra di berbagai kalangan, salah satunya Komnas Perempuan sendiri yang menyayangkan hukuman kebiri dan hukuman mati tetap masuk sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di saat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UURI No. 5 Tahun 1998 yang melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan. 

Selain melihat hukuman bagi sang pelaku, bentuk perlindungan hukum bagi sang anak juga tidak kalah penting. Upaya yang dilakukan, seperti memberikan bantuan hukum, rehabilitasi, dan pencegahan masih perlu dioptimalisasi. Hal ini terlihat dari anak sebagai korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan bantuan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pada tingkat peradilan karena masih sering terabaikan dan tidak didampingi oleh penasehat hukum [12]. Selain itu, belum optimalnya rehabilitasi yang diberikan kepada anak juga terlihat dari kondisi anak yang masih menyisakan trauma yang berkepanjangan. Terakhir, pencegahan yang belum efektif terbukti dari jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun semakin meningkat [9].

Secara teoritis, terdapat beberapa hal yang memegang peranan penting untuk melindungi anak selaku korban kekerasan seksual dari sisi hukum [6], yaitu:

1. Subtansi Hukum 

Substansi hukum, yakni peraturan perundang-undangan harus jelas dan tegas, hal itu diperlukan agar penegak hukum tidak perlu melakukan interpretasi atau penafsiran yang beragam sehingga bisa mendorong penegakan supremasi hukum.

2. Struktur Hukum  

Struktur hukum yang dimaksud adalah aparat penegak hukum yang membidangi perlindungan hukum bagi sang anak yang mengalami korban kekerasan. Struktur hukum itu mulai dari penyidik, penuntut umum, sampai hakim. Struktur hukum yang belum efektif dalam persoalan perlindungan hukum terhadap anak ditandai dengan tindak kekerasan pada anak yang terus meningkat atau sulit dikendalikan, sementara korban juga kurang terlindungi dengan baik, bahkan terkadang pelaku kekerasan malah terkesan seperti pahlawan.

3. Kultur Hukum 

Legal Culture atau budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku dan merupakan konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik sehingga patut untuk dipatuhi dan apa yang dianggap buruk sehingga harus dihindari. Aktor utama yang berperan penting dalam menyebarkan nilai ini adalah masyarakat dan lingkungan. Kurangnya perhatian masyarakat akan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak akan menyuburkan praktik tersebut.

4.  Sarana dan Prasarana

Sarana atau fasilitas yang cukup ampuh di dalam penegak hukum bisa dalam bentuk kepastian dan kecepatan dalam penanganan perkara karena dampaknya lebih nyata apabila dibanding dengan peningkatan sanksi negatif belaka. Apabila tingkat kepastian dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-sanksi negatif akan mempunyai efek menakutkan sehingga dapat mencegah peningkatan kekerasan seksual pada anak.

Peraturan Indonesia tidak bisa hanya sebatas ketentuan yang mengatur tentang kewajiban bagi masyarakat atau yang mengetahui telah terjadinya kekerasan pada anak, tetapi tidak disertai dengan konsekuensi hukum yang logis. Diperlukan perlu berbagai sanksi yang bisa menjerat pelaku secara efektif. Dalam merumuskan sanksi tersebut, pasti akan ditemui berbagai respon dan pandangan yang berbeda-beda. Persoalan ini memang menjadi suatu kendala tersendiri dalam upaya perlindungan hukum pada anak korban kekerasan seksual dengan memperhatikan situasi dan kondisi zaman yang terus berubah serta modus operandi suatu kekerasan yang juga semakin beragam. Diperlukan suatu pembaharuan dan terobosan hukum, termasuk peningkatan sarana dan prasarana hukum. Hal yang perlu digarisbawahi adalah anak merupakan aset untuk membangun Indonesia, yang berarti melindungi anak berarti melindungi masa depan bangsa.

Saatnya “Ramah” Anak

Tingginya kasus kekerasan seksual pada anak menunjukkan pentingnya pemahaman orang tua tentang  cara  memberikan  perlindungan  yang  terbaik  bagi  anak. Anticipatory  guidance akan menjadi  bentuk  bimbingan  kepada  orang  tua  untuk  mengantisipasi  hal-hal  yang  terjadi terhadap  perkembangan  anak,  termasuk  terjadinya  kekerasan  seksual. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh orang terdekat untuk menurunkan angka kekerasan pada anak adalah melalui upaya preventif, yaitu sex education [10]. Namun, permasalahan orang tua di Indonesia saat ini adalah masih menganggap sex education sebagai hal yang tabu, vulgar, dan tidak pantas untuk disampaikan kepada anak. Adanya persepsi dari orang tua yang merasa tidak nyaman atau tidak siap untuk mengajarkan pendidikan seksual dan rendahnya kesadaran orang tua dalam memberikan edukasi dan perlindungan kepada anak menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus kekerasan seksual.

Padahal, sex education memberikan banyak dampak positif bagi anak, termasuk mengurangi kehamilan di usia dini dan terjangkit penyakit menular seks. Sex education yang berkualitas akan membuat anak terhindar dari pedofil atau pelecehan seksual. Maka dari itu, sex education merupakan hal yang penting untuk diberikan sedini mungkin kepada anak. Harapannya, dengan pemberian sex education sejak dini, anak-anak akan mampu menghindarkan diri dari kekerasan seksual. Media visual berbasis smartphone merupakan salah satu media yang efektif digunakan untuk memberikan anticipatory guidance. Oleh karena orang tua merupakan sumber terpenting dalam proses pembelajaran tentang hubungan seksualitas pada anak, banyak metode atau aplikasi pembelajaran seks bagi orang tua yang mudah diakses dan dipahami, terkhususnya di era digital ini, contohnya aplikasi SETTING (Sex Education Parenting) yang akan melakukan screening serta pemberian materi yang sesuai umur dari penggunanya [10].

Tidak hanya mementingkan peran dari orang tua, untuk mengantisipasi dan mengatasi kekerasan pada anak, negara melalui Program Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (PPPA) telah memiliki alur penanganan kasus kekerasan terhadap anak seperti dijelaskan pada gambar di bawah ini.

Gambar [3]. Standar Pelayanan Kekerasan bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Gambar [3]. Standar Pelayanan Kekerasan bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

   “Childhood should be carefree, playing in the sun; not living a nightmare in the darkness of the soul.” 

-Dave Pelzer-

Kontributor: Izza Maulana Rizqi, Radya Hawan Nugraha

Editor: Christabel Nathania

Biro Jurnalistik

SNF FEB UI 2021-2022

REFERENSI

[1] Indonesia, C. (2021). Kekerasan Terhadap Anak Meningkat Selama Pandemi. nasional. Retrieved 21 December 2021, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211102142206-20-715544/kekerasan-terhadap-anak-meningkat-selama-pandemi.

[2] Pangesti, N., & Wahidin, W. (2021). Aplikasi Sex Education Parenting sebagai Anticipatory Guidance Kekerasan Seksual pada Anak di Masa Pandemi. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal, 11(4), 855-866. Retrieved 25 December 2021, from https://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/PSKM/article/view/1697

[3] KEKERASAN TERHADAP ANAK PADA MASA PANDEMI COVID-19. Ejournal.kemensos.go.id. (2021). Retrieved 25 December 2021, from https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/2672/1496.

[4] Ishaq,  S.  N.  (2017). Perlindungan  Hukum  Bagi  Anak  Sebagai  Korban  Kejahatan  Kekerasan Seksual. UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR. Retrieved from http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MDgwMWJiYjI1ZjYzYz0MjM1YTQ2MTJjZDZlYTQ1MjRjMGYwOTJlNA==.pdf

[5] Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Mendominasi saat Pandemi Covid-19. Databoks. (2021). Retrieved 25 December 2021, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/27/kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-mendominasi-saat-pandemi-covid-19.

[6]Adriansyah, A. (2020). Selama Pandemi Corona, Perempuan dan Anak Paling Sering Mengalami Kekerasan Seksual. VOA Indonesia. Retrieved 25 December 2021, from https://www.voaindonesia.com/a/selama-pandemi-corona-perempuan-dan-anak-paling-sering-mengalami-kekerasan-seksual/5432763.html.

[7]Adyatama, E. (2021). Jalan Panjang Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual. Tempo. Retrieved 25 December 2021, from https://fokus.tempo.co/read/1538608/jalan-panjang-perlindungan-anak-dari-kekerasan-seksual.

[8] Menuju respons dan pemulihan COVID-19 yang berfokus pada anak. Unicef.org. (2021). Retrieved 25 December 2021, from https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/menuju-respons-dan-pemulihan-covid-19-yang-berfokus-pada-anak.

[9] 80 juta anak di Indonesia menghadapi dampak pandemi COVID-19 yang meluas. Unicef.org. (2021). Retrieved 25 December 2021, from https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/80-juta-anak-di-indonesia-menghadapi-dampak-pandemi-covid-19-yang-meluas.

[10] Kekerasan Pada Anak di Masa Pandemi Covid-19 Meningkat. Universitas Islam Indonesia. (2021). Retrieved 25 December 2021, from https://www.uii.ac.id/kekerasan-pada-anak-di-masa-pandemi-covid-19-meningkat/.

[11] Mardina, R., Hikmawaty, S., & Yuliana, Y. Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusdatin.kemkes.go.id. Retrieved 25 December 2021, from https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Kekerasan-terhadap-anak.pdf.

[12] Media, K. (2021). Mengapa Kita Membutuhkan Undang Undang untuk Melawan Kekerasan Seksual? Halaman all - Kompas.com. KOMPAS.com. Retrieved 26 December 2021, from https://lifestyle.kompas.com/read/2021/03/30/214708220/mengapa-kita-membutuhkan-undang-undang-untuk-melawan-kekerasan-seksual?page=all.

[13] Ditpsd.kemdikbud.go.id. (2021). Retrieved 26 December 2021, from http://ditpsd.kemdikbud.go.id/upload/filemanager/2021/06/UJICOBA%20_MATERI%201_TINDAK%20KEKERASAN.pdf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun