Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak dalam Jerat Kemiskinan: Tekanan Sosial hingga Prostitusi Online

25 April 2021   16:55 Diperbarui: 25 April 2021   17:31 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya itu, kesehatan juga menjadi prioritas yang penting dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan. Hadirnya BPJS Kesehatan ini, sekiranya menjadi secercah harapan bagi masyarakat miskin maupun rentan miskin untuk memperoleh kemudahan akses pada kesehatan dengan keringanan pembayaran iuran bagi masyarakat penerima Penerima Bantuan Iuran (PBI). 

Terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, permasalahan kemiskinan anak nyatanya masih ada. Jika ditelusuri dari segi implementasi, kita dapat melihat bagaimana pelaksanannya masih banyak memperoleh kontra dan keluhan masyarakat. Hal ini sebagaimana dalam BPJS Kesehatan, dengan pelayanannya yang tergolong rumit dan sifatnya yang terbatas. 

Program KIP juga masih mengalami hambatan dalam hal pendistribusiannya yang tidak merata dan kurangnya keterlibatan publik dalam pengawasannya. Dalam pelaksanannya juga, KIP masih belum mencapai kesesuaian dengan targetnya guna menekan angka putus sekolah. Totok Amin, penggiat pendidikan dari Universitas Paramadina, menyebutkan kesulitan yang dialami pemerintah dalam menekan angka putus sekolah juga berasal dari faktor internal , yakni banyaknya anak usia sekolah yang terlanjur tidak mau bersekolah dan memilih bekerja [11].

Dapatkah Isu Kemiskinan Anak Menemukan Titik Akhir?

Kemiskinan anak, sama halnya dengan isu ketimpangan sosial, merupakan permasalahan yang hampir selalu ada pada setiap negara dan tidak pernah berujung. Bahkan, dalam laporan yang dikeluarkan UNICEF, terdapat 8 negara maju yang memiliki tingkat kemiskinan anak terbesar, diantaranya Portugal, Italia, Kanada, Amerika Serikat, Bulgaria, Israel, dan Romania sebagai negara maju dengan tingkat kemiskinan anak terbesar pertama [12]. 

Hal ini menyadarkan kita bahwa perjuangan dalam memberantas kemiskinan anak ini, nyatanya bukan hanya perjuangan Indonesia semata. Hal ini selayaknya menjadi tantangan dan motivasi bagi bangsa Indonesia untuk terus bergandengan tangan dan bangkit. Dalam rentang waktu antara tahun 2000-2015, Indonesia pernah menunjukkan keberhasilannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan hingga 2,1% dan menempati peringkat 11 dalam kategori negara yang mampu memerangi kemiskinan ekstrem [13].

Melihat keberhasilan tersebut, harusnya menjadikan kita lebih optimis dan percaya akan potensi yang dimiliki Indonesia. Dalam hal kemiskinan anak, peran orangtua juga menjadi sumber penting bagi pengembangan diri anak. 

Kemiskinan tidak sepenuhnya menjamin bahwa anak akan menjadi orang yang tidak sukses dan berujung mengerjakan perbuatan kriminal. Kemiskinan yang dialami anak juga tidak menjamin bahwa ia tidak bisa keluar. 

Betapa banyak orang-orang sukses dan inspiratif, yang berawal dari kalangan ekonomi yang kurang mampu. Dahlan Iskan, sosok yang pernah menjabat sebagai Menteri BUMN itu, ternyata memiliki keterbatasan ekonomi di masa kecil hingga tidak mempunyai sepatu untuk sekolah. 

Begitu juga dengan Ciputra, sosok pengusaha properti yang sukses, sempat mengalami pahitnya kehidupan dengan membanting tulang pada usianya yang berusia 12 tahun. 

Tidak hanya dari internal, faktor eksternal juga menjadi faktor yang penting. Dr.Lee, seorang dokter Indonesia yang berinisiatif membuat konsep "rumah sakit apung" dalam usahanya yang bernama "Doctor Share" guna membantu masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah 3T dalam mengakses pelayanan kesehatan yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun