Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak dalam Jerat Kemiskinan: Tekanan Sosial hingga Prostitusi Online

25 April 2021   16:55 Diperbarui: 25 April 2021   17:31 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik 1. Tingkat Kemiskinan di Indonesia / Sumber: bps.go.id

Permasalahan ekonomi yang mengekang membuat anak cenderung mendapatkan asupan gizi yang tidak seimbang pada usianya. Terlebih, pandemi COVID-19 memperburuk kondisi lebih dari dua juta anak dengan gizi buruk dan tujuh juta anak anak usia dibawah 5 tahun yang mengalami permasalahan stunting. 

Bahkan, UNICEF memperkirakan bahwa akibat COVID-19, permasalahan wasting anak usia dibawah 5 tahun, secara global, dapat mengalami peningkatan sebesar 15 persen [6]. Tidak terbatas pada permasalahan kekurangan gizi, kemiskinan juga banyak dirasakan dengan kurangnya akses pada hygiene dan sanitasi dari lingkungan sekitarnya, baik itu akses pada air yang bersih hingga kebersihan udara.

Selain itu, melihat dari faktor keluarga sebagai lingkungan yang penting bagi pengembangan anak, anak-anak ternyata tidak sepenuhnya aman. Keluarga yang diyakini menjadi "tempat berteduh" justru seolah-olah menjadi hal yang sebaliknya. 

Kurangnya akses orangtua pada pendidikan parenting dan tekanan ekonomi yang dialami orangtua, tidak jarang menjadikan anak sebagai "pelampiasan" dari semua rasa lelah yang dialaminya. 

Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan terjadinya peningkatan kasus kekerasan pada anak di masa pandemi hingga mencapai tingkat 2.700 kasus, dengan dominasi 52% kasus merupakan kekerasan seksual pada anak [7]. Andriyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, meyakini bahwa peningkatan tersebut, terutama dalam hal wilayah Jawa Timur sebagai wilayah dengan tingkat kekerasan anak tertinggi, dipengaruhi oleh faktor stress akibat tekanan ekonomi di masa pandemi.

Rendahnya hubungan dengan orangtua serta desakan ekonomi yang ada, mendorong anak untuk kemudian terjun dalam dunia prostitusi. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh penting dalam motivasi anak dibawah umur untuk bergabung dalam dunia tersebut. 

Menurut psikolog anak Ghianina Yasira Armand, di Indonesia, tingkat pelacuran dan perdagangan anak telah mencapai jumlah 150.000 anak. Ia memaparkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada preferensi anak dalam dunia prostitusi dengan adanya "figur" tertentu yang dekat dengan lingkungannya. 

Bisa jadi dari orangtua, teman, maupun orang-orang lain di sekitarnya yang berpengalaman dalam dunia prostitusi [8]. Bahkan, hal ini diperparah di Kamboja, dimana orangtua secara sengaja menjual anaknya yang berusia 15 tahun kepada seorang pedofil demi memenuhi kebutuhan ekonominya sebagaimana didokumentasikan dalam film dokumenter "My Mother Sold Me. Cambodia, where virginity is a commodity". 

Andil Pemerintah dalam Pengentasan Isu Kemiskinan Anak

Pemerintah memang tidak tinggal diam dalam proses penanggulangan isu ini. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti halnya bantuan-bantuan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditargetkan untuk 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun, diikuti bantuan sosial dalam bentuk beras 15 kilogram, serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp500.000 kepada penerima kartu sembako dan pekerja dengan penghasilan dibawah Rp5 juta per bulan [9]. Dalam hal pendidikan, pemerintah juga telah menerapkan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai pengembangan dari Bantuan Siswa Miskin (BSM)  untuk anak usia sekolah (6-21 tahun). 

Dengan pergantian dari BSM ke KIP ini, jangkauan yang berusaha diraih oleh pemerintah juga menjadi lebih luas, dengan menargetkan pada anak miskin dan rentan miskin, serta diberikan juga kepada keluarga anak-anak yang putus sekolah untuk dapat memberdayakan diri melalui pelatihan formal (sekolah) maupun nonformal [10]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun