Permasalahan ekonomi yang mengekang membuat anak cenderung mendapatkan asupan gizi yang tidak seimbang pada usianya. Terlebih, pandemi COVID-19 memperburuk kondisi lebih dari dua juta anak dengan gizi buruk dan tujuh juta anak anak usia dibawah 5 tahun yang mengalami permasalahan stunting.Â
Bahkan, UNICEF memperkirakan bahwa akibat COVID-19, permasalahan wasting anak usia dibawah 5 tahun, secara global, dapat mengalami peningkatan sebesar 15 persen [6]. Tidak terbatas pada permasalahan kekurangan gizi, kemiskinan juga banyak dirasakan dengan kurangnya akses pada hygiene dan sanitasi dari lingkungan sekitarnya, baik itu akses pada air yang bersih hingga kebersihan udara.
Selain itu, melihat dari faktor keluarga sebagai lingkungan yang penting bagi pengembangan anak, anak-anak ternyata tidak sepenuhnya aman. Keluarga yang diyakini menjadi "tempat berteduh" justru seolah-olah menjadi hal yang sebaliknya.Â
Kurangnya akses orangtua pada pendidikan parenting dan tekanan ekonomi yang dialami orangtua, tidak jarang menjadikan anak sebagai "pelampiasan" dari semua rasa lelah yang dialaminya.Â
Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) melaporkan terjadinya peningkatan kasus kekerasan pada anak di masa pandemi hingga mencapai tingkat 2.700 kasus, dengan dominasi 52% kasus merupakan kekerasan seksual pada anak [7]. Andriyanto, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, meyakini bahwa peningkatan tersebut, terutama dalam hal wilayah Jawa Timur sebagai wilayah dengan tingkat kekerasan anak tertinggi, dipengaruhi oleh faktor stress akibat tekanan ekonomi di masa pandemi.
Rendahnya hubungan dengan orangtua serta desakan ekonomi yang ada, mendorong anak untuk kemudian terjun dalam dunia prostitusi. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh penting dalam motivasi anak dibawah umur untuk bergabung dalam dunia tersebut.Â
Menurut psikolog anak Ghianina Yasira Armand, di Indonesia, tingkat pelacuran dan perdagangan anak telah mencapai jumlah 150.000 anak. Ia memaparkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh pada preferensi anak dalam dunia prostitusi dengan adanya "figur" tertentu yang dekat dengan lingkungannya.Â
Bisa jadi dari orangtua, teman, maupun orang-orang lain di sekitarnya yang berpengalaman dalam dunia prostitusi [8]. Bahkan, hal ini diperparah di Kamboja, dimana orangtua secara sengaja menjual anaknya yang berusia 15 tahun kepada seorang pedofil demi memenuhi kebutuhan ekonominya sebagaimana didokumentasikan dalam film dokumenter "My Mother Sold Me. Cambodia, where virginity is a commodity".Â
Andil Pemerintah dalam Pengentasan Isu Kemiskinan Anak
Pemerintah memang tidak tinggal diam dalam proses penanggulangan isu ini. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti halnya bantuan-bantuan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditargetkan untuk 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun, diikuti bantuan sosial dalam bentuk beras 15 kilogram, serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp500.000 kepada penerima kartu sembako dan pekerja dengan penghasilan dibawah Rp5 juta per bulan [9]. Dalam hal pendidikan, pemerintah juga telah menerapkan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai pengembangan dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) Â untuk anak usia sekolah (6-21 tahun).Â
Dengan pergantian dari BSM ke KIP ini, jangkauan yang berusaha diraih oleh pemerintah juga menjadi lebih luas, dengan menargetkan pada anak miskin dan rentan miskin, serta diberikan juga kepada keluarga anak-anak yang putus sekolah untuk dapat memberdayakan diri melalui pelatihan formal (sekolah) maupun nonformal [10].Â