Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PISA : Bagaimana Kondisi Pendidikan Indonesia Saat Ini?

6 Desember 2019   20:29 Diperbarui: 19 Maret 2020   14:08 2505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia[1]. PISA diadakan setiap tiga tahun sekali oleh OECD dengan mengambil sampel siswa umur 15 tahun keatas secara acak di setiap negara. Sekarang, PISA dijadikan standar internasional dalam bidang pendidikan.

Indonesia mulai berpartisipasi dalam PISA sejak pertama kali PISA diadakan yakni pada tahun 2000. Capaian skor PISA Indonesia pada tahun 2015 mengalami peningkatan dari skor PISA periode sebelumnya yakni pada tahun 2012 sebesar 21 poin skor. Menurut catatan OECD, Indonesia tercatat sebagai negara tercepat ke-15 dalam pengembangan sistem pendidikan dari 72 negara yang berpartisipasi[2]. Meskipun mengalami kenaikan, Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan negara OECD lain. Berdasarkan PISA 2015, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 72 negara yang disurvei. Kompetensi membaca pelajar Indonesia menurut hasil survei PISA 2015 meraih nilai 397, angka ini jauh di bawah  rata-rata OECD sebesar 493. Demikian pula skor kompetensi matematika hanya 386, tertinggal dari rata-rata OECD sebesar 490. Skor kompetensi sains sebesar 403 juga di bawah rata-rata OECD sebesar 493[3].

Pada PISA 2018, metode serta indikator yang dipakai sama dengan PISA 2015. Namun, pada PISA 2018 OECD berusaha mengubah tes menjadi lebih dari sebuah akademik, melainkan juga melihat kompetensi global, meminta siswa untuk mengutarakan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang hidup mereka di masa sekarang dan di masa depan. Selain itu, perbedaanya terletak pada jumlah negara yang mengikuti PISA. Jika tahun 2015 ada 70 negara yang disurvei, maka tahun 2018 bertambah menjadi 79 negara[4]. 

Hasil PISA 2018 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penurunan pada tiga kompetensi yakni kemampuan membaca, matematika, serta sains. Skor kemampuan membaca Indonesia pada PISA 2018 adalah 371, skor kemampuan matematika adalah 379, dan skor kemampuan sains adalah 396[5]. Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara. Penurunan skor Indonesia pada PISA juga harus dikaitkan dengan konteks bahwa sampel yang diambil meningkat cakupannya menjadi 85% anak berusia 15 tahun keatas[6]. Adanya fakta bahwa sampel yang digunakan bertambah, maka hasil PISA pada tahun 2018 lebih menggambarkan kondisi yang sebenarnya terjadi bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah dan perlu ditingkatkan. Lantas, apa saja faktor yang menyebabkan skor PISA Indonesia masih rendah? Dan bagaimana cara Indonesia mengatasi rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia?

Menurut Laporan OECD pada tahun 2015, skor PISA dapat menjelaskan beberapa fakta. Data tersebut diantaranya adalah menjelaskan kualitas serta keadilan dalam pendidikan dan kondisi policies and practices for successful schools,serta kesejahteraan siswa[7].

Kualitas serta Keadilan dalam Pendidikan

Performa siswa Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains masih jauh di bawah rata-rata negara OECD. Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan (Puspendik) Mohamad Abduh menjelaskan beberapa faktor Indonesia masih berada pada urutan bawah dari tes PISA, dibandingkan negara-negara lain. Salah satu faktornya adalah karena pengajar Indonesia tidak membiasakan siswanya mengerjakan soal yang dapat mendorong, menstimulasi, dan menganalisa suatu masalah menggunakan nalar atau disebut High Order Thinking Skill (HOTS)[8]. Selain itu, rendahnya skor Indonesia pada kemampuan membaca disebabkan karena siswa Indonesia terbiasa membaca single text tetapi lemah dalam memahami multiple text[9].

Oleh karena itu, untuk melatih siswa Indonesia mengerjakan HOTS, pemerintah mulai mengimbau kepada para pengajar untuk memberikan siswa soal-soal yang membutuhkan critical thinking. Pada kurikulum 2013 revisi, lebih banyak latihan soal yang HOTS serta memasukan soal HOTS dalam berbagai ujian yang berstandar nasional seperti Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). 

Faktor selanjutnya adalah keadilan dalam pendidikan. Keadilan dalam pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi sosial ekonomi siswa. Terdapat perbedaan capaian skor PISA antara siswa yang kurang beruntung secara sosial ekonomi dengan siswa yang beruntung secara sosial ekonomi. Siswa yang kurang beruntung 3 (tiga) kali lebih mungkin tidak mencapai performa yang baik dalam sains dibanding siswa yang beruntung[10]. Jika dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi yang dilihat dalam populasi masyarakat yang dibawah garis kemiskinan nasional, penyebab masih rendahnya skor PISA Indonesia dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam adalah karena populasi masyarakat miskin di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di negara Malaysia dan Vietnam [11]. Selain itu, persentase variasi dalam kemampuan sains berdasarkan status sosial ekonomi siswa mengalami peningkatan sebesar 3,5% pada tahun 2015 dibanding pada tahun 2006[12]. Hal tersebut menandakan bahwa terjadi peningkatan perbedaan status sosial ekonomi di kalangan siswa yang menyebabkan bertambahnya variasi kemampuan sains siswa Indonesia atau perbedaan status sosial ekonomi semakin berpengaruh pada kemampuan sains siswa.

Policies and Practices for Successful Schools

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun