Jangan banyak bicara
Apa? Kamu malah ingin menjerit-tangis?
Hah? Kamu mau memukuli dadamu sendiri?
Padahal kamu sadar tulang-tulangmu telah renta
---
Aku tahu dulu kau termasyur
Siapa yang tidak mengenal dirimu
Kini, orang-orang enggan mengenalmu
Karena kau telah jatuh miskin
Kasihan!
---
Usiamu juga ujur
Wajahmu penuh keriput
Rambutmu memutih semua
Dan kau sendiri
Sendiri saja
Kesepian!
---
Dahulu, jiwamu penuh guyonan
Orang-orang pasti tertawa keras
Mendengarkan lontaran humormu
Humor-humor yang cerdas
Tapi sayang, kini kau bukan lagi penghibur
Bahkan tidak kuasa menghibur diri sendiri
Camkan itu!
---
Apa jadinya sehari-hari sarapan menangis
Tidak siang, tidak pula malam
Kau tidak mampu berbuat apa-apa
Sajian masakanmu terasa hambar
Dimana garam-garam itu kau tenggelamkan?
---
Waktu sudah dekat, saudaraku
Gamelan akan berhenti memainkan irama
Aku ingin lihat aksi topeng Jantuk terbaik darimu
Membawakan pantun-pantun gelak tawa
Karena lensa kamera telah focus menanti
Gambar terbaik darimu
Topeng-topeng, menarilah tuk sekali ini saja
Aku ingin lihat penonton memuja-muja namamu kembali
Dari rekaman terakhir hasil karyamu
Lihat..lihat mereka, mereka sudah tak sabar
Menyaksikan pertunjukan terakhir
Pertunjukan yang terbaik
Jangan pernah kecewakan para penonton
Camkan itu!
Hah? Terheran-heran Yono, akhirnya mampu selesai menuliskan puisi. Puisi kekesalan hatinya. Puisi yang berpundak-pundak mengunungi benak dan jiwanya. Tapi bukan puisi curahan hati, yang dia inginkan. Sekali lagi dia ingin membuat puisi berkualitas sastra. Sedangkan puisi tadi, Bah! Ogah sekali rasanya pembaca mengucapkan kata-kata pujian terhadapnya. Yano tahu benar hal ini. Sekian kalinya dia kecewa. Hidupnya tidak lagi membawa keramaian atau pun gelak tawa. Hidupnya serba berpikir dan banyak pertanyaan.
Kali ini Yono menangis tersedu-sedu. Buat apa pernah menjadi seorang pelawak terkenal, kalau kini hanya rumah sangat-sangat sederhana yang Yono miliki. Keluarga juga tidak kuasa dimilikinya. Kepopulerannyalah yang telah menghancurkan keluarganya. Kecewa, kecewa bertubi-tubi. Kecewa pada sikap dan tingkah lakunya di kala itu. Kecewa karena pandangan istri dan anak-anaknya yang tidak bisa menerima keadaan ekonomi yang turun drastis. Kecewa, semuanya meninggalkan dirinya.
Yono terbatuk dan mengeluarkan tetes darah dari mulutnya. Bukan darah yang pertama, tetapi darah yang entah sudah berapa kali keluar dari dadanya. Siapa yang tidak mau menyembuhkan penyakit dari tubuhnya? Apa daya Yono, dia tidak mampu pergi berobat. Biaya hidupnya saja, dia dapatkan dari sisa-sisa tabungan dan pemberian kawan-kawan sesama pelawak yang masih subur harta kekayaannya. Buat apa dia hidup lama, jika hanya membuat susah orang lain?
“Tuhan, mengapa tidak Kau ambil saja nafasku? Seluruhnya telah Kau ambil semua, keluargaku, namaku, rasa humorku, kejayaanku, harta-hartaku, dan para pengemarku. Ayo Tuhan, sekarang saja Kau musnahkan aku. Aku hanya bersisa bongkahan tulang kering dan daging tipis. Aku rela Kau tarik nyawaku saat ini juga,” lirih Yono penuh getir.
Lagi dada yono terasa sesak. Kian bertambah sesak. Sesak sejadi-jadinya. Di hati kecilnya, dia senang bisa menyelesaikan puisi buatannya. Di hati kecilnya juga, dia ingin dapat menorehkan pantun humor, satu saja. Ya, satu saja untuk menghibur dirinya, namun dia urungkan keinginannya itu. Dia lelah, teramat lelah. Membuat puisi adalah kegemarannya dan sebagai penghibur hatinya di saat kesibukan mencari pundi-pundi. Baginya sekarang telah usai. Ya, usai. Mata Yono mulai sayu dan dia tertidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H