Keberhasilan Rumah Cemara membawa nama Indonesia ke ajang Internasional telah membuahkan hasil yang manis. Melalui Sepak Bola, RC (Rumah Cemara) mengajak masyarakat agar membuka mata untuk tidak memandang sebelah mata para pengguna narkoba, ODHA, dan kaum marjinal. Namun, tulisan ini khusus akan mengkisahkan perjalanan 5 orang mantan korban ketergantungan narkotika sampai mereka mendirikan panti rehabilitas dan membawa harum nama Indonesia, masuk peringkat ke-8 Turnamen Homeless World Cup 2013.
Mengingat tahun 2014 sebagai tahunnya pengguna narkoba sebaiknya direhabilitasi bukan dipenjara, rasanya perjuangan kelima orang itu bisa dijadikan inspirasi bagi pengguna narkoba dan masyarakat luas. Indonesia pun perlu menyingkirkan stigma dan diskriminasi terhadap pengguna narkoba untuk mendukung secara psikologis para korban pemakai narkoba. Diberitahukan, adiksi narkoba itu adalah sebuah penyakit otak. Tentu berhubungan erat dengan cara pandang, daya pikir, dan pola perilaku. Jika pengguna narkoba tidak mendapatkan dukungan positif, otomatis penyembuhan mereka akan mengalami hambatan yang bisa berdampak negatif terhadap orang-orang di sekitarnya, bahkan Anda, sebagai masyarakat Indonesia.
~*~
Rumah Cemara didirikan tahun 2003 oleh kelima orang sesama pecandu narkoba. Mereka adalah Ikbal, Ginan, Darwis, Tanto, dan Patri. Kebetulan, kelimanya pernah menjalani program rehabilitasi, bahkan beberapa dari mereka direhabilitasi di luar negeri dan juga mengambil pendidikan program rehabilitas adiksi di luar negeri. Setelah menyelesaikan program rehabilitasi, mereka berkumpul dan bertekad membantu orang-orang yang masih bermasalah dengan kecanduan narkobanya.
Karena “pengalaman adalah pelajaran”, mereka sadar betul untuk sembuh dari penyakit kecanduan tersebut tidaklah mudah – jatuh-bangun saat pemulihan sering terjadi – ibarat kata, tidak hanya berdiri di sepasang kaki, organ tubuh lain harus menunjang seseorang untuk berdiri tegak dari terpaan angin. Agar bisa berdiri tegak dan bangun dari dunia kecanduan, seseorang akan menemukan berbagai masalah – dan masalah merupakan pemicu besar bagi pengguna untuk kembali mengunakan narkoba.
Setiap manusia memang punya masalah. Tidak berbeda dengan pengguna, apalagi yang sudah berada di tingkat kecanduan parah. Sebetulnya, masalah kecanduan bersumber dari otak dan pikiran yang mengakitbatkan perilaku negative. Sebagai orang normal pun, tidak mudah mengubah kebiasaan buruknya kembali menjadi sediakala dan tidak 100% kembali ke nol. Dibutuhkan proses panjang dan pembelajaran hidup sehari-hari. Begitu pula dengan pecandu narkoba. Tidak heran di dunia adiksi terkenal sebuah kalimat, “Just for Today”.
Just for today, hanya untuk hari ini. Satu hari tidak memakai narkoba, sangat berarti bagi pecandu. Dan yakin hari-hari berikutnya terus konsisten untuk tidak menggunakan narkoba kembali. Satu hari melakukan sesuatu dengan berusaha sebaik mungkin. Satu hari menyelesaikan problema. Tahap demi tahap. Hari demi hari. Kalimat ini merupakan keyakinan dan kepercayaan seorang pecandu dalam menghadapi kehidupan agar hidup menjadi lebih baik.
Bagi pengguna narkotik dan zat berbahaya lainnya yang tidak pernah mengenal rehabilitasi, program Narcotics Anonymous (NA) dan 12 langkah, tidak tahu apa itu just for today (JFT). Dalam program rehabilitasi akan dikenalkan JFT dan menjalankannya selama program, juga harus dijalankan setelah menyelesaikan masa rehab-nya. Meski, ada sebagian kecil yang mengetahui program NA tanpa menjalankan rehabilitasi.
Pengetahuan JFT adalah salah satu sesi dalam program rehabilitasi. Masih banyak lagi sesi-sesi program rehabilitasi dan 12 langkah yang tidak bisa disebutkan satu per satu di tulisan ini. Tapi, melalui kisah kelima pemuda tadi, saya berharap bisa membuka mata hati dan pikiran pengguna narkoba serta masyarakat Indonesia.
Banyak nilai pelajaran yang bisa diambil dengan mengikuti kegiatan di panti rehabilitasi adiksi narkoba dan dapat menjadi ‘pegangan’ buat pengguna saat kembali ke tengah masyarakat. Hal ini merupakan salah satu alasan kelima pemuda tersebut mendirikan Rumah Cemara. Selain iu, Mereka sangat menyadari, bahwa rehabilitasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi, kecanduan narkoba tidak mengenal kaya atau miskin. Semua orang bisa menjadi korban.
Alasan tersebutlah mereka mendirikan sebuah panti rehabilitas adiksi narkoba. Awalnya Rumah Cemara didirikan sebagai tempat singgah bagi korban penyalahgunaan narkoba yang mencari tempat aman - yang telah menjalani rehabilitasi – juga terbuka bagi yang masih menggunakan dan berusaha pulih.
Rumah yang awalnya berada di Setra Sari, Bandung, disewa dari uang patungan . Mereka menyumbang suka rela. Ada yang Rp.150.000,- dan ada juga sampai Rp.2.000.000,-. Terpenting bagi mereka adalah mewujudkan misi, yaitu membantu sesama tanpa memandang bulu.
Di rumah inilah, kali pertama kelimat anak muda itu membuka tempat rehabilitas. Bekal pengalaman dan pelatihan adiksi, mereka menerapkan langsung kepada pengguna narkoba yang berada di tempat mereka. Kemudian, mereka pindah ke kawasan Geger Kalong hingga kini. Kelimanya pun tak pernah berhenti dan putus asa mencari dana untuk membiayai tempat rehabilitas mereka. Kali pertama dana berasal dari swadaya masyarakat setempat, lalu meranjak Pemerintah, perusahaan dan lembaga local.
Anggaran membiayai panti rehabilitas tidak murah, diperlukan dana yang cukup besar, apalagi saat itu terdapat 20 pecandu yang memerlukan biaya sekitar Rp,20 juta sampai Rp.30 juta per bulan. Ketika itu, kelima anak muda ini berhasil bekerjasama dengan Lembaga Asing, Familiy Health International (FHI), United States Agency for International Development (USAID) dan KPAP Jawab Barat.
Akhirnya, rumah rehabilitas dengan bangunan sederhana itu tetap berjalan. Di rumah ini, sesama pecandu bisa berbagi cerita dan perasaan mereka, dari keluhan, kesulitan, bertukar informasi, sampai kabar gembira. Pintu rumah mereka pun terus terbuka bagi pengguna narkoba yang ingin pulih dan yang masih menggunakan atau belum pulih. Seperjalanan waktu, jumlah pecandu dengan beragam latar belakang yang datang ke rumah singgah dan tempat rehabilitas Rumah Cemara semakin meningkat dan di Antara mereka mengindap virus HIV. Kegiatan kelima pemuda ini dan teman-temannya pun berkembang.
Kelima anak muda ini membagi tugas masing-masing sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing agar kegiatan mereka berjalan lancar dan timpah-tindih. Ada yang khusus bertanggungjawab di program rehabilitas. Ada yang mengurus persoalan admininsrasi, olah raga, pendanaan, public relation, dan program HIV/AIDS.
Adiksi narkotika dan zat berbahaya lainnya, HIV/AIDS, dan kampanye Anti Stigma terhadap pecandu serta pengidap HIV, merupakan kegiatan yang difokuskan Rumah Cemara sampai saat ini. Pecandu narkoba tidak lepas dari stigma masyarakat – memandang pecandu adalah orang-orang yang tidak layak hidup – dianggap sampah masyarakat, dan berbagai sebutan lainnya. Tidak sedikit juga pecandu narkoba terkena virus HIV – masyarakat menyangka virus ini sebagai sebuah penyakit yang dikutuk Tuhan – sebuah prasangka yang sangat salah dan tidak memiliki alasan logika.
Masih banyak pula, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengalami diskriminasi saat berada di rumah sakit. Mereka diperlakukan tidak baik oleh para perawat dan sering mendapatkan fasilitas kesehatan yang sesuai. Perihal ini, justru dapat membuat ODHA semakin sakit dan terkucilkan. Ginan, salah satu pendiri Rumah Cemara mengatakan,”Virusnya sendiri tidak membunuh, tapi stigma yang membunuh orangnya.”
Karena Stigma yang terjadi terhadap pecandu narkoba dan ODHA, program kegiatan Rumah Cemara sekarang ini yang mereka lakukan, yaitu: Peer Support (memberikan layanan sebaya dengan menjalankan visi “Indonesia tanpa diskriminasi” terhadap pengguna narkoba dan HIV/AIDS, serta membantu memperbaiki kualitas hidup mereka), Drug Addiction Treatment Centre (Pusat perawatan rehabilitasasi pengguna narkoba dengan mengabungkan Theraputic dan program 12 langkah, Dukungan Sebaya HIV/AIDS-Bandung Plus Support (berkoordinasi dengan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Penjara, Palang Merah Indonesia, dan lembaga swadaya local lainnya untuk memfasilitasi kesehatan orang terkena virus HIV/AIDS), Community Outreach (penjangkauan intensif terhadap masyarakat beresiko tinggi, seperti pengguna narkoba, tahanan, pekerja seks dengan menjalankan program penggunaan jarum suntik bersih, informasi, dan distribusi kondom gratis).
Apa yang dijalankan kelima pendiri dan 50 staf Rumah Cemara (jumlah tercatat tahun 2014) tidak sampai di situ saja. Menurut Ginan, olah raga merupakan salah satu aktifitas yang dapat membaur dan mengajak masyarakat luas agar bisa mensosialisasikan bahaya narkoba, HIV/AIDS, dan kampanye “Indonesia Tanpa Stigma”.
Bidang olah raga yang giat dijalankan komunitas Rumah Cemara saat ini adalah Sepak bola dan lari. Siapa masyarakat yang tidak mengenal sepak bola dan olah raga lari? Bisa dikatakan hampir seluruh penduduk Indonesia melakukan olah raga sepak bola dan lari. Melalui olah raga ini diharapkan bisa menyampaikan pesan kepada masyarakat secara langsung dan mengubah pandangan terhadap stigma bagi pengguna narkoba dan ODHA secara efektif dan efesien.
Lewat bidang olah raga yang memasyarakat ini, Rumah Cemara ingin membuktikan bahwa mantan korban penyalahguna narkoba dan ODHA, bisa menorehkan prestasi. Bisa beraktivitas normal, bisa bersosialisasi di tengah masyarakat, bisa menjalani hidup sehat, juga bisa membuat tubuh masyarakat Indonesia dan berpikir sehat. Berkat Kegiatan ini dan konsisten komunitas RC (Rumah Cemara) terhadap misi dan visinya, aliran dana dan sponsor dari luar negeri mengalir ke kubu mereka. Nike, Levis, Chevrolet adalah 3 contoh nama yang telah memberikan dukungan besar terhadap kegiatan yang dilakukan anak-anak muda di bawah komunitas RC.
~*~
Jika berada di sekitar kumpulan anak-anak RC, ada kesan tersendiri yang melekat kuat dan membuat orang ingin kembali ke rumah yang berada di Geger Kalong Girang ini. Tangan dan bahu mereka selalu terbuka buat siapa saja, tanpa mengenal status social dan latarbelakang. Mereka menanamkan ke diri mereka masing-masing, bahwa setiap orang yang butuh bantuan dan datang ke mereka adalah keluarga.
Anak-anak muda ini selalu memeluk erat orang-orang yang telah menjadi keluarga mereka. Pelukan, sebagai simbol keharmonisan, kedamaian, kenyamanan, dan kekeluargaan. Mereka juga saling menghargai satu sama lain – maklum pengguna narkoba memiliki karakter unik dan berbeda yang belum tentu orang lain dapat menerimanya.
Selain itu, mereka juga menerapkan konsep loyalitas, percaya, komitmen, konsisten, cinta dan kasih sayang, dan keyakinan terhadap diri sendiri dan komunitas, bahwa mereka bisa mengubah kehidupan jauh lebih baik dengan membantu diri sendiri dan membantu sesama.
Rasanya komunitas Rumah Cemara bisa dijadikan contoh dan inspirasi kepada pengguna narkoba beserta masyarakat. Untuk pulih dari kecanduan narkoba itu memang tidak mudah, tapi mungkin sekali dilakukan. Dan masyarakat merupakan faktor eksternal utama yang mampu mendukung penyembuhan bagi pengguna narkoba. Stigma dan diskriminasi hanya membuat nyawa mereka melayang. penjara pun hanya menambah jalan sesat. Oleh sebab itu, masyarakat diharapakan menggerakkan bahwa pengguna narkoba lebih baik direhabilitasi daripada dipenjara dan mengikis stigma dan diskriminasi terhadap mereka.
Sumber tulisan:
-Koleksi Foto Rumah Cemara
-http://rumahcemara2.blogspot.com/2003/12/di-rumah-cemara-para-penghuni.html
-Ginan Koesmayadi
-Aga Van Baros
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H