Mohon tunggu...
Nurman Samehuni Gea
Nurman Samehuni Gea Mohon Tunggu... Jurnalis - Sebagai Mahasiswa di universitas Nias dan penulis blog

Hobi : Menulis, Membaca, Bersepeda, berlari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berilmu Belum Tentu Beradab, Refleksi dari Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh

4 Desember 2024   10:33 Diperbarui: 4 Desember 2024   11:06 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilmu adalah bekal hidup yang sangat berharga, karena dengan ilmu, seseorang dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Namun, ilmu saja tidak cukup. Dalam kehidupan bermasyarakat, ilmu harus dibarengi dengan adab---sebuah nilai yang mengatur perilaku seseorang agar tetap menghormati dan memuliakan manusia lainnya. Tanpa adab, ilmu justru bisa menjadi pedang yang melukai orang lain, alih-alih memberikan manfaat.

Belum lama ini, publik dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang melibatkan Gus Miftah, seorang pendakwah kondang yang selama ini dikenal sebagai tokoh agama moderat dan inspiratif. Ia diduga mengolok-olok seorang penjual es teh dengan kata-kata kasar, seperti menyebutnya "goblok." 

Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan sorotan terhadap tindakan Gus Miftah, tetapi juga membuka diskusi yang lebih luas tentang pentingnya keseimbangan antara ilmu dan adab.

Gus Miftah adalah nama yang tidak asing di Indonesia. Ia dikenal karena gaya dakwahnya yang santai, modern, dan relevan dengan anak muda. Dengan pendekatan yang ringan, ia sering berdakwah di tempat-tempat nontradisional, seperti klub malam, untuk menjangkau mereka yang jauh dari masjid. Banyak orang mengapresiasi usaha Gus Miftah dalam menyampaikan pesan Islam dengan cara yang inklusif dan tidak menghakimi.

Namun, dalam kasus yang sedang hangat dibicarakan, Gus Miftah menunjukkan sisi lain yang mengejutkan banyak orang. Ketika menyampaikan kritik terhadap sebuah produk es teh yang dipasarkan oleh seorang pengusaha kecil, ia menggunakan kata-kata yang dianggap kasar, seperti menyebut sang penjual "goblok." 

Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana seorang tokoh agama yang dianggap berilmu bisa terjebak dalam tindakan yang terkesan merendahkan orang lain?

Berilmu tidak otomatis menjadikan seseorang beradab. Adab adalah kemampuan untuk bersikap hormat, berempati, dan memahami perasaan orang lain. Dalam Islam, adab bahkan ditempatkan pada posisi yang sangat penting, sejajar dengan ilmu itu sendiri

Kata-kata yang dilontarkan oleh Gus Miftah jelas menyinggung hati sang penjual es teh. Bagi seseorang yang hidup dari usaha kecil seperti menjual minuman, hinaan tersebut tidak hanya melukai harga diri, tetapi juga bisa berdampak buruk pada mental dan semangat mereka dalam mencari nafkah. Sebagai seorang pendakwah, Gus Miftah seharusnya menjadi contoh dalam bertutur kata yang lembut dan membangun, bukan malah menjatuhkan.

Bisa dibayangkan perasaan penjual es teh tersebut setelah mendengar kata-kata seperti "goblok" dari sosok yang selama ini dianggap sebagai tokoh agama. Rasa kecewa, malu, dan mungkin marah tentu memenuhi hati. Sang penjual, yang mungkin hanya berusaha mencari nafkah dengan cara halal, merasa usahanya direndahkan di depan publik. Apalagi, hinaan tersebut datang dari seseorang yang memiliki pengaruh besar, sehingga dampaknya bisa lebih luas---mencakup citra produknya dan rasa percaya dirinya.

Sebagai manusia, kita semua memiliki rasa harga diri yang harus dihormati. Ketika seseorang dipermalukan, terutama di ruang publik, itu bukan hanya melukai hati tetapi juga bisa merusak semangat hidupnya. Dalam situasi ini, sang penjual es teh mungkin merasa tidak adil karena kritik yang disampaikan tidak bersifat konstruktif, melainkan merendahkan.

Bagi kita sebagai masyarakat, peristiwa ini juga mengajarkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan seorang ulama sekalipun bisa melakukan kesalahan. Yang penting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan tersebut dan berusaha untuk memperbaiki diri.

Kasus Gus Miftah dan penjual es teh adalah pengingat nyata bahwa berilmu belum tentu beradab. Ilmu tanpa adab hanyalah kesombongan, sementara adab tanpa ilmu hanyalah niat baik yang belum terarah. Kita harus terus berupaya menyeimbangkan keduanya agar menjadi manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermartabat.

Untuk Gus Miftah, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan keteladanan dengan meminta maaf secara tulus kepada sang penjual es teh dan publik. Adapun bagi sang penjual, semoga peristiwa ini tidak mematahkan semangatnya untuk terus berusaha dan berkarya. Mari kita semua mengambil pelajaran agar selalu menjunjung tinggi adab dalam setiap tindakan, apa pun posisi dan status kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun