Kasus dugaan tindakan asusila yang dilakukan oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, terhadap seorang staf perempuan di KPU Luar Negeri Belanda, bagaikan luka menganga yang mengoyak kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu dan nilai-nilai moral bangsa.
Kasus ini bukan hanya pelanggaran kode etik dan hukum, tetapi juga merupakan cerminan dari budaya patriarki dan ketimpangan relasi kuasa yang masih mengakar kuat di masyarakat.
Kronologi Kelam dan Trauma Mendalam
Pada Oktober 2023, terungkap bahwa Hasyim Asy'ari melakukan tindakan asusila terhadap staf perempuan berinisial CAT di sela-sela kegiatan dinas di Belanda. CAT yang awalnya menolak, akhirnya dipaksa oleh Hasyim untuk berhubungan badan hingga mengalami trauma fisik dan psikis.
Keberanian CAT untuk melaporkan kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) patut diapresiasi. Namun, prosesnya tak mudah. CAT harus menghadapi stigma dan tekanan dari berbagai pihak, termasuk dari Hasyim Asy'ari sendiri.
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Luka Ketidakadilan
Kasus Hasyim Asy'ari ini menjadi contoh nyata dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik. Hasyim memanfaatkan posisinya untuk mengintimidasi dan memaksa CAT, menunjukkan arogansi dan ketidakpedulian terhadap martabat dan hak-hak perempuan.
Tindakan asusila ini tak hanya berdampak pada CAT, tetapi juga mencoreng nama baik KPU dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Membongkar Tabu dan Mencari Keadilan
Kasus Hasyim Asy'ari membuka tabir kelam tentang pelecehan seksual dan tindakan asusila yang kerap terjadi di balik tembok institusi publik.