"Bakar!!!!"
Tiba-tiba saja suara yang semula terdengar sayup, sudah begitu dekat dengan telingaku. Mataku nanar. Tidak ada jalan lagi untuk lari. Buntu. Sementara kerumunan orang-orang di belakang makin banyak. Wajahnya garang dan galak. Ada yang membawa bambu, menggenggam batu, paling tidak kedua tangannya mengepal.
"Mau lari ke mana kau, bangsat!" teriak salah seorang dari mereka. Matanya melotot. Tongkat di tangannya diacungkan kepadaku. Aku diam terpaku, tak bisa ke mana-mana. Mulutku tiba-tiba saja terkunci.
"Siapa kamu? Dari mana?"
Pertanyaan beruntun meluncur deras dari orang yang berpeci hitam. Bajunya putih. Sarungnya dilipat ke atas memperlihatkan dengkulnya yang hitam. Lidahku kelu, tidak mampu mengeluarkan satu patah kata pun.
"Ayo jawab! Nduuubleg wae!" desak mereka beramai-ramai. Ada sekitar dua puluhan orang yang mengepungku dari segala arah. Tak mungkin aku meloloskan diri.
"Seret dia ke halaman masjid!" kata orang yang paling tua di antara mereka. Wajahnya mestinya sangat teduh dengan jenggot yang mulai memutih. Tampaknya cukup terawat dengan baik. Tapi menjadi garang karena marah yang menyelimuti hatinya. Ke mana kesabaran yang selalu disuarakan selepas subuh? Bukankah kamu selalu mengatakan kalau manusia harus bisa mengendalikan nafsu dan amarahnya? Ke mana lagi aku mencari fatwa kalau orang yang mestinya menjadi panutan tidak bisa menjaga ucapannya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
      Udara panas. Angin berembus ke sana kemari menyapu debu jalanan. Wajahku tertampar-tampar angin berdebu. Kotor dan kusam. Keringat mulai bercucuran di sekujur tubuhku. Baju yang kusam makin tampak kusam karena debu yang menempel di baju yang basah karena keringat.
      Sudah hampir setengah hari aku menyusuri jalan tanpa arah. Tak tahu ke mana harus melangkah. Aku lelaki, kepala keluarga. Aku harus bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan keluargaku. Tapi seminggu lalu mandor Simo memecatku dari satu-satunya pekerjaan yang aku punya, kuli bangunan.
      "To ... Mulai Senin besok kamu istirahat dulu, ya!" kata Mandor Simo, Sabtu sore kemarin setelah menyerahkan bayaranku selama satu minggu.
      "Istirahat gimana, Pak?" kataku bingung.
      "Yang punya rumah ini bilang kalau kondisi keuangannya lagi sulit. Mereka minta untuk mengurangi tukangnya."
      "Maksudnya aku dipecat!" kataku menegaskan. Diam. Mandor Simo tak menjawab pertanyaanku. Dan sebenarnya aku tak butuh jawabannya karena aku sudah jelas betul apa yang diinginkannya.
      Aku tak tahu seburuk apa kondisi perekonomian sekarang ini sehingga bosku tak mampu lagi membayar. Padahal aku cuma seorang kuli, pembantu tukang batu. Gajiku sehari paling banyak 100 ribu yang kuterima setiap akhir minggu. Gaji itu langsung habis untuk makan lima orang keluarga kecilku. Anakku yang paling kecil butuh susu setiap hari karena air susu ibunya sudah tidak keluar lagi. Kedua kakaknya sudah duduk di kelas 1 dan 3 di SD dekat rumah. Tidak perlu membayar SPP, tapi kebutuhan sekolah yang lain kadang terasa berat. Aku juga harus menyisihkan untuk iuran kampung dan arisan istriku. Dia sering mengeluh, kenapa hidup di kampung saja kok susahnya minta ampun. Kalau tidak ikut arisan nanti dicap sebagai orang yang tidak bisa bergaul, tapi arisan ini benar-benar memberatkan kami. Kadang aku tak sempat membeli sebatang rokok dari gajiku sendiri.
      Sekarang sudah seminggu ini gaji itu hilang. Aku tak tahu ke mana lagi harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Sudah banyak orang yang kutemui untuk meminta pekerjaan, tapi semuanya menolak tanpa memberikan alasan apa-apa.
      "Allahuakbar ... Allahuakbar"
Azan zuhur terdengar nyaring. Aku arahkan langkah kakiku ke masjid terdekat. Halamannya luas dan bersih. Di kanan kiri tumbuh pohon mangga dan kelengkeng. Tidak sedang berbuah, tapi rindangnya membuat suasana masjid menjadi teduh.
      Aku bukanlah orang yang terlalu taat beragama, tapi inshaallah aku selalu berusaha menetapi kewajibanku, salat lima waktu. Aku duduk di teras masjid menunggu azan selesai dikumandangkan sambil melepas penat. Dari subuh tadi aku keluar rumah, berjalan mencari pekerjaan. Kedua kakiku terasa linu. Lelahnya bukan main.
      Dinginnya air wudu menyentuh mukaku. Segar. Langkah kaki membawaku ke saf terakhir jamaah salat zuhur. Duduk bersimpuh aku menunggu iqomah. Belum terlalu banyak orang di kanan kiriku. Tiba-tiba mataku berhenti, tertumbuk pada kotak amal masjid. Dindingnya terbuat dari kaca, memperlihatkan lembar-lembar biru dan hijau. Imanku tergoda. Seketika aku teringat, sudah satu minggu aku tidak memegang lembaran-lembaran seperti itu.
      Suara muazin merdu meminta jamaah untuk berdiri dengan iqomah. Salat zuhur akan segera dimulai. Para jamaah merapatkan barisan, tidak memberikan kesempatan kepada setan berada di sela-sela barisan.
      "Allahuakbar!" Suara imam menggerakkan makmum bertakbiratulikhram.
Saf sudah rapat, tapi mengapa setan masih bisa berbisik di telingaku?
      "Uang di kotak itu cukup untuk makan keluargamu selama dua minggu!" bisiknya.
      Astagfirullah. Hatiku mencoba bertahan untuk ingat kepada Allah. Tapi apa daya, kesulitan hidup membuat mata batinku tertutup. Aku balikkan badanku ketika jamaah lain sedang ruku' langsung menuju kotak amal masjid. Dengan sekali congkel terbuka kotak itu. Kuraup lembaran-lembaran yang ada di dalam kotak. Ada empat atau lima kali raupan yang segera aku jejalkan dalam kantong celana.
      Setelah kurasa cukup aku bergegas keluar dari masjid. Ketika kaki kananku menginjak teras, tiba-tiba terdengar suara keras dari balik jendela.
      "Maling ... maling ... !!!!"
      Seketika aku berlari secepat kilat. Tak sempat aku menengok ke belakang. Suara yang mengejarku terdengar makin riuh. Aku terus berlari.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
      Ahhh ... air apa ini? Terasa dingin di punggung. Bau bensin menyeruak. Oh Gusti Allah ... mereka benar-benar mau membakarku. Tak sempat aku berpikir, tak sempat aku minta ampun, tiba-tiba salah seorang dari mereka melentingkan pemantik yang sudah menyala sumbunya. Seketika api berkobar di sekujur tubuhku, menjilat-jilat tanpa perintah. Terbayang istriku yang sudah seminggu ini terpaksa bersembunyi dari kejaran utang. Terbayang anak-anak yang menangis, merengek tak mau ke sekolah karena malu tagihan sekolahnya belum dilunasi.
      Ya Allah ... aku ingin kaujadikan api ini sebagai api yang membakar Ibrahim. Tapi tidak seperti yang aku harapkan. Barangkali karena aku masih bergelimang dosa. Mohon ampun kepada-Mu, ya Allah.
Tiba-tiba suasana jadi hening. Melayang diriku di antara kerumunan orang, menuju cahaya yang tak pernah kutemui di dunia ini.
Semarang, 5 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H