Mohon tunggu...
YQBS 1 PATI
YQBS 1 PATI Mohon Tunggu... Full Time Blogger - guru

Berfikir madani berahlak Qurani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sandal Jepit

17 Februari 2023   08:42 Diperbarui: 17 Februari 2023   08:44 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SANDAL JEPIT

Oleh: Ahmad Mushlih

SMAQT Yanbuul Quran 1

Matahari sudah sepenggalah. Ia memberikan hangat untuk pagi ini di sekitar asrama. Meski air hujan sisa semalam masih menggenang di beberapa bagian halaman. Pagi ini matahari sepertinya akan bersinar terik. Semoga. Hal ini aku doakan agar jadwal (Praktik Pengalaman Lapangan) PPL Tahfizku di Masjid Al Barokah bisa berjalan lancar.

Hari ini aku sangat bersemangat. Memang, hari-hari terakhir ini aku sangat menikmati program PPL Tahfiz yang dibuat oleh pesantren. Maklum, aku sudah menjadi khotimin bulan kemarin. Aku diwisuda oleh Abuya dan Abah secara langsung yang disaksikan oleh kedua orang tuaku dan seluruh civitas akademika di Yanbuul Quran Boarding School 1 Pati.

Meski hujan semalam sangat deras, sebelum Subuh aku memberanikan diri melawan dingin untuk mandi. Kupakai baju warna ungu muda lengan panjangku. Bawahannya kupakaikan sarung yang berwarna ungu tua. Sangat senada dan elegan. Peci hitam khas Bung Karno menghiasi kepalaku. Dan, tak lupa. Bagian terpenting dalam hidupku, mushaf Al Quran, selalu kupegang dengan tangan kanan. Kuletakkan di depan dadaku. Kujaga mushaf ini agar tidak sejajar dengan perut. Begitulah adab seorang penghafal Al Quran.

PPL Tahfiz merupakan program yang sangat aku suka. Program ini merupakan salah satu program andalan di YQBS 1 Pati. Program ini dilaksanakan setiap hari Sabtu. Dimulai pukul

7.30 – selesai. PPL Tahfiz dibagi per kelompok, yang disetiap kelompoknya terdiri dari 4 orang. Masing-masing kelompok ini dikirim ke masjid-masjid sekitar pondok. Kami berempat akan mengkhatamkan 30 juz dalam Al Quran di hari itu. Indah sekali bukan?

Aku, Kang Ilham, Kang Azmi, dan Kang Fadli hari ini mendapatkan jatah di Masjid Al Barokah. Masjid ini merupakan masjid Desa Bumiayu. Dekat sekali dengan pesantrenku. Masjid yang cukup besar ini mempunyai sebuah menara di sebelah kanan depan. Tinggi menara ini sekitar 20 meter menjulang. Di atasnya terdapat lafal Allah yang terbuat dari stainless steel. Berkilauan jika terkena sinar matahari.

“Yuk! Cap cus!” ajak Kang Fadli sebagai ketua rombongan hari ini. Kang Fadli memang sering kali ditunjuk untuk memimpin di dalam kelompok kecil maupun besar. Dia pernah menjadi ketua kelas, pernah menjadi ketua OSIS, pernah menjadi ketua regu lomba IPA se- Kabupaten Pati mewakili sekolah. Luar biasa memang temanku yang satu ini.

Kita berjalan keluar dari area YQBS 1 Pati menuju Masjid Al Barokah. Sembari menenteng mushaf di dada, mulut kami komat kamit mendarus hafalan agar tidak lupa.

“Muslih!” teriak Kang Ulil dari arah asrama. “Aku nitip sandal jepit swallow warna hijau. Ukuran 11. Jangan sampai lupa hlo! Awas kalau lupa!”

“Apa-apaan? Kamu minta tolong apa mengancam?” jawabku sambil menerima uang Kang Ulil yang telah disodorkan padaku. Memang, setiap kali ada santri PPL, keluar dari area YQBS 1 Pati, pasti ada-ada saja permintaan dari salah satu santri. Entah nitip makanan, minuman, atau barang keperluan sehari-hari.

Sampai di Masjid Al Barokah kami disambut oleh Pak Darman. Pak Darman merupakan ta’mir Masjid Al Barokah yang baik hati. Beliau berperawakan tidak tinggi. Bisa dikatakan pendek, tubuhnya gempal, dan khas Indonesia berkulit sawo matang. Pak Darman sangat antusias menyambut kami. Seperti biasa, ia menyambut kami dengan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Beliau orang yang sangat rajin, setiap hari beliau sampai dua kali menyapu dan mengepel Masjid Al Barokah. Setiap saat beliau standby di sekitar masjid. Jika ada sampah, beliau dengan cekatan memungutnya. Jika ada lantai basah, akibat terkena sisa- sisa air wudu dari kaki jamaah, beliau langsung mengambil pel. Mengeringkan lantai masjid agar tidak licin.

Kami menuju selasar masjid sebelah kanan. Pak Darman sudah menyiapkan karpet tempat kami khataman. Di tengah karpet sudah disediakan jajanan dan air mineral. Di atas meja juga sudah ada sepasang mikrofon. Kami memang mengkhatamkan Al Quran dengan pengeras suara. Kami yakin, bahwa tidak ada satu manusiapun yang sehat akalnya akan merasa terganggu dengan lantunan ayat-ayat Tuhan ini. Bahkan, kami juga percaya bahwa tumbuhan dan binatang-binatang akan merasa bahagia jika mendengar ayat-ayat Al Quran yang sedang dibacakan.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Teman-teman, sebelum kita mulai khataman, mari kita membaca surat Al Fatihah terlebih dahulu,” Kang Fadli memulai majlis dengan sangat khusyuk. “Karena kita berempat, maka aku akan membagi jumlah juz yang harus teman-teman baca. Kang Mushlih juz 1-7. Kang Azmi juz 8 – 15. Kang Ilham juz 16 –22. Aku akan baca juz 23 – 30. Gimana? Setuju?” tanya Kang Fadli. “Siap, Komandan!” jawab kami hampir serempak.

Ayat demi ayat Al Quran kami baca dengan tartil. Kami nikmati setiap huruf yang keluar dari mulut kami. Bahkan, Kang Azmi, sering kali memejamkan mata ketika ia membaca Al Quran. Aku tau, inilah yang menjadi kenikmatan kami sebagai penghafal Al Quran. Bahkan, di dalam Al Quran sudah jelas ayat yang menyuruh kita bahwa jika membaca Al Quran harus dengan tartil.

Lebih dari pukul 15.00 WIB kami baru menyelesaikan 30 juz. Kami berpamitan dengan Pak Darman. Kami mengucapkan terima kasih tak terkira karena tadi jajanan banyak sekali. Bahkan, jajanan yang masih ada di piring, dimasukkan ke plastik oleh Pak Darman, dan dibawakan kepada kami. Katanya untuk teman-teman yang di dalam pondok. Kami tidak bisa menolak ini. Kami tahu, di pesantren jajanan ini bisa membuat teman-teman berjingkrak kegirangan. Mereka akan berebutan jajanan ini. Kami memegang teguh nasihat para sesepuh “jangan pernah sisakan makanan jika tidak ingin ayam di rumah mati”.

Kami berempat keluar dari Masjid Al Barokah. Namun, aku menyeret Kang Fadli untuk menemaniku ke warung kelontong di sebelah masjid. Warung milik Mbah Yem. Mbah Yem mempunyai toko kelontong kecil namun lengkap. Mbah Yem menjaga toko seorang diri. Suami Mbah Yem sudah meninggal lama sekali. Anak-anak Mbah Yem juga tidak serumah dengan beliau. Kata beliau, ada anaknya yang merantau ke Jakarta. Ada pula yang sudah beristri dan menetap dengan mertuanya.

Namun, Mbah Yem tidak pernah terlihat sedih. Mbah Yem orang yang enerjik. Mbah Yem suka sekali ketika ada santri yang membeli barang kebutuhan sehari-hari di warung kelontongnya. Mbah Yem juga selalu mengucapkan terima kasih. Bahkan, tidak jarang Mbah Yem malah meminta doa dari kami.

“Nang, doake Mbah yo. Mbah sehat terus. Biar Mbah bisa beribadah terus,” begitu kata Mbah Yem dengan suara yang khas orang tua.

Toko Mbah Yem dicat warna hijau. Di depan warung terdapat kursi panjang yang terbuat dari bambu. Kami sering menyebutnya lincak. Di bagian depan warung Mbah Yem terdapat etalase kaca yang tidak begitu besar. Etalase ini jika kuperhatikan hanya memiliki panjang 1,5 meter, lebarnya sekitar 40 cm, dan tingginya 1 meter. Namun, di dalam etalase ini penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun cuci piring, pasta gigi, bahkan rokok.

“Assalamualaikum,” ucapku di depan tokonya.

“Waalaikumsalam,” jawab Mbah Yem. “Kok lama tidak kelihatan, Nang?” Sudah lupa to sama Mbah?” kata Mbah Yem.

“Tidak, Mbah. Memang baru kali ini saya dapat jatah di Masjid Al Barokah. Sekalian pulangnya beli sandal,” jawabku.

“Sandal apa, Nang?” tanya Mbah Yem melanjutkan.

“Swallow hijau, Mbah. Yang itu,” sambil menunjuk sandal jepit yang tergantung di atas.

Mbah Yem mengambilkan sandal yang aku maksudkan. Mbah Yem menaruh sandal itu di atas etalase. Mbah Yem tiba-tiba menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari sesuatu. Aku bertanya harga sandal juga Mbah Yem diam saja.

“Hemmm.. ketemu,” kata Mbah Yem mengagetkan kami. “Apa to, Mbah?” tang Kang Fadli.

“Ini hlo. Plastik,” Mbah Yem memasukkan sandal swallow ke dalam kresek warna hitam yang baru didapatkan.

“Oalah.. Mbah, tidak perlu diplastiki. Ini saya sudah ada plastik,” jawabku.

“Berapa harga sandalnya, Mbah?” tiba-tiba Kang Fadli menyahut dan langsung memberikan uang kepada Mbah Yem. Tepat setelah uang diterima Mbah Yem, Kang Fadli mengucap salam kepada Mbah Yem dan menyeret tanganku keluar dari warung Mbah Yem.

“Ada apa si, Kang? Sakit tanganku kau pegang begini!” aku protes kepada Kang Fadli.

“Dasar tak punya rasa kepekaan yang tinggi! Kamu liat tidak wajah Mbah Yem ketika kamu bilang tidak perlu dikasih plastik kresek? Liat tidak kamu jika Mbah Yem tadi mencari kresek agak kebingungan? Sadar tidak kalo kamu tadi taya harga, tetapi tidak dijawab Mbah Yem ketika Mbah Yem nyari kresek itu? Mbah Yem itu kepingin memberikan kita plastik itu untuk tempat sandalmu. Dia sudah niatkan agar kita mau menerima sendal yang diwadahi kresek itu. Kok malah kamu bilang ndak mau. Makanya kamu tadi langsung kutarik. Besok lagi, kamu harus lebih bisa peka terhadap sekitarmu!” Kang Fadli memarahiku.

Seketika aku terdiam. Kang Fadli menamparku dengan kata-katanya. Aku merenung melihat kejauhan. Aku liat rumput di lapangan yang seakan-akan menasihatiku agar meresapi apa yang disampaikan Kang Fadli.

Aku minta maaf Mbah Yem.

Saat aku ada keluar pondok, aku dititipi oleh temanku (sebut saja Kang Sambo) sejumlah uang untuk membeli sepasang sandal swallow.

Waktu itu aku bersama Kang Ilham yang kami sama-sama ada keluar pondok. Aku meminta Kang Ilham menemaniku mencari toko yang menjual sandal swallow. Sampailah kami di sebuah toko kelontong. Pemilik toko kelontong ini seorang wanita tua. Aku segera menanykan kepada wanita itu. Setelah membeli swallow, pemilik warung itu menawarkan “Diplastiki nopo boten?”

Aku langsung menjawab, “Boten usah, Bu.”

Sepulang dari sana Kang Ilham nyeletuk padaku, “Kamu gimana sih, Mus” “Bagaimana apanya?” tanyaku balik.

“Kenapa tadi tidak kau terima saja plastik itu?” “Tidak usah. Aku masih bisa membawanya.”

“Padahal, asal kau tahu, Ibu tadi sudah repot mengambilkan plastiknya padamu. Eh, malah kamu tolak. Kamu tidak menghargai ibu itu namanya. “

“Benarkah?”

“Ya iyalah. Coba aku diposisi kau. Aku akan mengatakan ‘nggih, Bu. Boten nopo-nopo’ sebagai bentuk menghargai karena sudah diambilkan plastik. Bukan ‘kok malah langsung menolak.”

Deg! Langsung kena mental aku. Aku hanya diam tak menjawab. Membiarkan Kang Ilham melanjutkan perkataannya.

“Belajar menghargai orang, Mus. Coba kau jadi ibu tadi. Bagaimana perasaannya. Pasti kecewa.”

Aku hanya menunduk termenung. Benar juga apa yang dikatakan Kang Ilham padaku. Diriku memang salah karena tidak menghargai orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun