Lima tahun berpisah, kini disatukan kembali. Hal ini terjadi pada Kementerian Pendidikan dan kebudayaan yang kembali memegang hak penuh atau kekuasaan atas pendidikan tinggi (DIKTI), yang sebelumnya berada dibawah kementerian RISTEK-DIKTI.Â
Seperti yang diketahui bahwa Kementerian Ristek-dikti kini berubah menjadi Kementerian Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional yang kini tidak mengurusi tentang kampus lagi, dan hanya berfokus pada riset dan pengembangan.Â
Pemisahan kedua jenjang pendidikan tersebut awalnya dilakukan untuk mendukung pengalokasian dana agar lebih terkelola dengan baik, kini dengan alasan yang sama kedua tingkat pendidikan tersebut disatukan kembali.
Kembali hadirnya kampus kedalam Kemendikbud dengan Menteri baru Nadiem Makarim yang seperti diketahui memiliki pendidikan yang baik dari kampus terbaik diluar negeri, namun sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam bidang mengelola pendidikan.
Ini adalah dua hal yang berbeda. Apalagi harus menjadi penanggung jawab utama masalah pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sampai saat ini belum merata, dari data UNESCO pada tahun 2013 melalui publikasinya Indonesia berada di peringkat 121 dari 185 Negara. Suara-suara pesimistis atas menteri baru ini mulai dibawa oleh angin diseluruh penjuru Indonesia. Â
Mari kita melihat data-data statistik pendidikan pada tahun 2017 mengenai potret pendidikan di Indonesia, yang pertama adalah angka putus sekolah menurut daerah tempat tinggal, jenis kelamin dan jenjang pendidikan pada tahun 2017.Â
Di perdesaan pada jenjang pendidikan SMA/Sederajat angka putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi adalah sebesar 4,29% dan diperkotaan 2,65%, sehingga dapat diidentifikasi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin tinggi kemungkinan anak yang tidak bersekolah, sementara itu persentase anak laki-laki yang tidak bersekolah lebih besar dibandingkan dengan perempuan.Â
Data kedua, adalah persentase anak tidak bersekolah menurut daerah tempat tinggal, sebesar 33,91% di daerah perdesaan dan 23,75% di perkotaan yang merujuk pada kelompok umur 16-18 tahun, seperti yang diketahui rentang umur tersebut adalah usia sekolah pada jenjang pendidikan SMA/Sederajat.Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu indikator seseorang tidak melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi adalah karena masalah ekonomi. Semakin paradoks bahwa pada kenyataannya, wajib pendidikan 12 tahun seperti tidak terlihat efeknya karena masih ada anak tidak bersekolah hingga kelompok umur SMA/Sederajat.Â
Masih banyak data-data lain yang belum dapat disampaikan, namun secara keseluruhan potret pendidikan di Indonesia masih banyak mengalami kendala, terutama perihal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Penyatuan kembali keseluruhan jenjang pendidikan pada Kementerian yang sama memang tidak menimbulkan kendala teknis secara khusus, kemungkinan hanya ada banyak perubahan-perubahan nomenklatur yang harus dilakukan.Â
Tugas Menteri baru mungkin yang akan mengalami banyak kendala seperti suara-suara pesimis yang datang, mengelola pendidikan bukan seperti mengelola aplikasi digital seperti GoJek. Pada aplikasi digital GoJek, tidak ada yang akan terganggu jika atau merasa dirugikan ketika harga atau biaya ojek naik, karena itu hak preogratif pembuat aplikasi.Â
Semua kebijakan diatur oleh pemilik aplikasi, kenaikan harga atau bahkan turun tidak ada yang begitu peduli, karena costumer dapat memilih jasa yang lain. Namun dalam dunia pendidikan, sekali mengeluarkan kebijakan, maka kebijikan tersebut harus dipakai dalam waktu lama, atau minimal selama Menteri tersebut memegang jabatan.
Kualitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah karena masalah sumber daya manusianya sendiri menjadi tantangan paling besar, digitalisasi pendidikan seperti aplikasi Ruang Guru yang saat ini sedang hits karena dipandu oleh guru/mentor yang ahli dibidangnya dan mudah dipahami materi yang dibawakan, akan tetapi hanya dapat dijangkau oleh masyarakat ekonomi kelas menengah keatas.Â
Ini adalah sebuah masalah, bagaimana suatu kapitalisasi pendidikan sangat jelas terlihat, yang kaya semakin pintar dan yang miskin tidak memiliki perkembangan yang signifikan, padahal jelas di undang-undang telah disebutkan pada pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Artinya pendidikan yang sama dan merata kualitasnya.Â
Berikutnya adalah masalah sistem zonasi, menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang membidangi pendidikan, bahwa selama dua tahun ada sembilan masalah utama yang mempengaruhi penerapan zonasi sekolah.Â
Beberapa di antaranya yang paling krusial adalah penyebaran atas sekolah negeri yang tidak sesuai harapan karena tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan, padahal banyak daerah yang pembagian zonasi pada awalnya, di dasarkan pada wilayah administrasi kecamatan. Lalu, masih banyak masalah-masalah lain yang harus dihadapi oleh Menteri baru ini.
Kata orang, setiap penyakit pasti ada obatnya, setiap masalah pasti ada solusinya. Banyak anak banyak rejeki, banyak kepala banyak ide yang bisa muncul. Bapak menteri yang baru harus menunjuk orang-orang terbaik disekitarnya, tidak perlu menambah kebijakan-kebijakan baru untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Menteri, karena satu Indonesia sudah mengerti bahwa beliau itu adalah seorang Menteri.Â
Tinggal yang dilakukan adalah menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada. Lalu, apa yang akan dilakukan Menteri baru ini? memodifikasi Full day school? Indonesia mengajar? Atau ada yang lainnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H