Saat ini harga minyak tanah per 1 liter hampir setara dengan harga 2 liter premium bersubsidi. Saat program pemerintah mengenai gas LPG sudah berjalan hampir 20 tahun, program pemerintah selanjutnya adalah subtitusi gas LPG  ke gas kota, karena konsumsi energi terbesar kedua adalah rumah tangga, komposisi subsidi di APBN 2018 untuk gas LPG 3kg sebesar 24% atau sekitar 37.559,5 milliar rupiah  hal ini lagi-lagi karena kebiasaan penggunaan bahan bakar gas LPG yang tidak diukur penggunaan atau pemakaiannya sehingga kuota ditingkatkan. Apakah hal ini menyebabkan kepanikan dan kekhawatiran lagi?Â
Jawabannya tentu saja Ya. Pertama, penyaluran gas kota hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu di Indonesia. Kedua, khawatir akan penyaluran LPG bersubsidi sehingga akan terjadi kelangkaan pada produknya. Hal ini berlaku juga untuk bahan bakar transportasi, dibeberapa daerah ditemukan peredaran bahan bakar premium bersubsidi terbatas jumlahnya.Â
Jika dianalisa lebih dalam, apakah ini merupakan strategi dari pemerintah untuk membatasi tersebut dipasaran? Mungkinkah pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menanamkan budaya/kebiasaan dalam penggunaan energi? Atau ada hal yang lain?
Subtitusi bahan bakar memasak yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya tidak perlu ditanggapi dengan kepanikan. Penggunaan kembali kayu bakar atau arang untuk memasak perlu dibudayakan lagi diperkotaan, jika sulit untuk mendapatkan kayu bakar, maka dapat menggunakan arang briket atau pellet. Penggunaan kompor biomassa perlu dibudayakan juga, dijadikan alternatif bila sulit mendapatkan gas LPG.
Banyak jenis kompor biomassa yang telah beredar, kompor biomassa tersebut dibuat berdasarkan hasil studi riset, sehingga api yang dihasilkan sempurna untuk memasak, gas emisi sedikit dan dapat menggunakan jenis bahan bakar apapun yang dapat terbakar, namun lebih maksimal jika menggunakan briket atau pellet.Â
Selama ini produk arang briket dan pellet yang diproduksi di Indonesia lebih banyak di ekspor ke luar negeri, produk-produk tersebut digunakan untuk bahan bakar industri, pembangkit tenaga listrik dan juga digunakan untuk memasak. Apabila produk tersebut memiliki pasar diluar negeri, lalu kenapa kita tidak menggunakannya juga? Jawabannya adalah, kembali pada kebiasaan, karena kebanyakan masyarakat kita apa lagi yang tinggal di kota tidak terbiasa menggunakannya.Â
Sehingga masalah ini merupakan pekerjaan rumah yang utama bagi pemerintah, perlunya mengedukasi dan memberi contoh ke masyarakat dalam penggunaan energi non konvensional ini sebagai bahan bakar memasak. Mungkin pemerintah lupa bahwa yang perlu dipahami adalah, contoh bukanlah faktor utama yang dapat mempengaruhi orang lain, tapi contoh adalah satu-satunya faktor untuk dapat mempengaruhi. Bagaimana kebiasaan penggunaan energi kita?
Syaiful Mansyur
founder charcoalcenter.org    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H