Bagaimana pola penggunaan energi di tahun 2018, tahun yang dikenal dengan sebutan tahun anjing tanah ini didominasi oleh unsur elemen bumi, yang menunjukkan pentingnya nilai keadilan dan kesetaraan.Â
Penggunaan energi di indonesia merupakan salah satu yang kompleks jika kita mengamati bentuk penyaluran enegi tersebut. salahsatunya adalah energi untuk memasak, gas LPG 3kg bersubdisi sedang menjadi tren untuk membuat dapur terus mengepul. Â Energi merupakan salah satu sumber utama yang mempengaruhi kehidupan manusia, tanpa energi tidak dapat dibayangkan bagaimana proses ekonomi dapat berjalan.
Konsumsi energi rumah tangga pada tahun 2016 (Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia, 2017) pada jenis biomassa memiliki volume 114.546 ribu ton, minyak tanah 505.259 kiloliter dan LPG 6,37 juta ton. Bagaimana dengan posisi penggunaan briket, arang atau kayu bakar? Menurut penelitian yang dilakukan oleh penulis (Multiple Regression Analysis on Influence Factors of Household Cooking Fuels in Indonesia, padaConserve: Journal of Energy and Environmental Studies), bahwa penggunaan LPG di Indonesia paling banyak digunakan di pulau Jawa dan Bali dengan total 20173 Rumah Tangga. Sedangkan untuk penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak paling banyak digunakan di Papua yang memiliki luas hutan dan perairan sebesar 37124 meter per segi. Sehingga penggunaan kayu bakar dan gas LPG berpengaruh terhadap jumlah luas hutan dan perairan.
Energi primer yang saat ini dibutuhkan terbagi menjadi dua jenis, proses energi yang menghasilkan panas dan proses energi yang menghasilkan lisrik. Energi yang menghasilkan panas dapat diperoleh dari pembakaran suatu objek yang memang memiliki sifat-sifat senyawa organik dengan ketentuan ada elemen-elemen pendukung terjadinya pembakaran tersebut (segitiga api: panas, bahan bakar dan oksigen), panas juga terjadi karena adanya gesekan antara dua benda yang saling berkaitan. Sedangkan listrik diperoleh dari proses konversi energi, misalnya konversi dari panas matahari menjadi listrik atau angin/bayu menjadi listrik.
Indonesia memiliki sumber energi utama dari fosil, dan saat ini hanya sekitar 16% yang berasal dari energi non fosil atau biasa disebut dengan energi terbarukan. Kapasitas energi fosil yang diolah di negara ini tidak sebanding dengan penggunaan energi itu sendiri, baik itu untuk transportasi, listrik industri maupun sebagai bahan bakar memasak oleh masyarakat. Banyaknya industri yang menggunakan gas sebagai faktor produksinya harus gulung tikar karena terkendala biaya produksi yang tinggi. Sehingga hal ini berefek pada pemerintah yang kehilangan sumber pendapatan dari pajak, serta terjadinya pengangguran. Apa yang terjadi sebenarnya, adalah salah satunya berkaitan dengan kebiasaaan. Penggunaan energi yang tidak diukur pemakaiannya secara benar akan mengakibatkan energi yang digunakan akan terbuang sia-sia. Cara menggunakan energi berkaitan langsung dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, kebiasaan ini diturunkan dari karakter, dan karakter merupakan bentuk lain dari budaya yang diturunkan turun temurun. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dua dekade yang lalu, disaat harga bahan bakar masih murah, pengukuran atas penggunaan bahan bakar tidak pernah dilakukan, sehingga menjadi kebiasaan sampai saat ini. Pada tahun 2002, saat pemerintah melakukan subtitusi minyak tanah ke gas LPG, ada kepanikan dimasyarakat yang takut dan khawatir karena adanya kabar simpang siur mengenai gas LPG yang sewaktu-waktu bisa meledak. Namun hal ini harus dipaksakan, subtitusi dari minyak tanah ke gas LPG tidak dapat dihindari karena minyak tanah merupakan salah satu produk turunan dari minyak bumi yang berasal dari energi fosil yang kini terbatas jumlah produksinya dan memberatkan pemerintah untuk melakukan subsidi atas bahan bakar tersebut. Saat ini harga minyak tanah per 1 liter hampir setara dengan harga 2 liter premium bersubsidi.Â
Saat program pemerintah mengenai gas LPG sudah berjalan hampir 20 tahun, program pemerintah selanjutnya adalah subtitusi gas LPG  ke gas kota, karena konsumsi energi terbesar kedua adalah rumah tangga, komposisi subsidi di APBN 2018 untuk gas LPG 3kg sebesar 24% atau sekitar 37.559,5 milliar rupiah  hal ini lagi-lagi karena kebiasaan penggunaan bahan bakar gas LPG yang tidak diukur penggunaan atau pemakaiannya sehingga kuota ditingkatkan. Apakah hal ini menyebabkan kepanikan dan kekhawatiran lagi? Jawabannya tentu saja Ya. Pertama, penyaluran gas kota hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu di Indonesia.Â
Kedua, khawatir akan penyaluran LPG bersubsidi sehingga akan terjadi kelangkaan pada produknya. Hal ini berlaku juga untuk bahan bakar transportasi, dibeberapa daerah ditemukan peredaran bahan bakar premium bersubsidi terbatas jumlahnya. Jika dianalisa lebih dalam, apakah ini merupakan strategi dari pemerintah untuk membatasi tersebut dipasaran? Mungkinkah pemerintah memiliki program yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menanamkan budaya/kebiasaan dalam penggunaan energi? Atau ada hal yang lain?
Subtitusi bahan bakar memasak yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya tidak perlu ditanggapi dengan kepanikan. Penggunaan kembali kayu bakar atau arang untuk memasak perlu dibudayakan lagi diperkotaan, jika sulit untuk mendapatkan kayu bakar, maka dapat menggunakan arang briket atau pellet.Â
Penggunaan kompor biomassa perlu dibudayakan juga, dijadikan alternatif bila sulit mendapatkan gas LPG. Banyak jenis kompor biomassa yang telah beredar, kompor biomassa tersebut dibuat berdasarkan hasil studi riset, sehingga api yang dihasilkan sempurna untuk memasak, gas emisi sedikit dan dapat menggunakan jenis bahan bakar apapun yang dapat terbakar, namun lebih maksimal jika menggunakan briket atau pellet. Selama ini produk arang briket dan pellet yang diproduksi di Indonesia lebih banyak di ekspor ke luar negeri, produk-produk tersebut digunakan untuk bahan bakar industri, pembangkit tenaga listrik dan juga digunakan untuk memasak.
 Apabila produk tersebut memiliki pasar diluar negeri, lalu kenapa kita tidak menggunakannya juga? Jawabannya adalah, kembali pada kebiasaan, karena kebanyakan masyarakat kita apa lagi yang tinggal di kota tidak terbiasa menggunakannya. Sehingga masalah ini merupakan pekerjaan rumah yang utama bagi pemerintah, perlunya mengedukasi dan memberi contoh ke masyarakat dalam penggunaan energi non konvensional ini sebagai bahan bakar memasak. Mungkin pemerintah lupa bahwa yang perlu dipahami adalah, contoh bukanlah faktor utama yang dapat mempengaruhi orang lain, tapi contoh adalah satu-satunya faktor untuk dapat mempengaruhi. Bagaimana kebiasaan penggunaan energi kita?
Syaiful Mansyur
founder charcoalcenter.org    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H