Protes kelompok buruh tersebut disambut gayung hangat dari pemerintah dengan penerbitan peraturan agar perusahaan bersedia memberikan THR pada para pekerjanya.Â
Sejak saat itulah istilah THR populer di Indonesia. Kendati demikian, pada realitanya kebijakan resmi mengenai THR baru resmi dikeluarkan setelah sekian tahun selanjutnya ketika rezim telah berganti.
Aturan tersebut terdapat pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan saat era Orde Baru. Adanya peraturan ini menguatkan payung hukum para pekerja mengenai kesejahteraannya dengan hal memperoleh THR tersebut.Â
Peraturan tersebut disempurnakan kembali di saat masa Reformasi, lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang salah satunya berisi mengatur masalah THR.
Dikutip dari kompas.com, peraturan lain yang mengatur mengenai THR ini terdapat pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, yang wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan dengan berapa nominal minimal yang harus dibayarkan.
THR Pemicu Pembentukan Mental "Pengemis" Pada Anak
Tradisi THR yang pada awalnya merupakan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk menyejahterakan para pekerja akhirnya diperluas cakupannya hingga anak-anak pun mendapatkannya. Biasanya saudara dan kerabat dekat yang sudah dewasa dan bekerja akan memberikan pada anak-anak, sepupu, ataupun keponakan.Â
Tradisi THR ini pada dasarnya mengajarkan pada anak-anak arti dan bukti nyata dari saling berbagi. Tetapi ada saja si momen Idul Fitri dimana para orang tua justru mengajarkan anak-anak menjadi pribadi yang suka "meminta-minta" Hadiah lebaran atau THR.Â
Menjelang lebaran atau pada hari raya Idul Fitri seringkali ditemui teman, saudara ataupun kerabat yang berkata seperti ini:
"Tante ponakannya sudah jauh-jauh datang, masa belum dikasih THR."
Atau seperti ini