"Terima kasih Tuhan, hari ini Engkau baik”. Demikian kalimat di salah satu facebook. Entah, maksud apa yang menggelayut di hati si empunya facebook itu. Mungkin saja bahwa dia betul- betul sedang bersyukur sehingga mengungkapkannya dalam untaian kata terimakasih, atau bisa juga dia sedang menyimpan maksud lain dari kalimat yang sepertinya memang bermakna ganda. Tak meleset, satu dari temannya lantas me-nimpali kalimat tersebut dengan “teror” berupa untaian kata yang teramu menjadi kalimat penuh tekanan gugat. Kira-kira seperti inilah kalimat tersebut “Eh, Tuhan itu selalu baik, setiap hari, kemarin, hari ini dan nanti, tetap baik”. Ck ck ck,…merasa rasa syukurnya disalah-artikan, si empunya kalimat multi-makna tadi lantas membela diri, “Loh, siapa yang bilang Tuhan tidak baik? Emang kalo saya bilang Tuhan hari ini baik, otomatis saya sedang meragukan kebaikan Tuhan di hari kemarin atau nanti?” Betul juga ya pembelaan si multi-tafsir tadi. Memang kalimatnya tidak sedang meragukan kebaikan Tuhan. Bahkan kalimatnya justru berisi ucapan syukur terhadap kebaikan Tuhan, tapi mengapa kawannya lantas menimpali dengan memberi justifikasi bahwa dia sedang meragu-kan kebaikan Tuhan di hari kemarin atau nanti? Terdengar janggal, bahkan berbalik sama sekali. Yang satu bermaksud mengungkapkan rasa syukurnya, dan yang lain justru meragukan ucapan syukurnya, gara-gara satu kalimat yang notabene sama. Meski keduanya menyikapi dengan cara berbeda. Di negeri ini persoalan bahasa memang sedikit lebih rumit (baca: aneh). Orang menafsirkan satu kalimat tertentu berdasarkan tafsiran umum yang ada, tanpa menggali maksud si empunya kalimat. Bahasa yang juga bagian dari simbol itu kemudian diberi arti dan dibatasi pada artian yang sepertinya sudah ditentukan sedemikian rupa, tanpa menggali lebih dalam lagi arti simbol yang dipakai orang lain. Padahal simbol itu merupakan bagian dari semburat rupa dan ekspresi yang tentunya tidak satu, tapi multi. Kembali ke kalimat tadi, orang lebih menganggap kalimat “aneh” tadi sebagai ekspresi yang justru mengecilkan atau menafikan kebaikan Tuhan terhadapnya di hari kemarin. Padahal belum tentu demikian. Mungkin si empunya kalimat adalah seorang yang serius memikirkan kata dan kalimat, jadi sebelum menggunakannya dia sudah mengerti betul maksud apa di balik kalimat yang akan digunakannya. Tak heran dia berani mendobrak tafsiran umum terhadap kata yang sama. Menariknya lagi menyimak argumen yang dituliskan berikutnya memberi penegasan setelah membela diri terhadap justifikasi kawan-nya. Yakni menjelaskan bagaimana hidupnya selalu berorientasi kekinian, dan selalu aktual. Karena itulah ia berani menggunakan kalimat tersebut dengan maksud bahwa hari ini Tuhan betul-betul baik, sembari berharap kebaikan Tuhan terus mengikuti jalan hidupnya. Tidak ada yang salah bukan? Dalam bermasyarakat, tentu ada berbagai macam kesamaan yang menjadi pengikat orang di dalam komunitasnya. Satu di antaranya adalah beragam tafsir umum terhadap berbagai fenomena, termasuk kalimat dan kata-kata. Namun demikian tak selamanya arti dan tafsir umum tadi selalu mengarah kepada sesuatu yang benar dan tepat. Karena itulah kita pun tetap perlu menggunakan pisau bedah nurani, dan rasio dalam pimpinan Sang Kebenaran itu, agar dapat betul-betul memfiltrasi. Dengan demikian kita tidak melulu mengalir terbawa sebuah aliran deras bentukan komunitas, tapi juga berani melawan arus, kalau itu memang perlu. Slawi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H