Menurut buku karya Peter Boomgaard 'Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600 -1950', harimau dan manusia saling hidup berdampingan satu sama lain. Hormat pada Harimau sudah berkembang lama di tanah Sumatera.Â
Kepecayaan dan cerita ini sudah lahir secara turun-temurun. Harimau di Sumatera Utara dihormati dan dipanggil Ompung yang memili arti kakek dalam bahasa batak. Sebagai bentuk penghormatan kepada yang dituakan.
Budaya leluhur-penghormatan ini diamini oleh masyarakat setempat sehingga konflik antara manusia dan harimau tidak terjadi. Seperti ketika meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki hutan atau membuka ladang kepada Babiat Sitelpang. Sebutan itu ditujukan sebagai legenda bagi orang batak yang bermakna harimau pincang sebagai penjaga ibu serta anak yang diasingkan dalam hutan.
Di wilayah Jambi, penghormatan harimau bisa ditemui sebagai budaya masyarakat Kerinci. Mereka percaya kalau sang 'rimau' tidak akan mengganggu jika masyarakat bisa berperilaku sopan saat memasuki hutan.Â
Namun, saat ditemukan harimau mati, masyarakat akan menggelar tarian yang disebut 'Ngagah Harimau'. Tarian tersebut bermakna 'menghibur roh harimau' sebagai bentuk ritual menjaga hubungan baik antara masyarakat dengan harimau.
Lain lagi di wilayah Minangkabau yang menghormati Harimau dengan memanggil hewan tersebut 'Datuak atau Inyiak'. Hal ini yang akhirnya menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri yaitu silek (silat) harimau.Â
Senjata bela diri yang digunakan ialah 'kurambik', pisau kecil seperti cakar harimau. Sementara bagi masyarakat Bengkulu, ketika ada harimau yang menampakkan diri dipercaya bahwa kondisi masyarakat sedang kurang baik. Juga ketika harimau memakan hewan ternak yang dipercaya sebagai bentuk peringatan bagi warga Bengkulu.
Sebagaimana dijabarkan, budaya leluhur dalam bentuk penghormatan terhadap harimau ternyata pernah terjadi dalam kepercayaan masyarakat kita. Konflik antar manusia dan harimau tidak terjadi jika manusia ikut sopan dan hormat agar bisa hidup berdampingan. Namun masyarakat kota dihilangkan kesadarannya dan dibangun persepsinya bahwa Harimau adalah binatang buas dan persoalan profit manusia diatas persoalan habitat harimau.
Kita sendiri pun yang sebenarnya memperkecil dan menjadikan sedikit wilayah jelajah harimau. Ketika tempat berburunya kecil dan rusak, maka mangsanya juga tidak ada dan akhirnya masuk pemukiman masyarakat. Musik yang dilemparkan Tuan Tigabelas pun dapat menjadi wacana yang mengembangkan cara pandang pendengarnya. Selain menikmati karya Tuan Tigabelas, kita sekaligus diajak untuk diberi kesadaran akan populasi Harimau Sumatera dan hubungan kita sebagai manusia dengan satwa tersebut.
Mari kita bangun hubungan manusia dengan sang raja rimba!