Dalam dunia kepenulisan (sastra) ada penulis yang yang memakai gaya bahasa renyah,sarkasme,satire,anekdot dan sebagainya,yang biasanya berisi buah pemikiran si penulis.ada yang menulis jurnal,skripsi,tesis (serius),ada juga penulis yang menulis karya sastra esai,puisi,prosa,opini (bisa berat,bisa ringan) tergantung konten apa yang ingin disampaikan.
Dunia sastra kita saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat perkembangannya,di satu sisi memberi kontribusi besar terhadap politik,sosial,sains,agama dan berbagai disiplin ilmu lainnya ( meski bukan kebudayaan indonesia).
Di sisi lain dunia sastra kita mengalami gesekan,kekacauan,peperangan,kekerdilan,kemunafikan,plin-plan dan paradok-paradok lainnya.
Dunia sastra menurut hemat penulis harus dimaknai sebagai ruang dialog,karena proses dialog itu sendiri tidak harus di forum-forum,seminar,kuliah,atraksi panggung dan aksesoris lainnya.dialog dalam karya sastra harus dapat menjaga harmoni dan dis harmoni dalam pencapaian sebuah kebudayaan.
Penulis sering menjumpai tulisan yang sangat kerdil maknanya,di mana pemikirannya sangat jauh dari kenyataan yang sedang berlansung (paradok).penulis sangat mengerti kenapa tulisan seseorang yang di bumbui dengan kritik,sarkasme,satire yang disampaikan pembacanya selalu di tanggapi penulisnya dengan gaya bahasa menang sendiri,memakai alibi,opini diri sendiri,menuduh pihak lain dan merasa apa yang ingin disampaikan selalu benar menurut versinya sendiri.tentunya hal ini tidak bijak karena pengetahuan juga harus diberi penjelasan dengan pengetahuan.
Penulis sendiri termasuk salah satu yang sering mengkritik karya sastra dengan satire,sarkasme,cemohan apabila memang benar-benar tulisan itu menabrak sejarah.
Tulisan yang berkarakter harus memiliki alasan yang kuat argumennya,alur sejarah yang lengkap dan khazanah kebudayaan yang mumpuni,kalau tidak mempunyai itu semua jangan harap ada harmonisasi dalam iramanya,lagunya apalagi mau membangun sebuah orkestra baru.
Penulis menyerang penulis lain adalah dalam rangka menyempurnakan yang keliru dan bukan di artikan LIKE and DISLIKE dan sebagai bumbu (pelengkap) terhadap tulisan nya sendiri.
Apabila penulis yang dikritik mempunyai "sense" tidak ada dikotomi antra guru-murid,pandai-bodoh,benar-salah,dibayar-tidak dibayar,positif-negatif,yin-yang,harmonisasi-disharmonisasi,fals-orkestra pasti akan melakukan upaya bahwa pemikiran harus dijawab dengan pemikiran,fals harus di pandu dengan orkestra,anomali harus di normalisasi dengan harmoni.
Penulis punya suatu ide bagaimana kalau upaya perubahan,kemajuan,harmonisasi,tidak ada DISLIKE lebih baik dijalankan dengan perbuatan,karena penulis berkeyakinan  manusia (khususnya indonesia)  tidak bisa dirubah dengan tulisan,dakwah,imbauan,ceramah,kuliah,pengajian,harmonisasi,orkestra.Manusaia indonesia hanya bisa dirubah dengan perbuatan seorang pemimpin.pemimpin yang bisa menunjukkan suara yang fals kepada pemain musiknya,pemimpin yang bisa membangun sebuah orkestra bagi ikon konsernya akan menjadi maestro pada zamannya,dan sudah otomatis akan menjadi agen perubahan manusia tanpa diminta dan syukur-syukur menjadi GEN marketing sebuah peradaban apabila memang menghendaki ingin berkarakter dalam dunia DNA.
Bagaimana mungkin menggaungkan suatu perubahan ketika perbuatannya sendiri tidak seperti apa yang ditulis atau banyak sekali tulisan-tulisan nya selalu menjadi paradok dalam semua segmen kehidupan,peradaban,fals,orkestra,dan harmonisasi itu sendiri
Salam Damai Sahabatku kau keliru menilai akuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H