Mohon tunggu...
Slamet Sofyan
Slamet Sofyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menaruh minat terhadap bidang psikologi dan isu kontemporer terkait psikologi. Saat ini aktif mengajar dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Renungan Perihal Kekerasan

3 Oktober 2012   04:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Remaja cikal bakal bangsa

Remaja tulang punggung bangsa

Remaja harapan bangsa

Miris rasanya nurani mendengar perihal tawuran di negeri tercinta ini yang telah menelan korban nyawa. Namun itulah kenyataan yang dirasakan bersama. Tawuran pelajar dari masa ke masa tetap saja menyisakan tanda tanya perihal langkah bijaksana menghapus perangai keras dan kasar ini.

Perilaku kekerasan tidak patut memperoleh toleransi di negeri ini. Kekerasan jika dibiarkan akan menularkan sarkasme-psikologis atau penindasan-fisik dan bahkan kekerasan menimbulkan korban jiwa. Siapa pun pemeran kekerasan di negeri ini pantaslah kiranya memperoleh ganjaran yang sepadan sekalipun pemerannya seorang pelajar.

Bentuk perangai kekerasan tak hanya dilakoni oleh pelajar pria-berupa tawuran anarkis-namun perangai kekerasan juga dilakoni oleh pelajar wanita. Sebut saja penganiayaan sekelompok remaja wanita terhadap rekannya, pelecehan kepada teman sekelas, dan  kekerasan verbal yang bisa kita saksikan di media cetak maupun elektronik. Nyatanya perilaku kekerasan merata menghinggapi para pelajar kita tanpa memandang jenis kelamin.  Ini merupakan fenomena yang pantas untuk ditelaah serta disikapi dengan cepat dan tanggap.

Sebuah Pendekatan

Berbicara tentang remaja-yang belakangan ini kerap menjadi sorotan di media massa nasional karena praktik perilaku kekerasan-menurut Erickson (salah satu tokoh psikologi) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Di sinilah remaja dihadapkan oleh berbagai persoalan psikologis yang harus mereka hadapi dan tuntaskan. Identitas diri dipahami sebagai identitas psikologis yang mesti dicari, ditemukan dan dilekatkan oleh remaja kepada dirinya. Identitas diri penting karena dipahami dan diyakini sebagai status sosial-psikologis.

Dalam perspektif psikologi remaja-selain proses pecarian identitas diri-remaja memiliki kecenderungan kuat untuk "hidup" berkelompok (peer group). Lazimnya dalam mencari identitas diri remaja bergaul, berkumpul dan bersosialisasi dengan satu atau beberapa kelompok yang diminati dan dirasa sesuai dengan dirinya.

Di sinilah titik mulanya remaja menemui dilema dalam menyerap identitas-psikologis melalui proses identifikasi kelompok. Diri-berkembang bilamana kelompok yang dijadikan panutan bersifat dan berkarakter positif-membangun sehingga efek yang diperoleh remaja adalah perihal yang baik dan bermanfaat. Namun sebaliknya diri-hancur bilamana kelompok yang dijadikan panutan berkarakter negatif-merusak.

Keberadaan sebuah kelompok bagi remaja ibarat sahabat karib yang begitu dekat dan akrab. Sebab menurut kaca mata remaja kelompoklah yang memberikan identitas-psikologis bagi mereka. Kelompoklah yang memberi andil dalam menghubungkan dunia subjektif remaja dengan realitas sosial yang majemuk dan beragam.

Agar dapat beradaptasi-pada sebuah realitas sosial yang majemuk dan beragam-remaja merasa perlu memiliki cara pandang dalam menafsir realitas sosial tersebut. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini remaja tidak segan-segan menyerap nilai-nilai kelompok sebagai ikhtiar untuk memiliki sebuah "ideologi" yang fungsinya sebagai teropong dalam memandang dan memaknai realitas sosial. Lalu yang menjadi masalah adalah apakah ideologi kelompok tersebut cocok bagi remaja bila disandingkan dengan perspektif moral-etika.

Sebuah Ikhtiar

Penanganan perilaku kekerasan pelajar hendaknya dilakukan oleh pihak sekolah secara masif, sistemik dan terorganisir. Perilaku kekerasan pelajar bukanlah fenomena lazimnya fenomena alam. Fenomena kekerasan pelajar mesti dipandang sebagai hal yang tabu untuk dilakukan oleh pelajar yang nyatanya memperoleh pendidikan moral dan intelektual di sebuah lembaga bernama sekolah.

Sekolah mesti menjadi contoh hidup dimana perilaku kekerasan dikelola, direduksi dan pada akhirnyanya dilenyapkan dari lingkungan pendidikan. Sekolah bukanlah rimba belantara yang menganut paham hukum rimba. Sekolah tempat suci menimba ilmu dan moral agar manusia Indonesia kuat intelektual dan moralnya.

Sekolah bisa melakonkan peran signifikan-upaya mengendalikan perangai destruktif pelajar-dengan menyediakan wadah-kreativitas-kelompok yang menampung dan menyalurkan aspirasi pelajar mulai dari yang lazim hingga yang "ekstrem" dengan menyusupkan unsur-unsur moral dan etika di dalamnya.

Sekolah mempunyai hak menciptakan wadah-kreativitas-kelompok yang baik dan bermanfaat bagi pelajar. Wadah-kreativitas itu dibina, dikontrol dan dijaga langsung oleh pihak sekolah untuk menggembleng kecerdasan moral-etika pelajar. Dan sekolah juga memiliki otoritas penuh untuk "menjebloskan" mereka ke dalam berbagai kegiatan yang memaksa pelajar menyantap nilai-nilai moral-etika. Ini salah satu langkah konkret pihak sekolah sebagai ikhtiar menanamkan nilai-nilai moral-etika guna mereduksi dan melenyapkan perangai kekerasan.

Langkah ini cukup relevan sebab arahan, bimbingan dan keinginan memiliki ideologi menjadi kebutuhan bagi pelajar. Hanya dibutuhkan sedikit kejelian guru pencari bakat untuk mengintip potensi di setiap ruang kelas agar energi pelajar terarah ke wadah-kreativitas-kelompok sehingga berubah menjadi aktivitas yang membawa dampak positif bagi pelajar dan pihak sekolah.

Fenomena kekerasan yang dilakukan di luar pagar sekolah adalah perihal tabu dan sepantasnya tidak perlu terjadi. Mengingat sekolah telah mengalirkan nilai-nilai moral dan etika sosial. Namun mengapa perihal kekerasan masih saja kerap terjadi? Apakah nilai-nilai moral-etika tidak ditancapkan kedalam hati dan benak para pelajar? Kenyataan tawuran pelajar merupakan pukulan serius bagi sekolah untuk me-muhasabah diri terkait ikhtiar penanaman nilai-nilai moral-etika.

Berharap dengan beribu asa, semoga tak ada lagi ibunda yang meneteskan air mata karena kehilangan putra-putri tercintanya dan tak perlu ada ibunda yang dengan rasa terpaksa mengantarkan putra-putri tercintanya ke balik jeruji penjara karena perilaku yang tak selayaknya. Kita semua merindukan pendidikan dengan perangai pelajar yang jernih akal budinya, kuat moralnya, dan ramah hatinya. Serta meyakini dan mengamini bahwa perilaku keras dan kasar adalah tabu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun