Mohon tunggu...
Slamet Tribianto
Slamet Tribianto Mohon Tunggu... Lainnya - Pegawai toko foto copy

Saya hobi : menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dunia Dalam Gengaman

12 September 2024   12:20 Diperbarui: 12 September 2024   12:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Di sudut sebuah rumah yang dulu dipenuhi tawa anak-anak, kini hanya terdengar suara-suara dari game online yang berasal dari handphone Anisa, sang istri. Pagi hingga malam, Anisa duduk di sofa, matanya terpaku pada layar kecil di tangannya, tanpa sedikit pun mempedulikan suami dan anak-anaknya.

Ardi, suaminya, mencoba berbicara, berharap bisa menarik perhatian Anisa dari dunia maya yang telah menguasainya. "Anisa, anak-anak butuh kamu. Makan malam belum siap, dan mereka sudah lapar," katanya dengan nada yang penuh keletihan.

Namun, Anisa hanya mendengus tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Kalau lapar, beli makanan di luar. Aku sedang sibuk, lagipula kamu harus bisa lebih mandiri. Masa hal kecil seperti ini saja tidak bisa kamu urus?" jawabnya dingin.

Ardi merasakan hatinya semakin hancur setiap kali Anisa meremehkannya. Dia bukanlah suami yang tidak peduli, tetapi segala upaya yang dilakukan untuk mendekati Anisa selalu berakhir dengan kegagalan. Anisa kini lebih memilih karakternya di dunia game daripada keluarganya sendiri.

Sementara itu, Dito, kakak Ardi, yang tinggal bersama mereka, merasakan beban yang semakin berat. Ia terpaksa mengambil alih tanggung jawab mengurus anak-anak Ardi dan Anisa. Dito selalu bangun lebih awal, mempersiapkan sarapan, memandikan mereka, dan mengantar mereka ke sekolah. Saat malam tiba, Dito masih harus menidurkan mereka dan memastikan pekerjaan rumah selesai.

Setiap kali Dito melihat Anisa, yang tak pernah beranjak dari sofa, ia merasakan kepedihan yang dalam. Bagaimana mungkin seorang ibu begitu tenggelam dalam dunia maya hingga lupa akan anak-anaknya? Dia juga melihat bagaimana Ardi semakin terpuruk, tak berdaya menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya lebih memilih game daripada keluarga.

Malam itu, Dito tak tahan lagi. Ia mendekati Anisa yang sedang asyik dengan game-nya dan berkata, "Anisa, sampai kapan kamu akan terus begini? Anak-anakmu merindukanmu, dan Ardi... dia butuh istrinya kembali. Dunia dalam handphone itu tidak nyata, tapi anak-anakmu dan suamimu adalah dunia nyata yang harusnya kamu cintai."

Anisa tidak menjawab. Tatapannya masih terpaku pada layar, seolah Dito hanyalah suara yang mengganggu fokusnya. Dito menghela napas panjang dan pergi ke kamar, membawa serta anak-anak yang sudah tertidur di pangkuannya.

Di kamar, Dito duduk termenung. Dia merasa menderita, bukan hanya karena harus menjaga anak-anak selama 24 jam, tapi juga karena melihat kehancuran perlahan-lahan dalam rumah tangga adiknya. Dia tahu bahwa jika ini terus berlanjut, bukan hanya Ardi yang akan kehilangan, tetapi juga anak-anak yang tidak akan pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang mereka butuhkan.

Ardi menyusul Dito ke kamar. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Dit. Anisa... dia bukan lagi istri yang aku kenal dulu," kata Ardi dengan suara serak.

Dito hanya bisa menepuk bahu adiknya, mencoba memberi kekuatan. "Kita harus kuat, Ardi. Aku di sini untuk membantu, tapi pada akhirnya, keputusan ada di tanganmu dan Anisa. Jangan menyerah."

Malam itu, setelah semua tenang, Ardi duduk di samping Anisa. Meski tak ada jawaban, ia tetap mencoba meraih tangan istrinya yang masih sibuk di layar. "Aku mencintaimu, Anisa. Aku harap suatu hari nanti, kamu akan kembali kepada kami," bisiknya pelan, berharap bahwa ada sedikit bagian dari Anisa yang masih mendengar.

Namun, untuk saat ini, Anisa masih tenggelam dalam dunianya, dan Ardi serta Dito hanya bisa berharap dan berdoa bahwa suatu hari, dunia nyata akan kembali menjadi prioritas Anisa.

Waktu terus berjalan, dan perubahan yang diharapkan Ardi dan Dito tak kunjung datang. Anisa semakin terikat dengan dunia maya, sementara Ardi semakin merasa terasing dari pernikahannya. Dito, yang semakin terbebani dengan tanggung jawab menjaga anak-anak, merasa kelelahan, baik secara fisik maupun emosional. Meski begitu, dia tetap bertahan demi keponakan-keponakannya yang sangat ia sayangi.

Suatu hari, kejadian tak terduga terjadi. Salah satu anak mereka, Nanda, jatuh sakit. Awalnya demam ringan, tapi semakin lama kondisinya memburuk. Dito yang panik segera membawa Nanda ke rumah sakit, sementara Ardi berusaha menarik perhatian Anisa yang masih saja bermain game. "Anisa, Nanda sakit parah! Kita harus segera ke rumah sakit!" teriak Ardi dengan putus asa.

Namun, Anisa hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada game-nya. "Kamu saja yang pergi. Aku sedang di tengah permainan penting," jawabnya dengan nada datar.

Hati Ardi hancur berkeping-keping. Di rumah sakit, dia duduk di samping Nanda yang terbaring lemah di tempat tidur, sementara Dito menunggu dengan gelisah. Dokter mengatakan bahwa Nanda mengalami infeksi serius dan membutuhkan perhatian penuh.

Saat itulah Ardi menyadari bahwa sesuatu harus berubah. Bukan hanya untuk dirinya, tapi demi masa depan anak-anaknya. Setelah beberapa hari di rumah sakit, Nanda akhirnya pulih. Namun, pengalaman ini meninggalkan bekas yang mendalam bagi Ardi.

Sepulangnya dari rumah sakit, Ardi mengajak Anisa bicara serius. "Anisa, aku mencintaimu, dan aku ingin keluarga kita kembali seperti dulu. Tapi kalau kamu terus seperti ini, aku tidak yakin kita bisa melanjutkan semuanya. Anak-anak butuh kamu, aku butuh kamu. Tolong, tinggalkan game itu sebelum semuanya terlambat."

Mata Anisa sedikit terbuka oleh kenyataan yang diungkapkan Ardi. Namun, godaan game masih kuat. Butuh waktu dan dukungan dari Ardi dan Dito agar Anisa bisa melepaskan diri dari ketergantungannya. Perlahan, Anisa mulai menyadari bahwa dia telah kehilangan begitu banyak momen berharga dengan anak-anaknya dan hampir kehilangan suami yang selalu setia mendampingi.

Dengan usaha keras dan dukungan dari keluarganya, Anisa mulai mengurangi waktu bermain game dan kembali fokus pada keluarganya. Dia sadar bahwa dunia maya yang selama ini mengikatnya hanyalah ilusi, sementara keluarganya adalah kenyataan yang tak bisa digantikan.

Pesan Moral:

Cerita ini mengajarkan kita bahwa ketergantungan pada game online atau dunia maya bisa menghancurkan hubungan yang paling berharga---keluarga. Teknologi, jika tidak dikendalikan, bisa membuat kita kehilangan hal-hal yang sebenarnya paling penting dalam hidup. Komunikasi, cinta, dan kehadiran nyata lebih bernilai daripada sekadar kesenangan sementara dari dunia digital. Pada akhirnya, keluarga adalah harta yang tak ternilai, dan menjaga mereka adalah tanggung jawab yang harus kita utamakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun