Ceria sejoli berbalas irama bertawar nada. Dari sangkar berkaca, aura saling gadaikan nuansa. Ada jingga menatap rana, ada ungu termangu tentang maksud senyumu. Aroma bunga gilir ke nafas, tetapi mata masih rabun keindahan dalam tatapan.
Bermain di ruang bola menjemput rasa di antara rona. Warna baru ada dalam tatapan kemilau. Andai penyesalan lazim di muka, rambu-rambu sudah diterka. Mungkin ada telaah tentang ketulusan atau kebulusan, agar dunia tetap benderang.
Tetapi penyesalan adalah blambir pemadam kebakaran. Mampu mendinginkan saat romantisme sudah menjadi arang dan abu. Tetapi masing-masing berjalan sesuai titah. Hanya tahu pagi siang senja, tapi dalam langkah-langkah masih hampa. Duka dan air mata buah residu jiwa yang abai.
Kembalikan senyumanmu pada wajah daun. Biar dia memantulkan hawawanya, wajahmu makin riang. Bentang realita jangan lagi bermesra terlarang, karena telah kau bungkus yang bersamanya. Sudah dilarung ke sungai. Jangan karena gigi-gigi emas dan bibir premium mampu bungkam protes sang kala.
Kembalilah menjadi rembulan berhijab dengan sinarnya yang teduh. Jernihkan nurani kembali menyejukkan. Ketulusan mengalir dari telaga bening. Soal yang terluka nanti kan kering. Perban saja dengan kejujuran dan Infus dengan kesetiaan.
*******
Wahana Pondok Ungu, 25/12/2020.
#esawe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H