Sudah menjadi kewajaran janda cantik masih muda pula, pasti banyak mengundang pria klepek-klepek jika melihatnya. Apalagi berkesempatan mengenal, maunya ingin lekas memiliki, bila diperlukan merebut hatinya dilakoni. Namun bagi Kartinah tidak ingin buru-buru menyediakan kamar khusus di rongga hatinya untuk seorang lelaki khusus pula. "Aku hanya menerima persahabatan saja dan itu terbuka bagi siapa saja, pacar no, cinta no way!" tekadnya.
Buat lelaki tak jadi soal diterima jadi pacar atau tak mau dicinta, bersahabat saja sudah senang. Toh masih bisa menikmati kecantikan wajahnya dan bebas memadang bila ingin melihat tinggal berkunjung ke rumah atau ke warungnya. Sore itu ada beberapa pria ngariung di rumahnya. Karena sifat nonblok-nya itu yang telah diperlihatkan kepada orang-orang, khususnya para pria. Dia bisa sama memperlakukan sabahat-sahabatnya.
Tapi kadang ia geli juga kalau ada lelaki yang kepo dan meggodanya dengan kalimat greng! Katanya, "Tin sebagai orang yang sudah terbiasa makan kalau tidak makan pasti lapar. Lha kamu kan juga sudah biasa, eh maksudnya pernah menikmati indahnya berhubungan dengan suami. Ini sudah lama apa nggak kangen, maksudnya apa nggak lapar, eh kepingin?" Â Â Â
Sungguh pertanyaan dilema begitu ia menganggap. Dijawab, bagaimana menjawabnya, tidak pun bagaimana. Di situ kan ada ranah privaci. Dijawab vulgar pasti nanti viral dianggap janda gatel. Tidak dijawab juga tidak apa-apa itu ranah pribadi. Makanya ia memilih mengabaikan pertanyaan itu. Atau menjawab diplomatis saja. "Ah, bedalah dengan pria, perempuan itu kan ibarat pintu. Saat sudah dikunci lagi pintunya karena kuncinya dicabut, ya tetap nutup tuh pintu. Kalau tidak ada kunci yang cocok pasti akan selamanya tertutup. Aman jadinya. Sudah begitu jawabku," elaknya tanpa menyakiti.Â
Kartinah imejnya di sekitar rumah juga masih bagus. Dan dikenal bukan wanita gampangan. Terbukti saat memutuskan nikah muda karena tidak mau lama-lama pacaran, yang kata penilaian orang pacaran terlalu lama bisa kesandung maksiat. Dia tak mau cap itu melekat padanya.
Siapa pun mau ngobrol dan betah berkunjung di rumahnya. Tidak melayani obrolan di luar rumah. Seperti sore itu giliran tujuh teman dan tetangga bertamu ke rumahnya. Bahkan saking sering ketemu dalam kebersamaan di rumah Kartinah, pria-pria single itu bagai menjadi komunitas tersendiri. Untuk urusan makan minum mereka patungan atau bergilir "ngebos" untuk memberikan uang pada Kartinah. Tapi sama Kartinah yang dikenal jago masak segala macam menu dan bikin aneka makanan.
Sore itu giliran Suwandi Wandisu memberi uang. Oleh Kartinah langsung dibelikan pisang dan terigu. Suasana di luar rumah gerimis dan disusul hujan lebat. Tak lama dua piring pisang goreng alias pisgor pun jadi. Satu piring di suguhkan di meja dan sepiring lagi di lantai. Meski belum disuruh, mereka sudah rebutan. Lagi asyik menikmati pisgor, lampu mendadak mati. Untung hanya sepuluh menitan, tetapi sepiring pisgor hangat yang di lantai sudah ludes.
"Lho kok habis....," gumam Kardi. Ia menghitung, kalau satu orang satu mestinya masih sisa. "Wong cuma orang lima yang dilantai, tadi isinya lebih delapan," bisik hatinya lagi.
Mereka saling lirak-lirik menerka siapa kira-kira yang melahap pisgor panas lebih dari satu.
"Lha..lah...kok laris manis yah...," celetuk Kadirin.
Kartinah pun sigap mengisi kembali.
Hujan di luar masih ngucur deras. Suasana bagai malam datang lebih awal.
"Kok kamu keringatan Din?" tanya Sastrono.
"Iya makan pisang goreng hangat langsung keringatan nih," jawab Mudin sambil celingak-clinguk menyisir ruangan.
"Yang lain makan juga, tapi nggak keringat," timpal Kusrodi.
Sambil melap keringat yang rembes dari sela-sela peci hitam, cowok yang habis ngaji itu makin tak nyaman. Apalagi sorotan mata orang-orang makin menyiksa batinnya, Samudin pun segera pamitan. "Pulang duluan ya kambing kasihan belum dimasukin ke kandang," alasannya.
"Kan masih deras hujannya Din," cegah Arjuni.