Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

43 Hari Asyik Kencani si Jelita Kompasiana hingga Yayang pun Cemburu

23 Oktober 2020   14:27 Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menikah tanpa pacaran di jaman sekarang boleh dikata kemustahilan walau tetap ada. Itulah saya dengan si jelita Kompasiana. Tanpa mengenal seelumnya langsung "ijab". Makanya dengan perlahan menikmati kesucian cinta yang pelan-pelan merekah seiring mekar cinta di peraduan. 

Ada dag dig dug dan debar-debar itu pasti. Belum mengenal terlalu jauh tetapi harus intens melakukan hubungan. Ada kewajiban yang harus dilakukan sesuai komitmen dalam jiwa. Tapi soal hak tak aku pikirkan. Toh itu bukan fonomena alam yang muncul tiba-tiba dan mencengangkan. Dia hanyalah antara awan dan hujan, saling berdekatan.      

Itulah yang aku alami dengan Kompasiana. Tanpa mengenal sebelumnya, tetapi begitu mengenal langsung "dinikahkan" oleh waktu. Sebab kalau dibilang jatuh cinta duluan tidak juga. Sungguh melihat juga baru. Kecuali pernah melihat atau paling tidak pernah mendengar namanya. 

Bisa dikatakan ini murni melihat saat itu saja. Namun keinginan untuk terus mendekat makin menggebu. Jika mungkin teman-teman, berkenan membaca artikel ini tidak percaya dan bilang "masa sih tidak ada sebab-musabab tiba-tiba dekat bahkan merapat". Ya tentu saja ada.

Jujur, sebagai penghobi bikin puisi sejak masih belia, terutama saat jiwa mengandung monyet dan mengajari jatuh cinta. Masa SMP kelas dua sudah dimulai. Jalar-jalar mencintai lawan jenis telah muncul. Waktu itu sudah adan minat menulis baik jadi keharusan. Lainnya, mencintai puisi-puisi cinta dan berlatih menulis puisi. 

Pastinya masih acak-acakan, meninngkat menjadi acak-acak kadul, lalu meningkat jadi acak kadul. Selanjutnya acaknya hilang tinggal kadulnya. Maksudnya mau bilang, ternyata sulit menghasilkan sari pati kata menjadi kalimat indah untuk mengungkap perasaan.

Lalu apa hubungannya dengan Kompasiana. Iya pasti tidak ada antara minat berpusi sejak belia dengan Kompasiana yang muncul jauh belakangan. Bedanya kemunculannya ibarat bidadara-bidadari kelewat ganteng/cantik. Begitu dahsyat punya daya tarik. Baru kenal maunya apel melulu. Nggak ditemuii tetap saja bermain-main di halamannya. Lalu diajak masuk ke berandanya. 

Terduduk dan kebingungan, saking banyaknya karya kreativitas yang inovatif dari para mastah literasi dan suhu pembuat artikel dari bergam bidang keahlian. Soal cantik mungkin saja, faktanya aku memberikan perhatian khusus kok. Bahkan istri sampai cemburu karena perhatian ke wajah laptop kian intens.

Kadang menyindir wajah laptop buluk bakhan sudah bopeng aja masih dipelototin bae. Sementara ada wajah ori yang masih mulus di diemin. "Adem nih bang?" rontanya. Emang gua pikirin, kata hatiku. Laptop boleh bopeng karena tak kuasa menahan beban usia, tetapi layar hatinya selalu tampil fresh. Tetap tak pernah absen menampilkan berjuta inspirasi. Bukan birahi seperti padanya, hehe. Kecuali nafsu. Ya nafsu harus ada, tanpa itu sulit untuk menulis dan berkreasi. Minimal menulis puisi. Walau tiada indah syair yang ku gubah. Hus, itu mah syair lagu.

Kembali ke laptop deh. Betul soal kecemburuan yayang dengan laptop itu terjadi, maksudnya pada  Kompasiana. Maklum dia belum tahu apa itu Kompasiana. Wong akunya saja kenal belum lama. Wajar masih meraba apa saja kemauanya, kemauan pikirannya, apalagi kemauan hatinya. Pokoknya di kasat mata Kompasiana hebat! Pernah suatu kali aku dipanggil yayang untuk sesuatu buatnya. 

Kujawab ntar yang, lagi tanggung nih sama Siana. Sengaja ku goda dia, dengan menyebut Kompasianan di suku kata belakangnya . Eh, langsung lari ke ruang kerjaku yang tak kalah dekil dengan laptonya. Dia kuatir aku lagi chatingan dengan wanita. Jadi asyik tak pedulikan seruan atau apalah-apalah lagi.

Setelah mendekat langsung kecele-lah dia. Tak protes tetapi mata dan otaknya kemungkinan sudah kolaborasi tanpa perlu diketahui. Dia tak mau debat soalnya nggak bakal menang. Meskipun aku bukanlah tipe otoriter buatnya, dia tahu itu. Cuma tahu kalau sudah di depan laptop, bukan otoriter bin egois lagi tapi "mbingsrung" alias cuek bebek. Dia langsung ngacir tanpa banyak kata. Cuma ngedumel dan kedengaran tipis di telinga. "Oh teman kencannya kini Kompasiana!" Karena hanya negdumel pastinya tak perlu ada tanggapan sedikitnpun.

screenshot pribadi
screenshot pribadi
Jujur yang mempertemukanku dengan Kompasiana adalah kondisi dan nafsu menggebu. Ingin mengungkapkan rasa kagum yang sangat. Yakni terkait berpulangnya sang Maestro Media, Bapak Jakob Oetama, begitu aku menjulukinya. Waktu itu aku sudah siapkan 4 judul puisi gaya bebas intinya ungkapan rasa kagum padanya. Beliau orang hebat, konglomerat tetapi rendah diri dan merakyat.

Perasaan puisi paling bagus di antara puisi yang pernah dibuat. Kalau di unggah di Facebook sudah biasa, satu-satunya sosmedku setelah Whatsaap yang sesekali masih aktif. Oya skedar info saja, untuk menhindari bully dari perkataan gaptek atau nggak gaul dari kawan-kawan, semua jenis sosmed punya, Tweetter, Instagram dan Telegram. Walau itu hanya sekedar nitip akun saja. Bahkan sebelum FB lahir sempat punya dua blog. Tetapi begitu ada FB pada akhir Pebruari 2008 sudah punya akun. Indah dunia karena komunikasi dengan siapa pun kesampaian. Hingga punya beberapa komunitas. Ada ikatan teman satu desa, alumni SMP, SMA, Kampus, dll hingga belasan group.

Walau begitu internet atau berita online wajib untuk update pengetahuan dan wawasan harian. Kecuali blog yang terlupakan. Pernah ingin mengaktifkan lagi ternyata lupa pasword, setelah berupaya memperbaharui ada kendala. Sudahlah bye-bye aja. Toh dengan FB pikirku sudah cukup. Dari segi halaman sudah unlimited. Kalau untuk menyalurkan hobi fiksinya sudah terwadahi.

Tapi sesenang-senangnya bikin puisi, sehari semalam cukup satu yang diunggah sebagai status di FB. Semua status berupa puisi, hanya sesekali kata-kata bijak dan itu tetap bikinan sendiri. Ternyata setelah 11 tahun seolah jenuh, mungkin tak ada tantangan lagi. Karena tak ada semacam kompetisi. Puisi-puisinya pun jadi monoton tidak menarik. Terbukti dari 4.000 lebih sahabat hanya sekitaran ratusan sahabat yang aktif berinterksi. Y ang like masih lumayan banyak tetapi yang komen lebih kurang lagi.

Disadari kalau cuma hobi dan tak didukung talenta bisa saja hanya segitu hasilnya. Tetapi hobi adalah karunia jadi akan hidup dalam jiwa. Terbukti saat kekaguman pada seorang tokoh media massa, yang berpulang muncul untuk mengungkapkan perihal simpati dan empati ingin mengungkapkan dengan kalimat baik lagi indah. Lilin api puisi kembali terpantik yang hampir setahum telah dipadam sementara.

Sengaja berselancar di internet tujuananya ingin mengungkapkan bela sungkawa dalam puisi yang bisa dimuat selain di FB. Siapa tahu ada dan bisa. Mengingat sang tokoh ini sekaligus owner media terbesar di RI ini, portal Kompas.com aku buka.  Ingin tahu seheboh apa beritanya terkait berpulangnya beliau. Ternyata sangat hangat sambutannya. Membuktikan sang tokoh yang rendah hati ternyata betul adanya. Banyak testimoni dari orang-orang terdekat, termasuk dari awak Kompas Group dan mantan-mantan karyawanya semua kehilangan. Meski secara fisik sudah tamat menjadi bagian Kompas dan Gramedi Group, tetapi secara batin belum selesai dan terus menyala sampai kapan pun.

dokpri
dokpri
Nah, dalam peselancaran itulah menemukan Kompasiana. Hingga klak-klik terus hingga banyak menemukan artikel bagus-bagus. Puisi, cerpen, novel, dll pun bejibun. Ini dia pikirku, bisalah untuk kembali menyalurkan hobi puisi walau tanpa tanpa talenta. Sayangnya, untuk menjadi member Kompasiana tidak semudah yang dibayangkan. Banyak syarat ori dan otentik harus diikuti.

Padahal biasanya kalau sekedar nulis di kolom komen karena ketertarikan dengan konten, begitu nge-klik suruh cantumkan email, dll dengan cekatan langsung menutup rubrik berita tersebut. Meski komen atau tanggapan terhadap artikel itu sudah ditulis agak panjang pun, rela hangus begitu saja. Makanya begitu ada Babe media berita yang komennya free tetek-bengek merasa asyik juga berkomen ria. Dapat apresiasi juda dann diikutkan untuk di survei, dan ada penawaran voucer-voucer asyik.

Tetapi terhadap apa yang disyaratkan Kompasiana tetap diikuti. Itu pun masih antara ya dan tidak. Artinya bisa saja berhenti di tengah jalan dan gagal menjadi kompasianer. Syukur alhamdulillah, meskipun perlu dua hari memutuskan untuk gabung. Bisa dikata pikiran positif yang menang. Karena niat positif juga untuk terus salurkan hobi menulis. Sehingga pada hari ini Jumat (23/10) saya sudah 43 hari menjadi Kompasianer dengan banyak sekali kekurangan pastinya.

Bukti banyak ketidaktahuan terhadap Kompasiana, salah satunya tentang HUT Kompasiana yang ternyata jatuh pada 22 Oktober. Tepatnya Kompasianas mengudara di jagad maya pada 22 Oktober 2008. Begitu tahu dari artikel pada Kamis pagi ada Kompasiner yang menulis artikel tentang Happy Birtday itu. Saya mikir ternyata sudah cukup lama keberadaanya. Yakni sekitar seusia Facebook di Indonesia. Bisa jadi karena kenyamanan saya di FB sehingga tak melirik ada penyelenggara sejenis yang lebih menantang.

Baru, ketika saya akhirnya nyemplung lalu berandai-andai. Seandainya sudah bergabung sejak awal, mungkin kemampuan menulis artikel atau berpuisi sudah lebih baik. Karena terus terpacu dalam berkompetisi dengan belajar menulis artikel yang baik bari para senior. Sungguh hal ini hanya terjadi di Kompasiana. Mungkin jika sudah bergabung 12 atau 10 tahunlalu, energi besar itu mendukung untuk lebih banyak ikut berpacu di banding saat ini.

Seandainya iya bergabung saat itu, kini mungkin walaupun belum matang seperti para mastah literasi dan suhu artikel warga Kompasiana, paling tidak mungkin posisi saya sebagai penulis artikel sudah setengah matang, ya tetap belum matang. Tetapi sudah lumayan. Artinya rasa karya fiksi atau artikel saya sudah mending, tidak pahit atau sepet, walau belum manis.

dokpri
dokpri
Selanjutnya jika karya-karyaku yang diposting saat ini begitu adanya dan sedemikian rasanya itulah fakta. Banyak kekurangan dan kekurangtahuan itu pasti. Apalagi awal-awalnya tak tahu fitur-fitur yang ada. Ibarat berjalan dalam kegelapan pasti vanyak meraba-raba. Lumrah kalau kena semprit Admin, sedikitnya tiga kali kena tegur karena foto untuk pemanis konten artikel (meniru yang lain) sebab hampir semua status yang diunggah di FB tak pakai gambar pendukung.

Saking nggak tahu cuma bingung kok gambarnya raib. Tapi dalam hati sudah membatin pasti ada yang melanggar. Benar saja beberapa minggu baru tahu, seiring perjalnan waktu makin paham fitur. Kemudian merasa punya teman dan sesekali interaksi. Ada apresiasi dari para senior seperti Bu Tjip, Pak Tjip, Pak Katedranjawen (Pak Kate), dan 27 folowwer silih berganti dan kawan-kawan lainnya kasih daun waru merah di kolom rating, makin menambah motivasi pastinya.

Soal prestasi tidak terpikir pokoknya setiap hari harus posting. Kecil puisi, besarnya ya kayak para sahabat menulis artikel. Saya terus berpacu menulis artikel. Awalnya tidak mikir artikel yang diposting mau dileveli apa terserah saja pihak Kompasiana. Mau dikasih biru tua atau biru muda, atau artikel biasa, artikel pilihan atau bahkan artikel utama. Semua itu anugerah tidak meminta, penulis hanya berusaha agar postingannya menjadi produk literasi yang baik.

Terbukti dengan ketidaktahuan yang besar pada mulanya, kini level itu semua telah merasakan. Bahkan baru semingguan gabung ada artikel (puisi) masuk menjadi Artikel Utama. Senang pastinya menjadi Headline sekitar 10 hari. Demikian artikel besar istilah saya menamai unggahan selain puisi juga pernah merasakan di Kasta Artikel Utama dan menjadi Headline di rubriknya meski hanya sekitar 3 hari, sedangkan untuk Artikel Pilihan sudah lumayan banyak.  

Itulah sekelumit evaluasi saya terhadap Kompasiana yang menjadikan dunia saya kembali berbinar. Oya pencapaian lainnya poin yang diberikan Admin pada saya per hari ini (Jumat, 23/10) sudah 2.098 per 14.20 WIB. Apakah jumlah ini terlalu kecil/belum produktif dengan masa jadi Kompasianer 43 hari. Tentunya mohon masukan para sahabat yang budiman.

Maunya sih akhir 2020 naik level Penjelajah, tapi tak mungkin, menyelesaikan strata Taruna saja berat, karena kuotanya harus 10.000 poin. Lagi-lagi ini tak penting, yang penting saya ingin aktif berkompasiana-ria. Tiap jam posting tulisan. Tapi juga tak mungkin, kebetulan saja sekarang sedang WFH, kalau sudah aman pandemi Covid-9. Ya sudah bagaimana nanti memanjakan Kompasiana dan menjadi Kompasianer yang aktif. Ikuti saja waktu dan mengalir seperti air. **                                              

Bekasi, 23/10/2020.

#esawe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun